Thursday, January 28, 2010

Landasan Argumentasi Qanun Jinayat DPR Aceh Sangat Keropos!

Author: Mohamad Guntur Romli
Aktivis Muslim liberal, kurator Komunitas Salihara, Jakarta

(Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo, Senin 7 Desember 2009)

“Qanun Jinayat” yang telah diresmikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tak henti menyulut kontroversi, yang tak hanya datang dari luar, namun juga dari masyarakat Aceh sendiri. Gubernur Aceh sendiri pun tak kunjung menyetujuinya. Bagi Pemerintah Aceh, prosedur “Qanun” ini cacat hukum. Sementara dari sisi substansi, argumentasi “Qanun” ini amat rapuh.

Yang paling fatal, “Qanun” ini tidak memasukkan pelanggaran-pelanggaran yang seharusnya dikategorikan tindak pidana (jinayat). Namun sebaliknya “Qanun” ini malah menetapkan perbuatan yang semestinya bukan tindak pidana sebagai tindak pidana. Lebih dari itu “Qanun” ini telah melanggar batas: memasuki ranah yang bukan wewenangnya.

Dalam Bab II Pasal 2, disebutkan “Qanun ini mengatur tentang jarimah dan ‘uqubat khamar, maisir, khalwat, ikhthilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liw
âth, dan musâhaqah”. “Qanun” dengan sangaja tak menyebut pembunuhan (qatl) dan pencurian (sariqah) sebagai tindak kejahatan (jarîmah).

“Qanun” ini juga menyebut perilaku yang diasumsikan tercela secara moral, tapi sebenarnya bukan tindak-pidana, yakni khalwat. Khalwat artinya laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berada berduaan di suatu tempat yang tertutup. Sementara ikhthilath yang berarti laki-laki dan perempuan bercampur-baur di suatu tempat tak pernah disebut sebagai perbuatan yang tercela secara moral—apalagi sampai disebut sebagai tindak pidana. Orang yang thawaf di sekeliling Ka’bah di Makkah baik laki-laki ataupun perempuan bercampur-baur, tidak ada batas atau jalur khusus thawaf yang memisahkan laki-laki dari perempuan.

“Qanun” yang berbasis pada klaim syariat Islam ini ingin diberlakukan juga pada orang di luar pemeluk Islam (Bab II Pasal 4 ayat b dan c). Padahal ketentuan-ketentuan syariat Islam hanya berlaku bagi orang Islam saja. Maka, “Qanun” ini telah melampaui batas wewenangnya. “Qanun” ini melanggar ayat lakum dinukum wa liya din (“bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”).

Saya tidak habis pikir mengapa “Qanun” ini tidak menyebut pembunuhan dan pencurian sebagai tindakan kriminal. Mungkin saja karena sanksinya yang kontroversial: pencuri akan dipotong tangannya, sementara pembunuh diancam hukuman mati. Namun anehnya penyusun “Qanun” ini memasukkan sanksi rajam bagi pezina (yang menikah). Apa alasan skala prioritas perzinaan atas kasus pencurian—atau korupsi misalnya—sementara dampak “pemberantasan korupsi” lebih berguna bagi kepentingan publik? Apakah para anggota dewan yang terhormat itu khawatir atas hukuman potong tangan terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena korupsi mudah ditemukan di kalangan mereka sendiri?

Tak pelak lagi asumsi dasar dari “Qanun” ini adalah perkara moralitas yang berbasis pada seks. Cermati saja pasal-pasal perzinaan, khalwath, ikhthilath, hingga liwâth (sodomi) dan musâhaqah (tribadisme)—yang sering dituduhkan pada kalangan homoseksual; maka jelas, basis asumsinya adalah seks sebagai sumber kriminalitas.

Kalau para penyusun “Qanun Jinayat” ini secara konsisten merujuk pada kajian al-Fiqh al-Jinâ’î al-Islâmî (Fiqh Pidana Islam) klasik, maka akan tampak soal “pidana Islam” ini bukan soal “tebang pilih”, dan para ulama fiqh klasik pun sangat ketat dan berhati-hati membahas perkara ini.

Pembahasan yang terangkum misalnya dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhayli (1997, vol 7) mengulas pembahasan “hudud”. “Hudud” artinya “batas” atau “larangan” yang konotasinya adalah “hukuman” (uqubat) yang ditentukan oleh Allah. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah materi pidana. Madzhab Hanafi menyebut ada lima ditambah satu “qishash”, sementara mayoritas ulama fiqh menyebut delapan: zina, qadzf (pembunuhan karakter dengan tuduhan zina), minum khamr, pencurian, membuat kekacauan (al-hirabah), pemberontakan (al-baghy), murtad, dan pembunuhan. Ada juga seorang ulama madzhab Maliki yang menyatakan sampai tiga belas (hlm 5276).

Sedangkan Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidâyatul Mujtahid (1995, vol 4) menyebut empat jenis tindak pidana: (1) kejahatan terhadap jiwa dan badan disebut qatl (pembunuhan) dan jarh (pencideraan); (2) pelanggaran terhadap perkelaminan disebut zina; (3) pelanggaran terhadap hak milik disebut pencurian (sariqah) atau perampasan dan perampokan (al-hirabah, al-ghashab); (4) pelanggaran terhadap kemuliaan diri disebut qadzf (hlm 2161). Empat jenis tindakan inilah yang bisa disebut “pidana murni”. Kendati para ulama memiliki ragam pendapat soal jenis tindak pidana, tapi tidak ada yang mengabaikan bahwa pembunuhan dan pencurian adalah pelanggaran. Dan tidak pula menjadikan perkara-perkara yang berbau moral sebagai pelanggaran pidana.

Sedangkan bentuk-bentuk sanksi pidananya yang disebut oleh Alquran adalah potong tangan untuk pencurian, cambuk untuk zina dan qadzf, hingga hukuman mati bagi pembunuhan yang disengaja—hukuman rajam tidak ada dalam Alquran. Bentuk hukuman itu dinyatakan sebagai “hudud”, yang berarti “batas maksimal dari hukuman”. Yang dilarang adalah melanggar “batas maksimal dari hukuman” itu, sementara beberapa ulama memperbolehkan menjatuhkan sanksi di bawah “batas maksimal hukuman” tadi.

Dalam soal pembuktian tindak pidana “Fiqh Pidana Islam” klasik memberikan aturan secara ketat, tidak seperti “Hukum Acara Jinayat” yang asal “copy-paste” dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)—yang membuktikan lagi inkonsistensi “Qanun Jinayat” itu. Syarat pembuktian zina dalam “Fiqh Pidana Islam” adalah kesaksian empat orang laki-laki yang beragama Islam, merdeka, dewasa dan sadar, yang melihat dengan mata telanjang perkara “kontak antar-kelamin” yang dikiaskan seperti “pedang yang masuk ke sarungnya”, dan secara bersama-sama berada di tempat kejadian dan di waktu yang bersamaan pula. Namun dalam “Hukum Acara Jinayat” aturan-aturan tadi tidak dirujuk.

Walhasil “Qanun Jinayat” ini inkonsisten, landasan argumentasinya sangat keropos, tidak jelas rujukannya, asal main comot dari Hukum Pidana Islam dan KUHAP, dan yang paling fatal adalah “Qanun” ini dikeluarkan di Aceh—yang masuk dalam wilayah Republik Indonesia—dan bertentangan dengan Konstitusi di Indonesia.

“Qanun Jinayat” berarti “Undang-undang Hukum Pidana”. Namun karena “Qanun” itu tidak menyebutkan kejahatan yang seharusnya masuk ke kategori tindak pidana, atau memandang perbuatan yang bukan tindak pidana tapi diancam sanksi pidana, serta ditemukan inkonsistensi di sana-sini, maka “Qanun” ini tak lebih sebagai modus operandi kriminalisasi dan diskriminasi gaya baru.

Friday, January 8, 2010

Gus Dur as a Defender of Pluralism and Religious Freedom

Author: Muhamad Ali
An assistant professor at the Department of Religious Studies,
University of California, Riverside, USA

Pluralism has always been a contentious issue, but Abdurrahman Wahid or “Gus Dur” worked beyond passive tolerance. He advocated the creation of a public space for communication, dialogue and cooperation between the mainstream and the marginalized. Gus Dur was a consistent defender of the Pancasila, and saw the Religious Affairs Ministry as a political compromise between the Islamic state and the purely secular state. According to him, Muslims do not have the obligation to establish an Islamic state.

Raised in a pesantren (Islamic boarding school) and Nahdlatul Ulama (NU) tradition, but also in Western and Eastern traditions, Gus Dur became the advocate of a reform rooted in the traditions. He received awards and honorary positions from Shimon Peres, Temple University, for his continued advocacy for the rights of minorities in Indonesia, and many others. He was the president of the Non-Violence and Peace Movement, a board member of the International Strategic Dialogue Center in Israel, Inter-religious Society for Reconciliation and Reconstruction in London, and one of the founders and board members of the Shimon Perez Center for Peace in Israel. He has been regarded by many in the world as a true defender of pluralism. He underwent a religious and intellectual evolution from being an “extremist”, who viewed Islam as an alternative to the West, to being an “eclectic cosmopolitan”, who saw Islam as a way of life that learned from nonreligious and other religious ideas.

For him, religious pluralism was a new concept nonexistent in the writings of classical and medieval Muslim scholars, but the absence of the term did not mean Islam was not pluralistic. For him, pluralism was both descriptive and prescriptive. It meant awareness that Muslims were diverse and people were religiously diverse, believers and nonbelievers. Pluralism awareness could only come from a nation without a formalized religious system. He reasoned that because the Koran guaranteed religious freedom and no compulsion in faith, the state should not engage in making any one religious interpretation superior over others. Christian scholar the late Th. Sumartana calls Gus Dur a consistent interpreter and giver of meaning to pluralism as both reality and norm.

Gus Dur asked, rhetorically, “Isn’t it that God and his messenger promote a universal brotherhood (persaudaraan manusia)?” For Gus Dur, pluralism also meant accepting that everyone had the right to be exclusive as well as inclusive. Muslims’ claim of truth is not unique, as the Second Vatican Council stated they respected everyone’s right to reach their truths, but they believed the truth was in the Roman Catholic Church. Competing truth claims are normal. Gus Dur said, “That is clear.” “And Islam is also clear. We will not be shaken in our tauhid concept, but we respect other faiths. Our founding fathers, although mostly Muslims, were able to accept other concepts of God, and worked out to agree on the basic concept of One God for Indonesia.”

In 1995, Gus Dur said, “Essentially all religions are the same as they are revealed by God in order that human beings from different origins, cultures and trajectories may love each other and in order that they may uphold morality, mercy and solidarity.” He emphasized Islamic universalism in different aspects (belief, law and ethics), addressing humanness (insaniyya), including human equality and human rights. At the same time, Islam is open to different cultural manifestations and intellectual insights from other civilizations. This creative Islamic cosmopolitanism, in his view, had been achieved at its peak when there was a balance between Muslims’ normative orientations and freedom of thought given to all peoples, including non-Muslims.

For Gus Dur, a kafir was not just one who denied God’s truth, but also one who could be a believer but denied God’s blessing. “Kafir doesn’t necessarily mean non-Muslim,” Gus Dur said, but rather unbelievers who attacked Islam, in that context nonbelievers in Mecca. There was a difference, he went on, between non-Muslims and the offensive kafir, the categorical kafir.

To Gus Dur, the Koran was clear in affirming religious freedom. Concerning apostasy or irtidad, he was aware of the traditional view that it be punishable by death, but warned one should not compromise the Universal Declaration of Human Rights and Indonesian contexts. He wrote, “If capital punishment were to be applied in Indonesia, there would be more than 20 million people killed because of their conversion from Islam to Christianity since 1965.” Therefore, he urged reform in Islamic law in accordance with time and place.

Gus Dur also promoted the idea of localization (pribumisasi) of Islam, rather than “Arabization”, although he was well versed in Arabic. By the Indonesianization of Islam he meant the blending of Islamic beliefs and values with local culture. “The source of Islam is revelation, which bears its own norms. Due to its normative character, it tends to be permanent. Culture, on the other hand, is a creation of human beings and therefore develops in accordance with social changes. This, however, does not prevent the manifestation of religious life in the form of culture,” he said.

Islamic ecumenism, borrowed from historian Arnold Toynbee, or Islamic universalism or cosmopolitanism, was for Gus Dur based on the five objectives of Islamic law (of al-Shatibi): protection of life, protection of belief, protection of family and future generations, protection of property and protection of mind. The rule of law and certainty must guarantee fair and just treatment for all citizens, without exception.

He believed that through free and open dialogue, truths could be reached by those participants who had “healthy and common reason”. In dialogues, one must be sincere in seeking and keeping truth and in thinking and expressing views. Intolerance comes from religious illiteracy and narrow-mindedness. For instance, one who likes to mock the deities of others is religiously illiterate. Gus Dur quoted the Koran: “You should not mock the gods of others because when you mock them then it means you mock your own god.”

His progressive thinking, advocating democracy, religious tolerance and human rights, have become influential among younger, progressive NU and non-NU activists, liberal intellectuals, NGOs, Christians and Chinese, Ahmadiyah sect leaders, businesspeople and more.

Rest in peace, Gus Dur!