Friday, May 28, 2010

Through Someone Else's Shoes

Author: Lucia Priandarini
Penulis Muslim sektor kewirausahaan
dan komunikasi


Our God is Nammyohorengekyo, the law of cause and effect itself.” That’s an answer given when I asked a good friend of mine a simple question: “Who is (your) God?” He’s a Buddhist, specifically an adherent of Niciren Syosyu, a branch of Mahayana denomination (so not all Buddhist would come up with the same answer when we ask them the question above). It’s a bit ashamed for me since we’ve been friends for more than five years, but I know almost nothing about his belief.


Tuesday, May 25, 2010

State, Islamic Law and Minorities in Indonesia

The State, the Islamic Law,
and Religious Minorities in Indonesia


Author: Muhamad Ali, Ph.D
An assistant professor,
Religious Studies Department,
University of California, Riverside

 


How did the State and civil society negotiate the Shari’a and the civil law in a modern pluralistic Indonesia? Why is it difficult for a compromise that pleases everyone? The State continues to function as the legitimate power to produce laws in which the Shari’a has to contribute and to adjust itself in a Muslim majority yet, pluralistic nation. The tensions and negotiations between various elements– the government and civil society, result from a long duree of encounters of the Middle East (including the Mediterranean), Europe, and Asia in the Indonesian archipelago. A history of a legal culture and interfaith interaction in a local context reveals the various and changing impact of global forces. Indonesia, being referred to as “the Umma below the winds”, or Jawi by people in Mecca, being part of Southeast Asia after World War II, is today described as the largest Muslim country in the world, although geographically and viewed religiously “peripheral” in relation to the Islamic center, the Middle East.

Wednesday, May 12, 2010

Catatan Kritis atas Keputusan
Mahkamah Konstitusi

Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal

*Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo hari ini, 12 Mei 2010 (klik di sini)

Sudah kita ketahui, pada Senin, 19 April 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB). Berikut ini beberapa catatan ringkas atas beberapa pokok pertimbangan keputusan MK ini.

Dalam ringkasan pertimbangan hukum yang diajukan MK, dinyatakan bahwa UU tersebut di atas tetap dipertahankan berdasarkan suatu pertimbangan filosofis bahwa “praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia.” Tentu MK benar sebab setiap negara di dunia ini memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dari negara-negara lain di dunia ini. Kita harus setuju penuh bahwa praktik keberagamaan di Indonesia harus berbeda bukan saja dari praktik keberagamaan di negara-negara Barat modern seperti Amerika Serikat, tetapi juga dari praktik keberagamaan di negara-negara Arab. Keindonesiaan dalam beragama masih sedang dicari. Tetapi, pada sisi lain, kita juga harus mau belajar dari negara-negara maju yang senantiasa menindak tegas tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang beragama terhadap seorang atau sekelompok orang lain yang berbeda agama atau keyakinan.

Kekhasan negara Indonesia juga dipertahankan MK dalam format relasi agama dan negara. MK memandang dalam relasi ini negara RI memiliki tugas untuk melakukan prevensi atau pencegahan atas potensi penyalahgunaan atau penodaan agama. Jadi dalam pandangan MK, Indonesia sama sekali bukan negara sekular, yaitu negara yang sama sekali tidak ikut campur tangan dalam urusan keagamaan apapun.