Author: Saidiman Ahmad
Aktivis Jaringan Islam Liberal
Debat yang muncul seputar keberadaan sekte Islam Ahmadiyah memasuki babak baru menyusul perlakuan keras yang mereka alami. Kampanye anti-Ahmadiyah yang begitu masif semakin menyudutkan kelompok yang memang marjinal ini. Betapapun kuat argumen bahwa Ahmadiyah hanyalah sekte di dalam Islam, tapi kenyataan bahwa banyak orang yang berpikiran lain tidak bisa diabaikan. Persoalannya, anggapan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam inilah yang dijadikan suatu dalih oleh sekelompok orang untuk terus-menerus menganggu, meneror, bahkan membunuh anggota Ahmadiyah.
Dalam konteks hukum positif, Konstitusi, hak azasi manusia, dan akal sehat, jelas tidak pernah bisa dibenarkan seorang warga melakukan kekerasan kepada orang lain apalagi dengan hanya alasan agama. Persoalannya, para pelaku kekerasan merasa tidak perlu menggunakan hukum positif, Konstitusi, HAM dan akal sehat dalam aksi brutalnya. Mereka menganggap legitimasi agama jauh lebih kuat dan mengatasi argumen apapun.
The Countertheocracy Blog
A collective blog founded on Oct 2, 2009, to spread progressive ideas concerning religion, democracy and the future of Indonesia
Tuesday, April 19, 2011
Thursday, March 31, 2011
Dewan Revolusi Islam sebagai Ancaman bagi Demokrasi
Author: Ade Armando
Pemimpin redaksi Madina Online
Terangkatnya kabar tentang Dewan Revolusi Islam (DRI) menunjukkan bahwa tujuan gerakan radikal anti-Ahmadiyah bukan untuk meluruskan akidah. Di belakang itu ada politik kekuasaan. Kabar tentang Dewan Revolusi itu semula nampak seperti sebuah dagelan. Itu berawal dari kabar yang beredar di media sosial, awal pekan ketiga Maret ini, tentang berdirinya sebuah Dewan Revolusi Islam yang maklumatnya bisa diakses di sebuah situs di Internet.
Kalau dibaca, format DRI mendekati struktur sebuah pemerintahan. Di situ ada Kepala Negara (bukan Presiden) yang akan diisi oleh Habib Rizieq Shihab. Wakilnya adalah Wakil Amir Majelis Mujahiddin, Abu Jibril. Di atasnya ada Dewan Fuqaha, yang antara lain diisi: KH Abu Bakar Ba’asyir, KH Makruf Amin (Ketua MUI), dan KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua PBNU).
Dalam DRI, juga terdapat nama sejumlah menteri, antara lain: Munarman SH (sebagai Menhankam), KH Cholil Ridwan (sebagai Menteri Agama), Ridwan Saidi (Menteri Kebudayaan), Ahmad Sumargono (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal). Selain itu ada dua tokoh partai politik Islam: Ali Mochtar Ngabalin (sebagai Menteri Luar Negeri) dan MS Kaban (Menteri Dalam Negeri). Sebagai Menkopolkam adalah Tyasno Sudarto.
Thursday, February 10, 2011
Mengungguli Para Pendiri Agama Kuno
Author: Ioanes Rakhmat
Pemerhati perkembangan sains
Kondisi kehidupan beragama dan hubungan antar-aliran keagamaan belakangan ini di Indonesia menimbulkan keprihatinan banyak orang. Tak sedikit orang kini bertanya, apa masih ada gunanya jika orang tetap mau beragama, ketika kehidupan beragama di Indonesia sudah demikian rendah mutunya.
Tahukah kita bahwa mutu keberagamaan seseorang akhirnya ditentukan bukan oleh berapa tinggi fanatisme keagamaannya atau oleh baktinya kepada agamanya sendiri, melainkan oleh apa yang dia perbuat dan apa yang dia tidak perbuat terhadap sesamanya? Nilai dan autentisitas iman keagamaan seseorang pada akhirnya diuji pada perbuatan orang itu dalam level praktis. Jika perbuatan seorang beragama menimbulkan kesusahan dan penderitaan pada sesamanya, orang beragama ini tidak dapat disebut sebagai orang beragama. Orang semacam ini lebih pantas disebut sebagai seorang kafir.
Jelaslah bahwa untuk dapat beragama dengan bermutu dan autentik, di antara hal-hal lainnya, ajaran-ajaran dan hikmat para pendiri agama-agama kuno menjadi penting dan relevan, dan perlu dijalankan dan diamalkan, lewat perenungan-perenungan kritis, dalam kehidupan seorang beragama di dalam suatu masyarakat.
Pemerhati perkembangan sains
Kondisi kehidupan beragama dan hubungan antar-aliran keagamaan belakangan ini di Indonesia menimbulkan keprihatinan banyak orang. Tak sedikit orang kini bertanya, apa masih ada gunanya jika orang tetap mau beragama, ketika kehidupan beragama di Indonesia sudah demikian rendah mutunya.
Tahukah kita bahwa mutu keberagamaan seseorang akhirnya ditentukan bukan oleh berapa tinggi fanatisme keagamaannya atau oleh baktinya kepada agamanya sendiri, melainkan oleh apa yang dia perbuat dan apa yang dia tidak perbuat terhadap sesamanya? Nilai dan autentisitas iman keagamaan seseorang pada akhirnya diuji pada perbuatan orang itu dalam level praktis. Jika perbuatan seorang beragama menimbulkan kesusahan dan penderitaan pada sesamanya, orang beragama ini tidak dapat disebut sebagai orang beragama. Orang semacam ini lebih pantas disebut sebagai seorang kafir.
Jelaslah bahwa untuk dapat beragama dengan bermutu dan autentik, di antara hal-hal lainnya, ajaran-ajaran dan hikmat para pendiri agama-agama kuno menjadi penting dan relevan, dan perlu dijalankan dan diamalkan, lewat perenungan-perenungan kritis, dalam kehidupan seorang beragama di dalam suatu masyarakat.
Sunday, January 9, 2011
Global Islam Between Images and Reality
Author: Muhamad Ali
The writer, author of Bridging Islam and the West: An Indonesian View (2009),
is an assistant professor in religious studies, University of California, Riverside
http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/20/global-islam-between-images-and-reality.html
Globalization has made the world of Islam more heterogeneous than homogeneous. It continues to shape Islam identities and moralities, imagined or real, at both global and local levels. What is conceptually homogenous is Islam itself, but what it means differs.
Globalization in its broadest sense is not new, and early Islam normatively preached trans-racial, trans-ethnic solidarity of the community of the believers, although information technology today has made them even more aware of the world.
Islam emerged as a local path of Prophet Muhammad and his followers, but with the power of the Koran and Arabic, Islam has ever since become increasingly global, crossing non-Arabic Europe, Africa, Asia, Australia and the Americas. From early times, Muslims have been politically divided into the Shiite and the Sunni, the Khawarij, the Murji’a, the Mu’tazila, and so forth, although the efforts to unify them have never ceased.
The writer, author of Bridging Islam and the West: An Indonesian View (2009),
is an assistant professor in religious studies, University of California, Riverside
http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/20/global-islam-between-images-and-reality.html
Globalization has made the world of Islam more heterogeneous than homogeneous. It continues to shape Islam identities and moralities, imagined or real, at both global and local levels. What is conceptually homogenous is Islam itself, but what it means differs.
Globalization in its broadest sense is not new, and early Islam normatively preached trans-racial, trans-ethnic solidarity of the community of the believers, although information technology today has made them even more aware of the world.
Islam emerged as a local path of Prophet Muhammad and his followers, but with the power of the Koran and Arabic, Islam has ever since become increasingly global, crossing non-Arabic Europe, Africa, Asia, Australia and the Americas. From early times, Muslims have been politically divided into the Shiite and the Sunni, the Khawarij, the Murji’a, the Mu’tazila, and so forth, although the efforts to unify them have never ceased.
Saturday, January 1, 2011
Peran Kaum Muda Indonesia dalam Membangun Kerukunan Umat Beragama: Tantangan, Peluang, dan Hambatan
Author: Ioanes Rakhmat
Pemerhati perkembangan sains
1. Kaum muda Indonesia adalah kalangan dalam masyarakat yang diharapkan akan berperan positif dalam banyak bidang kehidupan bangsa dan negara di masa depan, antara lain:
2. Untuk dapat menjalankan fungsi mereka dalam minimal keenam bidang tersebut di atas, kaum muda Indonesia memerlukan suatu bangsa dan negara yang bersatu, yakni NKRI yang berpijak pada UUD 45 dan ideologi filosofis Pancasila. Tanpa kesatuan dan persatuan sebagai bangsa dan negara, yang diikat oleh UUD 45 dan ideologi Pancasila, kaum muda Indonesia akan mengalami bukan saja banyak hambatan berat tetapi juga ancaman kegagalan total dalam menjalankan semua fungsi tersebut. Kesatuan dan persatuan bangsa dan negara adalah suatu syarat mutlak yang harus dipenuhi jika kaum muda Indonesia ingin dapat dengan efektif menjalankan keenam fungsi mereka tersebut dalam negara Indonesia di masa depan. Keenam bidang tersebut di atas merupakan tantangan-tantangan luas dan berat yang harus dihadapi kaum muda Indonesia dewasa ini dengan berani, cerdas, ulet, tekun, penuh komitmen dan bermoral.
Pemerhati perkembangan sains
1. Kaum muda Indonesia adalah kalangan dalam masyarakat yang diharapkan akan berperan positif dalam banyak bidang kehidupan bangsa dan negara di masa depan, antara lain:
- dalam bidang politik dan ideologi kebangsaan, sebagai para pemimpin bangsa dan negara yang piawai dan cerdas menjalankan roda pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan UUD 45 dan falsafah Pancasila;
- dalam bidang ekonomi, sebagai para pelaku bisnis dan kewirausahaan yang dapat meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat, bangsa dan negara secara keseluruhan;
- dalam bidang ketahanan bangsa, sebagai patriot bangsa dan negara yang mampu mempertahankan kedaulatan teritorial NKR Indonesia dan mampu mengadaptasikan bangsa dan negara dengan berbagai arus perubahan besar yang sedang melanda dunia dalam banyak bidang tanpa kehilangan ciri-ciri keindonesiaan yang konsisten dan dinamis;
- dalam bidang hubungan internasional, untuk menjadikan Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara yang memainkan suatu peran signifikan dalam percaturan politik dan militer global;
- dalam bidang pendidikan dan penelitian serta pengembangan keilmuan, untuk menjadikan Indonesia suatu negara modern yang memainkan suatu peran global yang signifikan dalam penguasaan serta pengembangan sains dan teknologi modern;
- dalam bidang kebudayaan, sebagai para pelaku pelestarian dan perubahan kebudayaan yang akan memperkokoh identitas kebangsaan Indonesia dalam lingkup internal domestik dan dalam lingkup masyarakat global.
2. Untuk dapat menjalankan fungsi mereka dalam minimal keenam bidang tersebut di atas, kaum muda Indonesia memerlukan suatu bangsa dan negara yang bersatu, yakni NKRI yang berpijak pada UUD 45 dan ideologi filosofis Pancasila. Tanpa kesatuan dan persatuan sebagai bangsa dan negara, yang diikat oleh UUD 45 dan ideologi Pancasila, kaum muda Indonesia akan mengalami bukan saja banyak hambatan berat tetapi juga ancaman kegagalan total dalam menjalankan semua fungsi tersebut. Kesatuan dan persatuan bangsa dan negara adalah suatu syarat mutlak yang harus dipenuhi jika kaum muda Indonesia ingin dapat dengan efektif menjalankan keenam fungsi mereka tersebut dalam negara Indonesia di masa depan. Keenam bidang tersebut di atas merupakan tantangan-tantangan luas dan berat yang harus dihadapi kaum muda Indonesia dewasa ini dengan berani, cerdas, ulet, tekun, penuh komitmen dan bermoral.
Tuesday, December 7, 2010
Kebangkitan Erotika Islam: Lukisan-lukisan Nudis Seniman Muslim
by Betwa Sharma* (25 Maret 2010)
(*Artikel Betwa Sharma ini telah terpasang di Internet sejak 25 Maret 2010, dalam situs http://www.thedailybeast.com/blogs-and-stories/2010-03-25/the-rise-of-islamo-erotica/full/. Diterjemahkan seluruhnya untuk dapat dibaca oleh teman-teman Indonesia sehingga kita semua mendapatkan sebuah gambaran tentang apa yang tengah berlangsung dalam dunia kesenian Muslim belakangan ini di Barat khususnya, dan tentu saja mampu melakukan penilaian dari berbagai sudut pandang. Dalam post ini hanya 1 lukisan yang ditampilkan. Bagi mereka yang ingin melihat banyak lukisan dan potret karya para seniman Muslim kontemporer, dipersilakan melihat langsung ke situs Betwa Sharma di atas.)
Salah satu gambar yang paling provokatif yang dilukis Hanan Tabbara adalah sebuah lukisan dari pastel dan arang yang menggambarkan darah berceceran, yang mengalir keluar dari vagina seorang perempuan. Tabbara melukis gambar ini setelah seorang sahabat dekatnya diperkosa, kemudian dia memasang lukisan ini pada gambar profil di Facebook-nya. Kini sudah dua tahun mahasiswi ilmu politik yang berusia 20 tahun dari Brooklyn ini melukis gambar-gambar telanjang. “Aku sadari bahwa hal ini dilarang, tetapi aku tidak mau pusing,” kata Tabbara.
(*Artikel Betwa Sharma ini telah terpasang di Internet sejak 25 Maret 2010, dalam situs http://www.thedailybeast.com/blogs-and-stories/2010-03-25/the-rise-of-islamo-erotica/full/. Diterjemahkan seluruhnya untuk dapat dibaca oleh teman-teman Indonesia sehingga kita semua mendapatkan sebuah gambaran tentang apa yang tengah berlangsung dalam dunia kesenian Muslim belakangan ini di Barat khususnya, dan tentu saja mampu melakukan penilaian dari berbagai sudut pandang. Dalam post ini hanya 1 lukisan yang ditampilkan. Bagi mereka yang ingin melihat banyak lukisan dan potret karya para seniman Muslim kontemporer, dipersilakan melihat langsung ke situs Betwa Sharma di atas.)
Salah satu gambar yang paling provokatif yang dilukis Hanan Tabbara adalah sebuah lukisan dari pastel dan arang yang menggambarkan darah berceceran, yang mengalir keluar dari vagina seorang perempuan. Tabbara melukis gambar ini setelah seorang sahabat dekatnya diperkosa, kemudian dia memasang lukisan ini pada gambar profil di Facebook-nya. Kini sudah dua tahun mahasiswi ilmu politik yang berusia 20 tahun dari Brooklyn ini melukis gambar-gambar telanjang. “Aku sadari bahwa hal ini dilarang, tetapi aku tidak mau pusing,” kata Tabbara.
Monday, October 4, 2010
Ekofeminisme Versus Logika Dominasi
Author: Nency Heydemans
Mahasiswi pasca-sarjana jurusan sosiologi agama
UKSW, Salatiga, Indonesia
Istilah “ekofeminisme” pertama kali diperkenalkan oleh Francoise D'Eaubonne pada tahun 1974 di kota Paris, Perancis, dengan cara menggabungkan ide feminisme dan ekologi kearifan budaya lokal (India khususnya dan budaya Dunia Ketiga secara umum) gerakan hijau (green movement). Hasilnya adalah sebuah wacana alternatif bagi mainstream pemikiran feminis dan sekaligus ekologi./1/ Kajian ekofeminisme ingin memperlihatkan persamaan antara penindasan gender dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh dominasi laki-laki. Pembangunan yang bias gender tidak hanya memarginalkan perempuan tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Ekofeminisme lahir dari sebuah kondisi di mana bumi yang digambarkan sebagai sang ibu telah dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem ekonomi kapitalisme yang berkuasa, dengan melanggengkan budaya patriarki dan feodalisme, yang juga didukung dan dipertahankan oleh agama-agama yang dipertahankan kaum laki-laki dan berbagai kelompok penguasa. Pada pihak lain, bagi kaum perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan oleh berbagai korporasi yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional dan pengurus negara.
UKSW, Salatiga, Indonesia
Istilah “ekofeminisme” pertama kali diperkenalkan oleh Francoise D'Eaubonne pada tahun 1974 di kota Paris, Perancis, dengan cara menggabungkan ide feminisme dan ekologi kearifan budaya lokal (India khususnya dan budaya Dunia Ketiga secara umum) gerakan hijau (green movement). Hasilnya adalah sebuah wacana alternatif bagi mainstream pemikiran feminis dan sekaligus ekologi./1/ Kajian ekofeminisme ingin memperlihatkan persamaan antara penindasan gender dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh dominasi laki-laki. Pembangunan yang bias gender tidak hanya memarginalkan perempuan tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Ekofeminisme lahir dari sebuah kondisi di mana bumi yang digambarkan sebagai sang ibu telah dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem ekonomi kapitalisme yang berkuasa, dengan melanggengkan budaya patriarki dan feodalisme, yang juga didukung dan dipertahankan oleh agama-agama yang dipertahankan kaum laki-laki dan berbagai kelompok penguasa. Pada pihak lain, bagi kaum perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan oleh berbagai korporasi yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional dan pengurus negara.
Saturday, September 4, 2010
Mengapa Jadi Anti-rasionalis dalam Beragama?
Author: Ioanes Rakhmat
Pemerhati perkembangan sains
Dalam otak manusia, terdapat banyak struktur dan sirkuit neurologis rumit yang menjadi suatu objek kajian dari ilmu yang dinamakan neurosains. Ketika fokus neurosains ditujukan pada relasi antara aktivitas sirkuit-sirkuit neurologis dalam otak dan perilaku beragama, muncullah sebuah disiplin ilmu yang dinamakan neuroteologi.
dua ekor binatang bertarung dalam otak manusia:
siapa kuat, dia menang!
Amygdala dan sistim limbik secara keseluruhan adalah suatu bagian otak paling tua dalam sejarah evolusi biologis otak manusia, terbentuk sekitar 450 juta tahun lalu, dan sudah menguasai kehidupan manusia sejak 150 juta tahun yang lalu. Jika aktivitas amygdala meningkat, maka gelombang ketakutan dan kecemasan menyerbu anda, karena zat-zat neuro-kimiawi yang destruktif mengalir deras masuk ke dalam otak. Jika orang berpikir negatif tentang dirinya sendiri, atau memandang kehidupan ini dengan negatif, aktivitas di dalam amygdala makin meningkat. Ketika dirangsang secara berlebihan, amygdala dalam sistim limbik otak menciptakan suatu impresi emosional tentang suatu Allah yang menakutkan, otoritatif, egoistik, agresif, pemaksa, pendendam, pemarah dan penghukum, dan menekan serta mematikan kemampuan frontal lobes untuk berpikir logis mengenai Allah.
Pemerhati perkembangan sains
Dalam otak manusia, terdapat banyak struktur dan sirkuit neurologis rumit yang menjadi suatu objek kajian dari ilmu yang dinamakan neurosains. Ketika fokus neurosains ditujukan pada relasi antara aktivitas sirkuit-sirkuit neurologis dalam otak dan perilaku beragama, muncullah sebuah disiplin ilmu yang dinamakan neuroteologi.
dua ekor binatang bertarung dalam otak manusia:
siapa kuat, dia menang!
Menurut neuroteologi, perilaku beragama anti-rasionalis fundamentalis ditimbulkan oleh aktivitas neurologis sangat kuat pada sirkuit amygdala yang menjadi suatu bagian neurologis dari sistim limbik otak manusia. Sebaliknya, perilaku beragama rasionalis ditimbulkan oleh aktivitas yang kuat pada sirkuit frontal lobes dalam organ otak manusia. Jika sirkuit frontal lobes diaktifkan bersamaan dengan sirkuit anterior cingulate, maka orang akan dapat beragama rasionalis sekaligus memiliki cinta, bela rasa dan empati yang tinggi terhadap kehidupan sesama.
Agresif mematikan
Amygdala dan sistim limbik secara keseluruhan adalah suatu bagian otak paling tua dalam sejarah evolusi biologis otak manusia, terbentuk sekitar 450 juta tahun lalu, dan sudah menguasai kehidupan manusia sejak 150 juta tahun yang lalu. Jika aktivitas amygdala meningkat, maka gelombang ketakutan dan kecemasan menyerbu anda, karena zat-zat neuro-kimiawi yang destruktif mengalir deras masuk ke dalam otak. Jika orang berpikir negatif tentang dirinya sendiri, atau memandang kehidupan ini dengan negatif, aktivitas di dalam amygdala makin meningkat. Ketika dirangsang secara berlebihan, amygdala dalam sistim limbik otak menciptakan suatu impresi emosional tentang suatu Allah yang menakutkan, otoritatif, egoistik, agresif, pemaksa, pendendam, pemarah dan penghukum, dan menekan serta mematikan kemampuan frontal lobes untuk berpikir logis mengenai Allah.
Labels:
Fundamentalisme,
Ioanes Rakhmat,
Neurosains,
Neuroteologi
Thursday, September 2, 2010
Filosofi Sipakatau dan Budaya Siri’ na Pesse’ dalam Masyarakat Bugis-Makassar
Author: Jenifer Astin S. Ladja
Sarjana teologi, bekerja di Yayasan Oase Intim, Makassar
Bagaimana gambaran yang tepat mengenai wajah Indonesia jika harus dilukis? Dalam imajinasi saya, saya membayangkan sang pelukis akan melukisnya dengan sangat hati-hati, dan dengan menggunakan banyak kombinasi warna serta objek yang kompleks dan hasilnya akan sangat indah bernama “bhineka tunggal ika”. Dengan kata lain bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk (plural) dalam berbagai hal. Bahkan sering kali hal ini menjadi “nilai jual” untuk mempromosikan Indonesia. Walaupun merupakan sebuah lukisan yang indah dengan ideologi yang tampak sempurna, namun realitasnya tidak seindah yang dibayangkan, apalagi jika berkaitan dengan urusan agama.
Terpisah oleh pagar kawat
Hubungan penganut agama yang satu dengan agama yang lain, jika dianalogikan, adalah seperti hubungan sekelompok orang yang hidup dalam satu lokasi (atau satu lapangan) namun terpisah oleh pagar kawat berduri tajam. Pagar kawat berduri tersebut adalah dogma atau doktrin atau akidah masing-masing agama. Doktrin menjadi pemisah antara yang satu dengan yang lainnya dan sekaligus membagi wilayah berpijak. “Hanya orang yang berpijak pada tanah ini yang akan selamat, karena pada tanah inilah keselamatan akan datang. Tuhan hanya ada di lokasi kami, orang yang ada di balik pagar tidak memperoleh keselamatan.” Ya, kira-kira seperti itulah gambaran keberagamaan di Indonesia secara umum. Dari balik pagar kawat berduri, masing-masing komunitas dapat saling memandang tapi tidak dapat saling “menjangkau.”/1/ Siapa yang mencoba untuk melampaui pagar akan terluka dan terasing dari komunitasnya sendiri. Inilah yang disebut oleh Ishak Ngeljeratan hidup bersama tapi tidak bersesama./2/ Semua orang dapat hidup bersama, tapi tidak semua orang dapat hidup “bersesama”. Bersesama berarti memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia yang perlu dihargai dan dilayani.
Perdebatan paling pelik di antara para penganut agama adalah persoalan keselamatan di surga. Semua penganut agama mengklaim bahwa merekalah yang memiliki keselamatan dan itu berarti tidak ada tempat bagi orang lain di surga. Extra ecclesiam nulla sallus (“Di luar gereja tidak ada keselamatan”), atau “Yesus satu-satunya jalan keselamatan”, merupakan doktrin-doktrin kristen yang selama ini menjadi suatu “pagar kawat” yang memisahkan umat Kristen dari umat-umat yang lain. Demikian pun sebaliknya dalam agama-agama lain.
Friday, August 20, 2010
Agama Pasca-teistik
Author: Tedi Kholiludin
Mahasiswa Pascasarjana kajian sosiologi agama UKSW Salatiga
Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)
Tahun 2005, Michael Mertes, Kepala divisi perencanaan dan budaya di Helmut School Office German, menulis sebuah artikel di IP-Translantic Edition yang berjudul “Religion, Secularism and Sovereignty”. Dalam tulisan pendeknya itu Mertes mengutip beberapa hasil riset yang dilakukan oleh The Pew Research Center for The People and The Press pada 2003.
Salah satu yang menjadi bahasan dalam survei tersebut adalah kaitan antara kepercayaan kepada Tuhan dengan pemenuhan aspek moral. Mayoritas responden di Eropa Tengah dan Eropa Barat tidak setuju dengan pernyataan bahwa “untuk menjadi moralis, seseorang harus percaya Tuhan”. Sementara mayoritas responden di Turki dan Amerika masih membutuhkan Tuhan untuk menjadi moralis.
Prosentase sengkapnya mereka yang masih butuh Tuhan adalah: Turki (85%), Amerika Serikat (58%), Polandia (38%), Jerman (33%), Italia (27%), Inggris (25%), Republik Ceko (13%) dan Perancis (13%). Di Polandia, responden yang membutuhkan Tuhan masih relatif cukup besar dibanding dengan negara Eropa lainnya, karena, kata Mertes, peran Gereja Katolik di sana masih signifikan dalam mengonstruksi identitas bangsa tersebut.
Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)
Tahun 2005, Michael Mertes, Kepala divisi perencanaan dan budaya di Helmut School Office German, menulis sebuah artikel di IP-Translantic Edition yang berjudul “Religion, Secularism and Sovereignty”. Dalam tulisan pendeknya itu Mertes mengutip beberapa hasil riset yang dilakukan oleh The Pew Research Center for The People and The Press pada 2003.
Salah satu yang menjadi bahasan dalam survei tersebut adalah kaitan antara kepercayaan kepada Tuhan dengan pemenuhan aspek moral. Mayoritas responden di Eropa Tengah dan Eropa Barat tidak setuju dengan pernyataan bahwa “untuk menjadi moralis, seseorang harus percaya Tuhan”. Sementara mayoritas responden di Turki dan Amerika masih membutuhkan Tuhan untuk menjadi moralis.
Prosentase sengkapnya mereka yang masih butuh Tuhan adalah: Turki (85%), Amerika Serikat (58%), Polandia (38%), Jerman (33%), Italia (27%), Inggris (25%), Republik Ceko (13%) dan Perancis (13%). Di Polandia, responden yang membutuhkan Tuhan masih relatif cukup besar dibanding dengan negara Eropa lainnya, karena, kata Mertes, peran Gereja Katolik di sana masih signifikan dalam mengonstruksi identitas bangsa tersebut.
Labels:
John Hick,
John Shelby Spong,
Pasca-teisme,
Tedi Kholiludin
Wednesday, August 18, 2010
Media, Negara dan Seks
“Seks
tampaknya telah menjadi sebuah momok karena ulah agama dan negara.
Sebab mereka menghadapi seks dengan kedunguan dan bukan dengan
kecerdasan. Dalam mengatur seksualitas perempuan, sejarah Indonesia
membuktikan kedunguan tersebut, mulai dari zaman Orde Lama, zaman Orde
Baru hingga zaman Reformasi. Padahal seksualitas perempuan tidak
dilahirkan oleh agama atau negara. Oleh sebab itu, seksualitas
perempuan tak patut diatur oleh mereka yang bukan perempuan.
Seksualitas perempuan lahir dari alam, dari rahim perempuan itu
sendiri.”
Author: Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan
dan Pengajar tetap di Departemen Filsafat, FIB,
Universitas Indonesia
MEDIA
Limabelas tahun yang lalu ketika Yayasan Jurnal Perempuan menggagas Jurnal Perempuan sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia, banyak kalangan umum bingung menyikapi apa sebenarnya “binatang” ini? Seingat saya ada dua respons yang cukup dominan; yang pertama, mereka menganggap Jurnal Perempuan pasti majalah tentang masak-memasak sehingga penawaran toko buku adalah menempatkan jurnal ini di tempat rak-rak topik memasak. Respons kedua, terutama datang dari lapak majalah di kawasan Senin, adalah anggapan bahwa majalah ini pasti memuat pose-pose perempuan yang “syur”, si penjaja majalah menebak sambil nyengir. Cukup melelahkan memang menjelaskan kepada mereka apa itu Jurnal Perempuan, apalagi belum ada bentuk jurnalnya karena hanya baru sebatas ide. Ide ini hendak diuji coba di lapangan penjualan majalah-majalah. Tapi gagal total. Karena, sulit untuk menjelaskan majalah feminisme kalau spektrum yang ditawarkan adalah antara masak-memasak hingga hal yang “syur”. Begitulah cara berpikir dikotomik yang ada di masyarakat. Perempuan didefinisikan masuk dalam dua spektrum tersebut. Tidak ada ruang lain bagi perempuan.
“Menkominfo tampaknya perlu mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai batasan-batasan negara untuk tidak mencampuri ranah pribadi individu. Dia tidak dapat membedakan mana urusan publik dan mana urusan privat. Soal pribadi seperti kasus Ariel-Luna Maya-Cut Tari dieksploitasi oleh negara menjadi soal publik, menunggangi fundamentalisme untuk kepentingan politik. Sementara soal negara seperti penggelapan pajak dan kartel direduksi menjadi soal personal elit politik.”
Author: Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan
dan Pengajar tetap di Departemen Filsafat, FIB,
Universitas Indonesia
MEDIA
Limabelas tahun yang lalu ketika Yayasan Jurnal Perempuan menggagas Jurnal Perempuan sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia, banyak kalangan umum bingung menyikapi apa sebenarnya “binatang” ini? Seingat saya ada dua respons yang cukup dominan; yang pertama, mereka menganggap Jurnal Perempuan pasti majalah tentang masak-memasak sehingga penawaran toko buku adalah menempatkan jurnal ini di tempat rak-rak topik memasak. Respons kedua, terutama datang dari lapak majalah di kawasan Senin, adalah anggapan bahwa majalah ini pasti memuat pose-pose perempuan yang “syur”, si penjaja majalah menebak sambil nyengir. Cukup melelahkan memang menjelaskan kepada mereka apa itu Jurnal Perempuan, apalagi belum ada bentuk jurnalnya karena hanya baru sebatas ide. Ide ini hendak diuji coba di lapangan penjualan majalah-majalah. Tapi gagal total. Karena, sulit untuk menjelaskan majalah feminisme kalau spektrum yang ditawarkan adalah antara masak-memasak hingga hal yang “syur”. Begitulah cara berpikir dikotomik yang ada di masyarakat. Perempuan didefinisikan masuk dalam dua spektrum tersebut. Tidak ada ruang lain bagi perempuan.
Friday, May 28, 2010
Through Someone Else's Shoes
Author: Lucia Priandarini
Penulis Muslim sektor kewirausahaan
dan komunikasi
“Our God is Nammyohorengekyo, the law of cause and effect itself.” That’s an answer given when I asked a good friend of mine a simple question: “Who is (your) God?” He’s a Buddhist, specifically an adherent of Niciren Syosyu, a branch of Mahayana denomination (so not all Buddhist would come up with the same answer when we ask them the question above). It’s a bit ashamed for me since we’ve been friends for more than five years, but I know almost nothing about his belief.
Penulis Muslim sektor kewirausahaan
dan komunikasi
“Our God is Nammyohorengekyo, the law of cause and effect itself.” That’s an answer given when I asked a good friend of mine a simple question: “Who is (your) God?” He’s a Buddhist, specifically an adherent of Niciren Syosyu, a branch of Mahayana denomination (so not all Buddhist would come up with the same answer when we ask them the question above). It’s a bit ashamed for me since we’ve been friends for more than five years, but I know almost nothing about his belief.
Tuesday, May 25, 2010
State, Islamic Law and Minorities in Indonesia
The State, the Islamic Law,
and Religious Minorities in Indonesia
Author: Muhamad Ali, Ph.D
An assistant professor, Religious Studies Department,
University of California, Riverside
How did the State and civil society negotiate the Shari’a and the civil law in a modern pluralistic Indonesia? Why is it difficult for a compromise that pleases everyone? The State continues to function as the legitimate power to produce laws in which the Shari’a has to contribute and to adjust itself in a Muslim majority yet, pluralistic nation. The tensions and negotiations between various elements– the government and civil society, result from a long duree of encounters of the Middle East (including the Mediterranean), Europe, and Asia in the Indonesian archipelago. A history of a legal culture and interfaith interaction in a local context reveals the various and changing impact of global forces. Indonesia, being referred to as “the Umma below the winds”, or Jawi by people in Mecca, being part of Southeast Asia after World War II, is today described as the largest Muslim country in the world, although geographically and viewed religiously “peripheral” in relation to the Islamic center, the Middle East.
and Religious Minorities in Indonesia
Author: Muhamad Ali, Ph.D
An assistant professor, Religious Studies Department,
University of California, Riverside
How did the State and civil society negotiate the Shari’a and the civil law in a modern pluralistic Indonesia? Why is it difficult for a compromise that pleases everyone? The State continues to function as the legitimate power to produce laws in which the Shari’a has to contribute and to adjust itself in a Muslim majority yet, pluralistic nation. The tensions and negotiations between various elements– the government and civil society, result from a long duree of encounters of the Middle East (including the Mediterranean), Europe, and Asia in the Indonesian archipelago. A history of a legal culture and interfaith interaction in a local context reveals the various and changing impact of global forces. Indonesia, being referred to as “the Umma below the winds”, or Jawi by people in Mecca, being part of Southeast Asia after World War II, is today described as the largest Muslim country in the world, although geographically and viewed religiously “peripheral” in relation to the Islamic center, the Middle East.
Wednesday, May 12, 2010
Catatan Kritis atas Keputusan
Mahkamah Konstitusi
Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal
*Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo hari ini, 12 Mei 2010 (klik di sini)
Sudah kita ketahui, pada Senin, 19 April 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB). Berikut ini beberapa catatan ringkas atas beberapa pokok pertimbangan keputusan MK ini.
Dalam ringkasan pertimbangan hukum yang diajukan MK, dinyatakan bahwa UU tersebut di atas tetap dipertahankan berdasarkan suatu pertimbangan filosofis bahwa “praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia.” Tentu MK benar sebab setiap negara di dunia ini memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dari negara-negara lain di dunia ini. Kita harus setuju penuh bahwa praktik keberagamaan di Indonesia harus berbeda bukan saja dari praktik keberagamaan di negara-negara Barat modern seperti Amerika Serikat, tetapi juga dari praktik keberagamaan di negara-negara Arab. Keindonesiaan dalam beragama masih sedang dicari. Tetapi, pada sisi lain, kita juga harus mau belajar dari negara-negara maju yang senantiasa menindak tegas tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang beragama terhadap seorang atau sekelompok orang lain yang berbeda agama atau keyakinan.
Kekhasan negara Indonesia juga dipertahankan MK dalam format relasi agama dan negara. MK memandang dalam relasi ini negara RI memiliki tugas untuk melakukan prevensi atau pencegahan atas potensi penyalahgunaan atau penodaan agama. Jadi dalam pandangan MK, Indonesia sama sekali bukan negara sekular, yaitu negara yang sama sekali tidak ikut campur tangan dalam urusan keagamaan apapun.
Pemikir Kristen liberal
*Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo hari ini, 12 Mei 2010 (klik di sini)
Sudah kita ketahui, pada Senin, 19 April 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB). Berikut ini beberapa catatan ringkas atas beberapa pokok pertimbangan keputusan MK ini.
Dalam ringkasan pertimbangan hukum yang diajukan MK, dinyatakan bahwa UU tersebut di atas tetap dipertahankan berdasarkan suatu pertimbangan filosofis bahwa “praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia.” Tentu MK benar sebab setiap negara di dunia ini memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dari negara-negara lain di dunia ini. Kita harus setuju penuh bahwa praktik keberagamaan di Indonesia harus berbeda bukan saja dari praktik keberagamaan di negara-negara Barat modern seperti Amerika Serikat, tetapi juga dari praktik keberagamaan di negara-negara Arab. Keindonesiaan dalam beragama masih sedang dicari. Tetapi, pada sisi lain, kita juga harus mau belajar dari negara-negara maju yang senantiasa menindak tegas tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang beragama terhadap seorang atau sekelompok orang lain yang berbeda agama atau keyakinan.
Kekhasan negara Indonesia juga dipertahankan MK dalam format relasi agama dan negara. MK memandang dalam relasi ini negara RI memiliki tugas untuk melakukan prevensi atau pencegahan atas potensi penyalahgunaan atau penodaan agama. Jadi dalam pandangan MK, Indonesia sama sekali bukan negara sekular, yaitu negara yang sama sekali tidak ikut campur tangan dalam urusan keagamaan apapun.
Subscribe to:
Posts (Atom)