Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal
Tulisan ini memuat sebuah telaah tekstual atas RUU Jaminan Produk Halal (disingkat: RUU JPH) untuk memperlihatkan bahwa nilai-nilai hukum dasariah yang menjadi landasan RUU JPH ini adalah nilai-nilai hukum Islami dan untuk menemukan seberapa otoritatifnya RUU ini jika nanti sudah disahkan sebagai UU. Kita tahu, setelah nanti disepakati dan diterima DPR RI, RUU ini akan disahkan oleh Presiden RI dan diundangkan di Jakarta oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, serta dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ketika RUU ini sudah disahkan dan diundangkan sebagai UU, semua ketentuan di dalamnya tentu akan berlaku secara nasional, karena statusnya sebagai UU, bukan sebagai suatu peraturan daerah yang berlaku parokial atau provinsial.
Kalau orang membaca RUU JPH ini dengan teliti, maka dia pasti akan menemukan bahwa nilai-nilai hukum dasariah yang menjadi fondasi dasar RUU ini dan yang mau diundang-undangkan secara nasional ini tidaklah ditarik/berasal dari nilai-nilai sosio-kultural yang sudah terkristalisasi dalam perjalanan sejarah nasional Indonesia sebagai nilai-nilai sosio-kultural dan religius kebangsaan Indonesia yang berfungsi kohesif dan mempersatukan, seperti dapat ditemukan dalam nilai-nilai yang menjadi lima sila dalam Pancasila dan nilai-nilai nasionalisme dan internasionalisme yang tertuang dalam UUD 1945, khususnya pada bagian Preambule UUD ini.
Nilai-nilai hukum dasariah yang melandasi dan menjadi nafas kuat RUU ini jelas sekali adalah syariah Islam (Bab I, pasal 1, ayat 1, ayat 5, ayat 10; Bab II, pasal 3, ayat 1; pasal 6, ayat 1; Bab III, pasal 6, ayat 3; pasal 7; pasal 8, ayat 1; Bab IV, pasal 20, ayat 5; bagian Penjelasan I Umum RUU JPH; bagian Penjelasan pasal 6, ayat 2; bagian Penjelasan pasal 8, ayat 1) sebagaimana ditafsir dan dirumuskan oleh Majelis Ulama Indonesia (Bab I, pasal 1 ayat 10; Bab II, pasal 3, ayat 1; Bab III, pasal 7; Bab III, pasal 13, ayat 3; Bab IV, pasal 20, ayat 5; Bab IV, pasal 26, ayat 2; bagian Penjelasan I Umum) dan dituangkan ke dalam fatwa-fatwa lembaga keagamaan yang bukan sebuah lembaga (tinggi) pemerintahan ini.
Bahwa yang mau ditegakkan oleh RUU JPH ini adalah syariah Islam juga tampak jelas dalam pencantuman sebuah sebutan yang khas Islami dalam RUU ini, yakni penyebutan “lafal ‘Bismillahirrahmanirrahim’” dalam suatu penyembelihan binatang (Bab III, pasal 8, ayat 1 ) dan dalam sebuah pernyataan khas Islami bahwa aturan yang ditetapkan dalam RUU ini “diperuntukkan untuk kepentingan selain Allah Subhanallahu Wa-Taala” (bagian Penjelasan pasal 6, ayat 2). Dalam bagian Penjelasan pasal 8, ayat 1, terdapat sebuah pernyataan yang digeneralisir bahwa “Lafal ‘Bismillahirrahmanirrahim’ adalah lafal yang lazim diucapkan masyarakat Indonesia ketika melakukan penyembelihan (hewan).”
RUU JPH yang berlandaskan syariah Islam yang ditafsir, dirumuskan, ditetapkan dan difatwakan oleh MUI ini, nanti setelah disahkan menjadi UU, akan dilaksanakan oleh pemerintah melalui Menteri Agama RI (Bab II, pasal 3; Bab III, pasal 6, ayat 3; Bab III, pasal 7; Bab IV, pasal 18, ayat 1; Bab IV, pasal 30, ayat 1; bagian Penjelasan I Umum). Kita tahu, sebagai pejabat tinggi negara pilihan Presiden, setiap menteri harus bertindak dan memutuskan serta menetapkan suatu produk hukum apapun demi kepentingan nasional yang tidak fragmentaris dan tersekat-sekat.
Mengingat nilai-nilai hukum dasariah yang melandasi RUU ini adalah nilai-nilai hukum syariah Islam, logisnya orang akan menyimpulkan bahwa ketika nanti RUU ini sudah disahkan dan diundangkan sebagai UU, UU JPH ini, demi azas keadilan hukum bagi seluruh warganegara dan penduduk Indonesia yang secara keagamaan sangat majemuk, hanya akan berlaku bagi umat Islam Indonesia, dan tidak berlaku bagi warganegara dan penduduk yang bukan-Muslim. Tetapi, semua orang insaf, bahwa logika dan azas keadilan hukum ini tidak akan dapat diberlakukan mengingat bahwa setiap produk hukum yang sudah berstatus UU adalah sebuah produk hukum yang mengikat semua penduduk dan warganegara RI yang berdiam di dalam maupun di luar negeri.
Sehubungan dengan ihwal untuk siapa UU JPH ini nantinya akan diberlakukan, RUU JPH ini sendiri memuat pernyataan-pernyataan yang satu sama lain tidak harmonis. Pada satu pihak dinyatakan bahwa nantinya RUU JPH ini, ketika sudah diundangkan, akan diberlakukan “bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam”, sebagai “bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah” (lihat bagian Penjelasan Umum I RUU JPH). Tetapi pada pihak lain, dinyatakan juga bahwa RUU JPH ini, ketika sudah diundangkan, akan “memberikan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat dan kepastian hukum kepada setiap warga negara secara adil dan beradab” (lihat bagian Penjelasan pasal 2, ayat 2, huruf a).
Ketidakharmonisan dua pernyataan di atas barangkali akan tetap dibiarkan oleh para perancang RUU ini sampai RUU ini selesai dibahas, lalu disahkan dan diberlakukan serta diundangkan nanti, sehingga UU JPH nanti akan berwajah dua: pada satu pihak UU JPH adalah UU Islami, tetapi di lain pihak juga UU nasional. Dengan kata lain, melalui produk hukum UU JPH ini kalangan Islam Indonesia ingin memperluas jangkauan pemberlakuan syariah Islam bukan hanya untuk kalangan internal Muslim Indonesia, tetapi juga untuk seluruh warganegara dan penduduk lain yang bukan-Muslim. Dan ketika RUU JPH ini sudah diundangkan, memberlakukan syariah Islami kepada semua warganegara dan penduduk negara RI tidak lagi merupakan suatu tindakan melanggar hukum dan UU; setidaknya ini dimulai dulu dengan sebuah ketentuan syariah Islami mengenai makanan halal dan makanan haram, sebelum meluas ke segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat bisa jadi, inilah konteks sosio-politis historis dan kontemporer yang sebenarnya dari lahirnya RUU JPH ini.
Lebih jauh, pada bagian Penjelasan RUU yang sama (pasal 2, ayat 2, huruf a), RUU JPH ini juga menyatakan bahwa kepastian hukum harus diberikan kepada “penduduk Indonesia secara proporsional, serta memberikan keadilan secara proporsional.” Ihwal apa yang dimaksud dengan frasa “secara proporsional”, RUU ini tidak memberi suatu penjelasan tambahan lebih jauh apapun, sehingga frasa ini tentu harus ditafsirkan oleh pembaca manapun. Sangat mungkin yang dimaksud dengan frasa ini adalah bahwa umat Islam Indonesia berhak menuntut untuk kepada mereka sudah pada tempatnya diberikan keadilan dan kepastian hukum dalam bentuk sebuah UU JPH nasional, yang berlandaskan syariah Islam mengenai hal halal dan hal haram sehubungan dengan sekian produk yang mereka makan sehari-hari mengingat secara proporsional mereka adalah warganegara dan penduduk mayoritas negara RI.
Tentu orang bisa memahami kalau suatu kelompok mayoritas di dalam suatu negara manapun di dunia selalu ingin tampil sebagai pengatur dan penentu kehidupan berbangsa dan bernegara, dan selalu menuntut diperlakukan secara proporsional, sejalan dengan jumlah mereka yang lebih besar. Tetapi, apakah NKRI, dalam perjalanan sejarahnya, mengenal dan memberlakukan suatu sistem hukum proporsional seperti yang dikehendaki RUU JPH ini, yang melaluinya kewenangan terbesar mengatur negara ini diminta diserahkan kepada kelompok mayoritas, yakni umat Islam? Bukankah negara RI selama ini adalah suatu negara kesatuan dalam keanekaragaman, suatu negara yang meskipun rakyatnya “majemuk tetapi satu adanya” (Bhinneka Tunggal Ika), bukan suatu negara agama atau suatu negara teokratis yang dipimpin oleh suatu kelompok keagamaan mayoritas yang dapat memaksakan kehendak mereka kepada kelompok-kelompok keagamaan minoritas yang banyak jumlahnya meskipun kecil-kecil kuantitasnya? Bukankah selama ini, NKRI adalah suatu negara yang memperlakukan semua warganegaranya sebagai orang-orang yang sama dan sederajat di mata hukum? Juga, penting kita terima sebagai suatu fakta bahwa kawasan Indonesia Timur adalah suatu kawasan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, bukan Islam. Apakah kawasan Barat dan kawasan Timur Indonesia harus dibuat berbenturan? Hayo, sebaiknya kita semua, khususnya MUI dkk, kembali kepada visi besar sosio-kultural dan sosio-politis yang inklusif-pluralis Pancasilais dari para pendiri dan peletak awal landasan hukum bangsa dan negara Indonesia ini, visi besar yang membuat bangsa Indonesia yang majemuk selama ini dapat dipersatukan dengan kokoh dan kuat!
Sejauh kita tahu dan sepakati, di seluruh dunia setiap UU apapun, apalagi yang dihasilkan melalui suatu proses demokratis dan musyawarah panjang di lembaga legislatif, memiliki suatu kekuatan memaksa (a coercive power) untuk UU ini diberlakukan oleh semua pejabat negara dan ditaati oleh semua warganegaranya tanpa kecuali. Kalau RUU JPH ini nanti akan diundangkan sebagai UU (mungkin suatu hasil dari perjuangan sepihak habis-habisan MUI dkk, misalnya, atau mungkin juga suatu hasil dari proses pembahasan yang demokratis di DPR-RI), UU JPH ini tentu haruslah memiliki a coercive power itu.
Tetapi, pada bagian Penjelasan RUU ini atas pasal 18, ayat 1, dinyatakan bahwa suatu “sertifikasi produk halal” yang dikeluarkan MUI dengan bekerja sama dengan Menteri Agama RI tidaklah dipaksakan harus ada, tetapi diperoleh melalui permohonan yang “bersifat sukarela”. Jadi, menurut bagian Penjelasan RUU JPH ini, sertifikasi halal ini boleh ada dan juga boleh tidak, alias sertifikasi ini dapat dimohon voluntarily, dan tidak diberlakukan paksa alias obligatory atau mandatory atau compulsory! Orang tentu heran besar, kalau dalam negeri kita ini ada suatu ketentuan UU yang boleh ditaati sekaligus juga boleh tidak ditaati. Di mana kewibawaan UU semacam ini? Dan, lebih tragis lagi, apakah kewibawaan Presiden RI dan menteri-menterinya (setidaknya Menteri Agama dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) tidak akan jatuh kalau harus mengesahkan dan mengimplementasikan UU JPH yang tidak berwibawa dan tidak memperlakukan semua warganegara RI yang majemuk sebagai insan-insan yang sama status dan hak mereka di hadapan hukum? Apakah tidak sebaiknya setiap RUU dan UU yang tidak berwibawa ditinjau ulang keberadaannya oleh DPR RI atau oleh suatu lembaga tinggi negara lainnya?
Siapapun yang dengan seksama telah membaca semua pasal RUU JPH ini, khususnya pasal-pasal yang memuat ketentuan sanksi administratif, sanksi pidana dan sanksi denda yang besar, dia akan menyimpulkan bahwa sebetulnya seluruh isi RUU JPH ini bermuara hanya pada satu tujuan, yakni supaya sejumlah produk makanan yang diproduksi di dalam negeri memiliki Sertifikasi Produk Halal yang dikeluarkan MUI bekerja sama dengan Menteri Agama RI. Tak pelak lagi, orang dapat bertanya: Apakah ketidakberwibawaan RUU JPH ini, karena tujuan utama pengundangannya sekaligus boleh diterima dan juga boleh tidak diterima, timbul karena memang tujuan RUU JPH ini bukan untuk menegakkan hukum (apapun), tetapi untuk mendapatkan suatu keuntungan komersial melalui suatu sarana hukum? Siapapun sukar sekali menjawab pertanyaan ini.
RUU JPH ini dengan sangat tegas mengakui “kemerdekaan beribadat” setiap warganegara menurut agamanya masing-masing (bagian Pertimbangan butir c), dan secara eksplisit RUU ini merujuk ke sebuah pasal terkenal UUD 45, yakni pasal 29. Jika demikian, kalau memang soal penentuan halal dan haram suatu makanan, seperti sudah dikutip di atas, adalah bagian dari ibadah warganegara, lebih baik serahkanlah kepada setiap Muslim Indonesia, setiap insan warganegara Indonesia, untuk menentukan sendiri dengan sukarela dan bebas, tanpa paksaan, mana makanan yang halal dan mana makanan yang haram, menurut keputusan hati nurani masing-masing. Untuk hal ini, percayalah bahwa bangsa Indonesia sudah sangat dewasa sehingga tidak perlu diatur oleh sebuah UU yang kelihatan tidak berwibawa.