Author: Mohamad Guntur Romli
Aktivis Muslim liberal, kurator Komunitas Salihara, Jakarta
(Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo, Senin 7 Desember 2009)
“Qanun Jinayat” yang telah diresmikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tak henti menyulut kontroversi, yang tak hanya datang dari luar, namun juga dari masyarakat Aceh sendiri. Gubernur Aceh sendiri pun tak kunjung menyetujuinya. Bagi Pemerintah Aceh, prosedur “Qanun” ini cacat hukum. Sementara dari sisi substansi, argumentasi “Qanun” ini amat rapuh.
Yang paling fatal, “Qanun” ini tidak memasukkan pelanggaran-pelanggaran yang seharusnya dikategorikan tindak pidana (jinayat). Namun sebaliknya “Qanun” ini malah menetapkan perbuatan yang semestinya bukan tindak pidana sebagai tindak pidana. Lebih dari itu “Qanun” ini telah melanggar batas: memasuki ranah yang bukan wewenangnya.
Dalam Bab II Pasal 2, disebutkan “Qanun ini mengatur tentang jarimah dan ‘uqubat khamar, maisir, khalwat, ikhthilath, zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf, liwâth, dan musâhaqah”. “Qanun” dengan sangaja tak menyebut pembunuhan (qatl) dan pencurian (sariqah) sebagai tindak kejahatan (jarîmah).
“Qanun” ini juga menyebut perilaku yang diasumsikan tercela secara moral, tapi sebenarnya bukan tindak-pidana, yakni khalwat. Khalwat artinya laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berada berduaan di suatu tempat yang tertutup. Sementara ikhthilath yang berarti laki-laki dan perempuan bercampur-baur di suatu tempat tak pernah disebut sebagai perbuatan yang tercela secara moral—apalagi sampai disebut sebagai tindak pidana. Orang yang thawaf di sekeliling Ka’bah di Makkah baik laki-laki ataupun perempuan bercampur-baur, tidak ada batas atau jalur khusus thawaf yang memisahkan laki-laki dari perempuan.
“Qanun” yang berbasis pada klaim syariat Islam ini ingin diberlakukan juga pada orang di luar pemeluk Islam (Bab II Pasal 4 ayat b dan c). Padahal ketentuan-ketentuan syariat Islam hanya berlaku bagi orang Islam saja. Maka, “Qanun” ini telah melampaui batas wewenangnya. “Qanun” ini melanggar ayat lakum dinukum wa liya din (“bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”).
Saya tidak habis pikir mengapa “Qanun” ini tidak menyebut pembunuhan dan pencurian sebagai tindakan kriminal. Mungkin saja karena sanksinya yang kontroversial: pencuri akan dipotong tangannya, sementara pembunuh diancam hukuman mati. Namun anehnya penyusun “Qanun” ini memasukkan sanksi rajam bagi pezina (yang menikah). Apa alasan skala prioritas perzinaan atas kasus pencurian—atau korupsi misalnya—sementara dampak “pemberantasan korupsi” lebih berguna bagi kepentingan publik? Apakah para anggota dewan yang terhormat itu khawatir atas hukuman potong tangan terhadap pelaku tindak pidana korupsi karena korupsi mudah ditemukan di kalangan mereka sendiri?
Tak pelak lagi asumsi dasar dari “Qanun” ini adalah perkara moralitas yang berbasis pada seks. Cermati saja pasal-pasal perzinaan, khalwath, ikhthilath, hingga liwâth (sodomi) dan musâhaqah (tribadisme)—yang sering dituduhkan pada kalangan homoseksual; maka jelas, basis asumsinya adalah seks sebagai sumber kriminalitas.
Kalau para penyusun “Qanun Jinayat” ini secara konsisten merujuk pada kajian al-Fiqh al-Jinâ’î al-Islâmî (Fiqh Pidana Islam) klasik, maka akan tampak soal “pidana Islam” ini bukan soal “tebang pilih”, dan para ulama fiqh klasik pun sangat ketat dan berhati-hati membahas perkara ini.
Pembahasan yang terangkum misalnya dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah al-Zuhayli (1997, vol 7) mengulas pembahasan “hudud”. “Hudud” artinya “batas” atau “larangan” yang konotasinya adalah “hukuman” (uqubat) yang ditentukan oleh Allah. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah materi pidana. Madzhab Hanafi menyebut ada lima ditambah satu “qishash”, sementara mayoritas ulama fiqh menyebut delapan: zina, qadzf (pembunuhan karakter dengan tuduhan zina), minum khamr, pencurian, membuat kekacauan (al-hirabah), pemberontakan (al-baghy), murtad, dan pembunuhan. Ada juga seorang ulama madzhab Maliki yang menyatakan sampai tiga belas (hlm 5276).
Sedangkan Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidâyatul Mujtahid (1995, vol 4) menyebut empat jenis tindak pidana: (1) kejahatan terhadap jiwa dan badan disebut qatl (pembunuhan) dan jarh (pencideraan); (2) pelanggaran terhadap perkelaminan disebut zina; (3) pelanggaran terhadap hak milik disebut pencurian (sariqah) atau perampasan dan perampokan (al-hirabah, al-ghashab); (4) pelanggaran terhadap kemuliaan diri disebut qadzf (hlm 2161). Empat jenis tindakan inilah yang bisa disebut “pidana murni”. Kendati para ulama memiliki ragam pendapat soal jenis tindak pidana, tapi tidak ada yang mengabaikan bahwa pembunuhan dan pencurian adalah pelanggaran. Dan tidak pula menjadikan perkara-perkara yang berbau moral sebagai pelanggaran pidana.
Sedangkan bentuk-bentuk sanksi pidananya yang disebut oleh Alquran adalah potong tangan untuk pencurian, cambuk untuk zina dan qadzf, hingga hukuman mati bagi pembunuhan yang disengaja—hukuman rajam tidak ada dalam Alquran. Bentuk hukuman itu dinyatakan sebagai “hudud”, yang berarti “batas maksimal dari hukuman”. Yang dilarang adalah melanggar “batas maksimal dari hukuman” itu, sementara beberapa ulama memperbolehkan menjatuhkan sanksi di bawah “batas maksimal hukuman” tadi.
Dalam soal pembuktian tindak pidana “Fiqh Pidana Islam” klasik memberikan aturan secara ketat, tidak seperti “Hukum Acara Jinayat” yang asal “copy-paste” dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)—yang membuktikan lagi inkonsistensi “Qanun Jinayat” itu. Syarat pembuktian zina dalam “Fiqh Pidana Islam” adalah kesaksian empat orang laki-laki yang beragama Islam, merdeka, dewasa dan sadar, yang melihat dengan mata telanjang perkara “kontak antar-kelamin” yang dikiaskan seperti “pedang yang masuk ke sarungnya”, dan secara bersama-sama berada di tempat kejadian dan di waktu yang bersamaan pula. Namun dalam “Hukum Acara Jinayat” aturan-aturan tadi tidak dirujuk.
Walhasil “Qanun Jinayat” ini inkonsisten, landasan argumentasinya sangat keropos, tidak jelas rujukannya, asal main comot dari Hukum Pidana Islam dan KUHAP, dan yang paling fatal adalah “Qanun” ini dikeluarkan di Aceh—yang masuk dalam wilayah Republik Indonesia—dan bertentangan dengan Konstitusi di Indonesia.
“Qanun Jinayat” berarti “Undang-undang Hukum Pidana”. Namun karena “Qanun” itu tidak menyebutkan kejahatan yang seharusnya masuk ke kategori tindak pidana, atau memandang perbuatan yang bukan tindak pidana tapi diancam sanksi pidana, serta ditemukan inkonsistensi di sana-sini, maka “Qanun” ini tak lebih sebagai modus operandi kriminalisasi dan diskriminasi gaya baru.