Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen Liberal
(Tulisan ini juga sudah terbit di Koran Tempo 04 Desember 2009, hlm A11)
Saya sungguh heran melihat kenyataan sekarang ini bahwa umat bermacam agama di dunia dewasa ini, di bawah komando para pemimpin rohani mereka, berhasrat kuat untuk mengubah negara mereka yang semula bukan sebuah negara teokratis menjadi sebuah negara teokratis! Kenyataan ini bukan saja dapat kita lihat sedang terjadi belakangan ini di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi juga di negara supermodern adidaya yang namanya Amerika Serikat, yang bagian terbesar penduduknya tentu saja masih akan mengaku beragama Kristen, apapun bentuk dan isi kekristenan yang mereka akui itu.
Di Indonesia, negara yang saya paling kenal dari antara semua negara lainnya di dunia masa kini, berbagai kalangan “Muslim Syariah” sedang bahu-membahu membangun berbagai bentuk kerjasama jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan negeri ini suatu negara teokratis Islami, negeri yang UUD-nya akan berupa Syariah Islam, atau berupa hukum-hukum dan ajaran-ajaran keagamaan yang ditarik langsung dari Alquran dan hadis Nabi. Di Amerika Serikat, kalangan Kristen injili fundamentalis, atau yang juga dikenal sebagai kalangan “Kristen sayap kanan”, yang jumlahnya minimal berkisar antara 100 sampai 150 juta orang, juga sedang berjuang jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan Alkitab, atau lebih spesifik lagi, Sepuluh Perintah Musa, The Ten Commandments, sebagai UUD negara besar ini.
Yang saya mau ingatkan pada kesempatan ini bukanlah bahwa usaha untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat sebuah negara teokratis sesungguhnya adalah suatu pengkhianatan terhadap visi-visi besar para national founding fathers negara-negara ini, yang telah berhasil mempersatukan dan mengikat negeri mereka masing-masing dalam satu ideologi kebangsaan dan satu UUD yang tidak terikat pada satu agama manapun, dan yang karenanya diterima semua kalangan.
Yang sesungguhnya saya mau ingatkan adalah bahwa usaha-usaha keras untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat suatu negara teokratis di abad XXI ini muncul terutama karena telah terjadi suatu kesalahan mendasar dan berbahaya dalam pengajaran tentang bagaimana memahami, menafsirkan dan menerapkan Kitab Suci, suatu pengajaran keliru yang telah diberikan atau diindoktrinasikan sejak masa kanak-kanak setiap orang beragama. Sesungguhnya, pendirian sebuah teokrasi pada zaman modern ini adalah suatu kesalahan hermeneutis, yang dibuat hanya oleh kalangan literalis skripturalis.
Literalis skripturalis
Kalangan literalis skripturalis memandang Kitab Suci atau tradisi-tradisi kuno pra-modern yang berbasis Kitab Suci sebagai pedoman satu-satunya bagi manajemen semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya bagi manajemen kehidupan politik masyarakat. Ketika Kitab Suci dipakai sebagai pedoman satu-satunya, kalangan ini mengikuti saja apa yang mentah-mentah tertulis di dalamnya, whatever the cost. Karena bagi kalangan literalis skripturalis segala “firman Allah” yang sudah ditulis dalam Kitab Suci pasti tidak bisa salah, selalu relevan dan kekal adanya, mereka tidak mau mengakui bahwa antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI terbentang sebuah jurang sejarah (atau “jurang waktu”, “jurang kronologis”) dan sebuah jurang kebudayaan yang lebar dan dalam, yang keduanya mustahil bisa diseberangi begitu saja oleh siapapun yang hidup dalam zaman modern.
Dengan adanya dua kesenjangan ini, pemindahan begitu saja dunia kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI akan menimbulkan suatu anakronisme yang berbahaya, berupa suatu clash, suatu benturan keras dan membinasakan, antar dua kebudayaan: kebudayaan kuno pramodern yang sangat asing (“an alien culture”) dan kebudayaan modern yang sudah biasa dijalani (“a familiar culture”), kebudayaan kuno pramodern yang antidemokrasi dan kebudayaan modern yang pro-demokrasi, kebudayaan kuno pramodern yang tidak menghargai HAM dan kesetaraan gender dan kebudayaan modern yang membela HAM dan memberlakukan kesetaraan gender, kebudayaan kuno pramodern yang dengan keras memberlakukan hukuman potong tangan, pemecutan dan perajaman dan kebudayaan modern yang melarang keras dan sudah meniadakan hukuman potong tangan, pemecutan dan perajaman, dan seterusnya. “Clash of civilizations” yang ditimbulkan oleh kalangan literalis skripturalis ini menunjukkan bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan hermeneutis yang sangat serius dan fatal! Benturan dua kebudayaan atau dua peradaban ini, antara yang kuno pramodern dan yang modern, terjadi karena kalangan literalis skripturalis, sesuai dengan posisi mereka, tidak menjalankan suatu hermeneutik yang critical historical, suatu hermeneutik historis kritis.
Historis kritis
Nah, orang-orang yang memakai pendekatan critical historical terhadap Kitab Suci tidak akan pernah menjadi orang-orang literalis skripturalis. Mereka tidak akan pernah dengan gegabah menyatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya pedoman bagi penataan seluruh kehidupan manusia, bahwa apapun yang tertulis dalam Kitab Suci harus mentah-mentah dan begitu saja diikuti dan dilaksanakan, apapun taruhannya, bahwa apapun yang ditulis dalam Kitab Suci akan selalu relevan dan berlaku abadi sampai dunia kiamat. Kalangan ini sungguh-sungguh mengakui dan menerima adanya kesenjangan sejarah dan kesenjangan kebudayaan antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI. Karena itu, mereka tidak akan pernah mau memindahkan begitu saja dunia kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI. Karena itu, mereka juga akan dapat dengan lega dan rela dan dengan penuh tanggungjawab menyatakan ada banyak pandangan Kitab Suci yang sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan modern abad XXI. Karena itu, mereka sungguh-sungguh menghindari anakronisme ketika mereka mau memahami Kitab Suci dalam suatu konteks kehidupan modern abad XXI; dan mereka juga tidak mau menimbulkan suatu benturan keras antar dua peradaban atau dua kebudayaan: kebudayaan dan peradaban kuno pramodern Kitab Suci dan kebudayaan dan peradaban modern abad XXI.
Kalangan yang memakai pendekatan historis kritis dalam memahami Kitab Suci memandang bahwa setiap teks Kitab Suci tidak muncul begitu saja seolah diturunkan langsung sebagai wahyu dari surga, dari Allah dan para malaikat-Nya. Ketika mau memahami sebuah teks Kitab Suci, mereka mempertimbangkan dengan sangat teliti dan seksama segala faktor insani yang berperan dalam melahirkan teks itu. Keseksamaan dan ketelitian dalam mempertimbangkan semua faktor insani inilah yang disebut sebagai criticism (berasal dari kata Yunani krinein, Inggris-nya “to judge”, yang artinya “memutuskan dan menjatuhkan penilaian berdasarkan sekian pertimbangan yang matang dan multidimensional”).
Seorang yang memakai pendekatan kritis memandang bahwa setiap teks Kitab Suci lahir atau ditulis dengan terikat pada konteks sejarah masing-masing pada zaman dulu. Karena itu, bagi mereka, untuk memahami suatu teks Kitab Suci dengan benar dan dengan bertanggungjawab teks ini harus pertama-tama ditempatkan dalam konteks sejarah kelahirannya dulu, di dunia kuno pramodern. Karena ditulis di dalam suatu konteks sejarah masa lampau dan terikat kuat pada konteks sejarah ini, setiap teks Kitab Suci tidak bisa begitu saja dipindahkan dan diberlakukan apa adanya di dalam suatu konteks kehidupan modern masa kini yang sudah sangat jauh berbeda dari konteks kehidupan kuno pramodern. Ihwal apakah suatu teks Kitab Suci relevan atau sudah tidak relevan lagi dalam suatu kehidupan modern, dengan demikian, harus dipertimbangkan dengan sangat teliti dan kritis. Jika langkah-langkah critical dan historical ini dilakukan si penafsir pada masa kini, berarti si penafsir ini melakukan penafsiran sebuah teks Kitab Suci secara historis kritis.
Pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci, yang disertai dengan pengenalan mendalam terhadap kehidupan manusia modern abad XXI dan terhadap pengalaman baik dan pengalaman buruk yang telah dijalani manusia dalam sejarah, akan membuat setiap orang beragama tidak mau begitu saja memindahkan pandangan-pandangan kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI.
Karena itu, pantaslah, kalangan cerdik pandai yang memakai pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci dan yang memiliki kesadaran kritis dalam menimbang-nimbang segi baik dan segi buruk masa lampau manusia, akan berdiri di garis terdepan dalam menolak usaha-usaha mengubah Indonesia atau Amerika Serikat menjadi negara teokratis, yang mau dibangun kalangan literalis skripturalis politis di atas fondasi-fondasi ajaran-ajaran Kitab Suci dan hukum-hukum keagamaan yang dibuat di zaman kuno pramodern yang sudah sangat asing bagi orang yang hidup di zaman modern abad XXI.
Pemikir Kristen Liberal
(Tulisan ini juga sudah terbit di Koran Tempo 04 Desember 2009, hlm A11)
Saya sungguh heran melihat kenyataan sekarang ini bahwa umat bermacam agama di dunia dewasa ini, di bawah komando para pemimpin rohani mereka, berhasrat kuat untuk mengubah negara mereka yang semula bukan sebuah negara teokratis menjadi sebuah negara teokratis! Kenyataan ini bukan saja dapat kita lihat sedang terjadi belakangan ini di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi juga di negara supermodern adidaya yang namanya Amerika Serikat, yang bagian terbesar penduduknya tentu saja masih akan mengaku beragama Kristen, apapun bentuk dan isi kekristenan yang mereka akui itu.
Di Indonesia, negara yang saya paling kenal dari antara semua negara lainnya di dunia masa kini, berbagai kalangan “Muslim Syariah” sedang bahu-membahu membangun berbagai bentuk kerjasama jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan negeri ini suatu negara teokratis Islami, negeri yang UUD-nya akan berupa Syariah Islam, atau berupa hukum-hukum dan ajaran-ajaran keagamaan yang ditarik langsung dari Alquran dan hadis Nabi. Di Amerika Serikat, kalangan Kristen injili fundamentalis, atau yang juga dikenal sebagai kalangan “Kristen sayap kanan”, yang jumlahnya minimal berkisar antara 100 sampai 150 juta orang, juga sedang berjuang jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan Alkitab, atau lebih spesifik lagi, Sepuluh Perintah Musa, The Ten Commandments, sebagai UUD negara besar ini.
Yang saya mau ingatkan pada kesempatan ini bukanlah bahwa usaha untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat sebuah negara teokratis sesungguhnya adalah suatu pengkhianatan terhadap visi-visi besar para national founding fathers negara-negara ini, yang telah berhasil mempersatukan dan mengikat negeri mereka masing-masing dalam satu ideologi kebangsaan dan satu UUD yang tidak terikat pada satu agama manapun, dan yang karenanya diterima semua kalangan.
Yang sesungguhnya saya mau ingatkan adalah bahwa usaha-usaha keras untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat suatu negara teokratis di abad XXI ini muncul terutama karena telah terjadi suatu kesalahan mendasar dan berbahaya dalam pengajaran tentang bagaimana memahami, menafsirkan dan menerapkan Kitab Suci, suatu pengajaran keliru yang telah diberikan atau diindoktrinasikan sejak masa kanak-kanak setiap orang beragama. Sesungguhnya, pendirian sebuah teokrasi pada zaman modern ini adalah suatu kesalahan hermeneutis, yang dibuat hanya oleh kalangan literalis skripturalis.
Literalis skripturalis
Kalangan literalis skripturalis memandang Kitab Suci atau tradisi-tradisi kuno pra-modern yang berbasis Kitab Suci sebagai pedoman satu-satunya bagi manajemen semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya bagi manajemen kehidupan politik masyarakat. Ketika Kitab Suci dipakai sebagai pedoman satu-satunya, kalangan ini mengikuti saja apa yang mentah-mentah tertulis di dalamnya, whatever the cost. Karena bagi kalangan literalis skripturalis segala “firman Allah” yang sudah ditulis dalam Kitab Suci pasti tidak bisa salah, selalu relevan dan kekal adanya, mereka tidak mau mengakui bahwa antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI terbentang sebuah jurang sejarah (atau “jurang waktu”, “jurang kronologis”) dan sebuah jurang kebudayaan yang lebar dan dalam, yang keduanya mustahil bisa diseberangi begitu saja oleh siapapun yang hidup dalam zaman modern.
Dengan adanya dua kesenjangan ini, pemindahan begitu saja dunia kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI akan menimbulkan suatu anakronisme yang berbahaya, berupa suatu clash, suatu benturan keras dan membinasakan, antar dua kebudayaan: kebudayaan kuno pramodern yang sangat asing (“an alien culture”) dan kebudayaan modern yang sudah biasa dijalani (“a familiar culture”), kebudayaan kuno pramodern yang antidemokrasi dan kebudayaan modern yang pro-demokrasi, kebudayaan kuno pramodern yang tidak menghargai HAM dan kesetaraan gender dan kebudayaan modern yang membela HAM dan memberlakukan kesetaraan gender, kebudayaan kuno pramodern yang dengan keras memberlakukan hukuman potong tangan, pemecutan dan perajaman dan kebudayaan modern yang melarang keras dan sudah meniadakan hukuman potong tangan, pemecutan dan perajaman, dan seterusnya. “Clash of civilizations” yang ditimbulkan oleh kalangan literalis skripturalis ini menunjukkan bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan hermeneutis yang sangat serius dan fatal! Benturan dua kebudayaan atau dua peradaban ini, antara yang kuno pramodern dan yang modern, terjadi karena kalangan literalis skripturalis, sesuai dengan posisi mereka, tidak menjalankan suatu hermeneutik yang critical historical, suatu hermeneutik historis kritis.
Historis kritis
Nah, orang-orang yang memakai pendekatan critical historical terhadap Kitab Suci tidak akan pernah menjadi orang-orang literalis skripturalis. Mereka tidak akan pernah dengan gegabah menyatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya pedoman bagi penataan seluruh kehidupan manusia, bahwa apapun yang tertulis dalam Kitab Suci harus mentah-mentah dan begitu saja diikuti dan dilaksanakan, apapun taruhannya, bahwa apapun yang ditulis dalam Kitab Suci akan selalu relevan dan berlaku abadi sampai dunia kiamat. Kalangan ini sungguh-sungguh mengakui dan menerima adanya kesenjangan sejarah dan kesenjangan kebudayaan antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI. Karena itu, mereka tidak akan pernah mau memindahkan begitu saja dunia kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI. Karena itu, mereka juga akan dapat dengan lega dan rela dan dengan penuh tanggungjawab menyatakan ada banyak pandangan Kitab Suci yang sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan modern abad XXI. Karena itu, mereka sungguh-sungguh menghindari anakronisme ketika mereka mau memahami Kitab Suci dalam suatu konteks kehidupan modern abad XXI; dan mereka juga tidak mau menimbulkan suatu benturan keras antar dua peradaban atau dua kebudayaan: kebudayaan dan peradaban kuno pramodern Kitab Suci dan kebudayaan dan peradaban modern abad XXI.
Kalangan yang memakai pendekatan historis kritis dalam memahami Kitab Suci memandang bahwa setiap teks Kitab Suci tidak muncul begitu saja seolah diturunkan langsung sebagai wahyu dari surga, dari Allah dan para malaikat-Nya. Ketika mau memahami sebuah teks Kitab Suci, mereka mempertimbangkan dengan sangat teliti dan seksama segala faktor insani yang berperan dalam melahirkan teks itu. Keseksamaan dan ketelitian dalam mempertimbangkan semua faktor insani inilah yang disebut sebagai criticism (berasal dari kata Yunani krinein, Inggris-nya “to judge”, yang artinya “memutuskan dan menjatuhkan penilaian berdasarkan sekian pertimbangan yang matang dan multidimensional”).
Seorang yang memakai pendekatan kritis memandang bahwa setiap teks Kitab Suci lahir atau ditulis dengan terikat pada konteks sejarah masing-masing pada zaman dulu. Karena itu, bagi mereka, untuk memahami suatu teks Kitab Suci dengan benar dan dengan bertanggungjawab teks ini harus pertama-tama ditempatkan dalam konteks sejarah kelahirannya dulu, di dunia kuno pramodern. Karena ditulis di dalam suatu konteks sejarah masa lampau dan terikat kuat pada konteks sejarah ini, setiap teks Kitab Suci tidak bisa begitu saja dipindahkan dan diberlakukan apa adanya di dalam suatu konteks kehidupan modern masa kini yang sudah sangat jauh berbeda dari konteks kehidupan kuno pramodern. Ihwal apakah suatu teks Kitab Suci relevan atau sudah tidak relevan lagi dalam suatu kehidupan modern, dengan demikian, harus dipertimbangkan dengan sangat teliti dan kritis. Jika langkah-langkah critical dan historical ini dilakukan si penafsir pada masa kini, berarti si penafsir ini melakukan penafsiran sebuah teks Kitab Suci secara historis kritis.
Pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci, yang disertai dengan pengenalan mendalam terhadap kehidupan manusia modern abad XXI dan terhadap pengalaman baik dan pengalaman buruk yang telah dijalani manusia dalam sejarah, akan membuat setiap orang beragama tidak mau begitu saja memindahkan pandangan-pandangan kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI.
Karena itu, pantaslah, kalangan cerdik pandai yang memakai pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci dan yang memiliki kesadaran kritis dalam menimbang-nimbang segi baik dan segi buruk masa lampau manusia, akan berdiri di garis terdepan dalam menolak usaha-usaha mengubah Indonesia atau Amerika Serikat menjadi negara teokratis, yang mau dibangun kalangan literalis skripturalis politis di atas fondasi-fondasi ajaran-ajaran Kitab Suci dan hukum-hukum keagamaan yang dibuat di zaman kuno pramodern yang sudah sangat asing bagi orang yang hidup di zaman modern abad XXI.