Author: Peter Suwarno
Pengajar di Arizona State University, USA
Pertama kali saya mendengar cerita tentang Nabi Abraham adalah waktu saya duduk di kelas enam SD. Sang guru agama menceritakan bagaimana Allah sedang menguji Abraham dengan meminta agar Abraham mengorbankan anaknya yang paling dikasihinya. Abraham gundah memikirkan perintah Allah tersebut, dan saya pun waktu itu yakin bahwa Abraham pasti akan lulus dengan gemilang atas ujian berat dari Allah tersebut, karena dia adalah Nabi pilihan Allah yang hebat.
Ketika sang guru menggambarkan bagaimana Abraham sudah menyiapkan sebuah tempat pembakaran korban, mengikat anaknya, dan menyiapkan pisau, saya mulai miris dan sangat berharap bahwa ceritanya akan berakhir dengan Abraham mengurungkan niatnya yang keji tersebut. Tapi saya terkejut karena Abraham digambarkan dengan jelas betul-betul mau menyembelih anaknya sendiri dan membakarnya sebagai suatu persembahan bagi Allah —betul-betul melaksanakan perintah persis seperti yang diucapkan Allah. Saya betul-betul tercengang, saya berpikir Abraham gila dan dia pasti gagal total atas ujian Allah tersebut. Bukankah perintah Allah itu sebuah ujian —untuk menguji apakah Abraham mengerti mana tindakan seorang bapak yang terhormat dan mana tindakan bapak yang jahat. Kalau Abraham benar-benar mau mengorbankan anaknya sendiri yang paling disayanginya itu, dalam pikiran saya waktu itu, Abraham adalah bapak yang jahat dan jelas gagal total atas ujian Allah, karena Abraham tidak mengerti apa yang diinginkan Allah, yakni dia bisa menggunakan pikiran kemanusiaannya untuk menimbang perintah mana yang baik untuk dituruti dan perintah mana yang hanya sebagai ujian dan tidak harus dituruti.
Ketika saya merasa ketar-ketir dan miris, sang guru melanjutkan dengan cerita tentang kemunculan seorang malaikat dan seekor domba. Maka digagalkanlah oleh Allah kemauan Abraham untuk menyembelih anaknya sendiri. Saya segera tarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perasaan lega. Tapi saya ingat betul waktu itu saya menyalahkan Abraham. Bahkan dalam hati saya menggoblok-goblokkan Abraham; untung Allah menggagalkan tindakkan Abraham. Bayangkan kalau malaikat tidak turun tangan dan menggagalkannya, pemandangan keji dan tidak manusiawi seperti apa yang akan terjadi.
Kemudian sang guru meneruskan ceritanya dengan menggarisbawahi bahwa Abraham telah lulus ujian yang berat. Ini gila, pikir saya. Sayapun angkat tangan dan, kurang lebih, mempertanyakan bagaimana Abraham bisa lulus ujian kalau seorang bapak mau membunuh anaknya? Jawab guru tegas, bahwa seorang yang menuruti perintah Allah pasti diberkati Allah; walaupun perintah itu kelihatannya sulit atau bertentangan dengan pikiran atau perasaan manusia, perintah Allah harus dilaksanakan. Tuhan mempunyai suatu rencana yang indah bagi umatnya yang taat penuh pada perintah-Nya. Allah akan menunjukkan sebuah jalan pemecahan yang adil dan mulia atau bahkan keajaiban yang menakjubkan manusia apabila manusia menuruti segala perintah Allah dengan patuh seratus persen.
Jawaban guru tersebut mengendap dalam benak saya. Dengan berbagai cerita Abraham berikutnya, dan semakin dewasanya saya, semakin membuat saya mengakui kehebatan Abraham dan kebenaran tindakan Abraham tersebut. Berpuluh-puluh tahun saya menyalahkan cara berpikir saya sendiri yang innocent dan naïve di masa kecil tersebut.
Tadi malam, walaupun biasanya saya membacakan sebuah buku pada anak saya yang berumur 10 tahun, saya bercerita mengenai Abraham persis yang dulu diceritakan guru saya. Pada adegan Abraham menyiapkan penyembelihan anaknya, anak saya bereaksi: “Really? You mean he was really gonna kill his own son?” “He is crazy.” Saya termenung dan tidak berkomentar banyak lagi karena hari sudah larut malam; sambil membentangkan selimut, saya hanya menjelaskan Tuhan menyelamatkan anak tersebut dan menggagalkan pengorbanan anak.
Reaksi anak saya itu persis sama dengan reaksi saya di masa kecil dulu, dan saya kembali menghargai pikiran innocent saya waktu saya kecil, bahwa siapapun orangnya, apapun alasannya, adalah jahat bagi seorang bapak jika dia benar-benar mau menyembelih anaknya— meskipun itu perintah Allah, meskipun itu tertuang jelas dalam kitab suci, meskipun itu berkali-kali dikhotbahkan di berbagai tempat ibadah. Kemauan membunuh anak kesayangan, sekalipun demi Allah yang maha tahu sekalipun, adalah jahat — jahat di masa lalu, jahat di zaman sekarang, dan jahat di waktu depan. Mengikuti perintah Allah hanya berdasar iman, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah lama didiskusikan dan diperdebatkan dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, bisa salah, bisa membawa ketidakadilan, dan bahkan bisa jahat.
Sejarah menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang lebih berdasarkan pergumulan berpikir, yang terus diuji, digali dan dicari, bisa mengungguli nilai-nilai yang tertulis dalam kitab yang kita anggap paling suci, mutlak benar, dan tidak boleh dikritik apalagi diubah oleh manusia. Manusia dengan segala kapasitas kemanusiaannya yang selalu mencari kehidupan yang lebih baik menemukan bahwa, misalnya, perbudakan itu tidak manusiawi dan wajib dihapuskan, atau demokrasi dan persamaan hak itu penting bagi kesejahteraaan seluruh umat manusia tanpa pandang bulu — ini semua merupakan nilai-nilai (modern) yang sering kurang jelas dan tegas dalam ajaran agama dan kitab suci.
Bahkan kita yang beragama sering direpotkan dengan keharusan membela diri bahwa kitab suci dan ajaran agama kita dengan tegas menentang segala bentuk perbudakan, bahwa agama kita tidak bertentangan dengan demokrasi dan persamaan hak dan persamaan gender. Kenapa kita harus bersusah payah menginterpretasikan kembali teks sakral agama kita (yang sering lebih kelihatan sebagai tindakan “mengakali”) supaya ayat-ayat suci kelihatan dengan tegas membela hak-hak azasi manusia? Kenapa kita begitu berat mengakui bahwa ada unsur-unsur perintah Allah yang tertuang dalam kitab ampuh itu yang sudah tidak boleh atau tidak bisa lagi dilaksanakan pada masa kini dan harus dilupakan atau dihapus kalau kita ingin menciptakan suatu masyarakat modern yang lebih manusiawi?
Jawabnya barangkali adalah kita tidak mau menjadi bangsa ateis, karena masyarakat kita memang adalah masyarakat agamawi sejak dari nenek moyang kita, dan kesadaran ini mungkin ada dalam gene kita. Bayangkan kalau tidak ada seorang nabi yang kita anggap paling sempurna dan menjadi panutan; bayangkan juga apabila kitab suci tidak kita anggap mutlak benar. Negara kita memang berdasarkan ideologi Pancasila yang azas pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa; dan masyarakat kita memang cenderung semakin beragama. Nilai-nilai kehidupan kita sudah semakin banyak dipengaruhi nilai-nilai agama, sehingga hampir tidak mungkin kita memisahkan kehidupan beragama dari kehidupan bermaysarakat dan bernegara. Pemisahan agama dan negara sangat jelas sulit dilaksanakan di Indonesia.
Salah satu contoh penerapan hukum agama dalam masyarakat yang agak baru adalah Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Adalah perintah Allah bahwa umat beragama musti menghindari yang haram, sehingga sudah menjadi hak umat beragama, dalam hal ini umat Muslim, untuk mendapatkan informasi halal tidaknya semua barang, terutama makanan yang dijual di Indonesia. Dan kalau berbicara tentang halal tidaknya suatu produk, sebenarnya pikiran kita menuju pada satu benda, atau seekor binatang, atau suatu makanan, yaitu babi. Banyak alasan kenapa babi diharamkan; salah satunya adalah alasan kebersihan, kesehatan, dan cacing. Setelah banyak penelitian dilakukan, kita sekarang dapat mengonfirmasi bahwa di zaman modern ini daging dan lemak babi tidak lebih berbahaya, atau tidak lebih merusak kesehatan, daripada daging dan lemak lain seperti kambing. Maka alasan pengharaman tinggal satu, yaitu karena pengharaman itu adalah suatu “perintah Allah” dan telah tertuang jelas dalam kitab suci, termasuk kitab suci Perjanjian Lama. Kembali ke pernyataan saya sebelumnya: “perintah Allah” seperti banyak perintah-perintah lain termasuk perintah membunuh orang yang bekerja pada hari sabat jika dilaksanakan tanpa menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah berabad-abad diperdebatkan bisa salah bahkan bisa jahat. Apalagi kalau perintah yang “bisa salah dan bisa jahat” ini dijadikan landasan hukum sebuah bangsa, perintah Allah semacam ini akan bisa berbahaya buat manusia.
Untungnya, perintah kitab suci untuk menghindari segala sesuatu yang mengandung babi minimal tidak secara langsung membahayakan kehidupan dan kesejahteraan manusia Indonesia. Tetapi seharusnya sebuah undang-undang yang tidak mempunyai sebuah landasan rasional yang kuat, kecuali landasan perintah Allah, tidak dijadikan dasar hukum sebuah negara. Sudah banyak alasan yang dikemukakan di berbagai forum diskusi dan media kenapa RUU JPH ini tak bermanfaat; tapi salah satu alasan yang terpenting saya kira adalah bahwa RUU JPH tersebut menonjolkan pentingnya perintah Allah daripada kesehatan dan kesejahteraan manusia—sebuah tendensi yang bila berlanjut bisa menjerumuskan sebuah bangsa ke dalam kesalahan. Menjerumuskan, karena paling sedikit undang-undang seperti ini memalingkan fokus kita dari masalah yang sebenarnya dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia. Ada zat-zat yang dikandung banyak produk makanan di Indonesia yang memang berbahaya dan harus diharamkan, dan zat itu bukan babi, tetapi zat kimia lain seperti formalin, borak, zat pewarna kain, racun yang timbul dari makanan dan obat-obatan kedaluwarsa, dll. Zat-zat berbahaya ini jelas perlu diharamkan. Jadi sedikitnya RUU JPH salah sasaran, karena memalingkan fokus kita dari hal-hal yang sebenarnya krusial dan berbahaya ke hal-hal religius spiritual yang, seperti banyak perintah Allah lainnya, tidak ada sangkut pautnya dengan kedamaian dan kesejahteraan bangsa.
Dalam negara Pancasila, tentu ke depan pasti akan ada banyak usul rancangan undang-undang yang berdasarkan “perintah Allah” atau yang hanya mengedepankan nilai-nilai religius spiritual. Dan justifikasi yang akan diajukan adalah karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius sehingga kesejahteraan spiritual mutlak penting. Karena kemustahilan membuang masuknya nilai keagamaan spiritual dalam undang-undang, dan kemustahilan memisahkan agama dan negara, maka satu-satunya cara yang mungkin dapat diterima adalah menginterpretasikan atau menerjemahkan kehendak dan perintah Allah dalam kehidupan modern. Ini sudah banyak dibicarakan dan dilakukan. Misalnya, fatwa MUI bahwa rokok adalah haram (sayang sudah dimodifikasi) adalah sebuah contoh bagus dalam menerjemahkan perintah agama dengan mementingkan kebersihan, kesehatan dan sekaligus kesejahteraan umum. Kalau yang diharamkan Allah dalam ajaran agama bisa diterjemahkan menjadi hal-hal yang secara ilmiah dan rasional memang dinilai membahayakan kesehatan dan kehidupan manusia, dan hasil penerjemahan ini dijadikan undang-undang, maka nilai-nilai agama akan sangat dihormati sebagai rahmatan lil alamin. Tetapi kalau yang dijadikan undang-undang adalah perintah mengharamkan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebersihan atau kesehatan manusia, maka usaha menjadikan perintah Allah ini suatu undang-undang akan dipandang sebagai usaha penguatan kuasa koersif agama. Oleh sebab itu sangat penting, dalam masyarakat agamis dan Pancasilais seperti Indonesia, kehendak dan perintah Allah diterjemahkan menjadi nilai-nilai kongkrit yang melindungi kesehatan, meningkatkan kesejahteraan, mendamaikan, menghargai hak dan derajat semua orang.
Masalah dan tantangan masyarakat beragama di dunia modern terutama di Indonesia adalah bukan hanya fakta bahwa kita sudah diindoktrinasi mengenai apa yang mutlak benar dan tidak bisa ditawar lagi, tetapi juga fakta bahwa kita sudah semakin takut berpikir berbeda, meskipun pikiran yang berbeda lebih dapat menciptakan toleransi, lebih mendamaikan, lebih adil, dan lebih manusiawi. Dalam masyarakat Indonesia, orang yang berpikiran berbeda tapi lebih manusiawi bahkan bisa dianggap sesat dan tidak agamawi. Ilmuwan agama, pendidik, dan pemimpin juga semakin takut dianggap tidak mengikuti apa yang ditetapkan kitab suci. Hal ini juga sering terjadi dalam penerapan “perintah Allah” dalam masyarakat dan dalam mamasukkannya menjadi usul undang-undang. Semoga para pendidik, politisi, dan penguasa lainnya di dalam masyarakat Indonesia tidak terlalu takut terhadap perintah Allah yang hanya dituangkan dalam kitab-Nya, dan juga terhadap perintah Allah seperti yang terbenam dalam pikiran-pikiran manusia yang sudah sering diperdebatkan, diuji dan yang sudah terbukti lebih mendamaikan, menyatukan, dan menyejahterakan manusia.
Saya akui, pikiran dan benak saya yang terdalam masih mengatakan, kalaupun ada sebuah suara dari langit, atau suatu perintah Allah dalam bentuk mimpi, atau bahkan yang tertulis di dalam kitab suci seluhur apapun, sekali-kali saya tidak akan mencederai anak saya, apalagi mengorbankannya. Saya juga memperbolehkan anak saya berpikiran bahwa Abraham jahat, karena mau menyembelih anaknya sendiri, sekalipun tindakan Abraham ini sudah dipikirkan masak-masak, dengan alasan dan pertimbangan sesuci apapun.