Monday, November 30, 2009

BABI dan SAYA

Author: Catur Ratna Wulandari
Jurnalis dan kritikus sosial


“Ulama Desak Bupati Tutup Ternak Babi,” begitu judul berita di salah satu surat kabar pada medio tahun ini. Poin penting yang disampaikan berita itu, apapun alasannya, ternak babi harus ditutup. Dalihnya dimaksudkan demi kenyamanan dan keselamatan masyarakat.


Sejak virus influenza A H1 N1 atau yang dikenal dengan flu babi merebak, peternakan babi menjadi buah pemberitaan. Peternakan babi dikhawatirkan akan menyebarkan flu H1N1 itu. Wacana menggusur bahkan menutup peternakan babi menghangat. Padahal seingat saya belum ada suspek flu babi yang diakibatkan bersentuhan langsung dengan babi. Kebanyakan dari mereka mengalami gejala flu babi, seperti tubuh panas tinggi, setelah bepergian ke luar negeri.


Melalui internet saya mendapati berita lain lagi. Menurut seorang pengamat masalah zoonosis, drh. Mangku Sitepu, tidak ditemukan virus influenza A (H1N1) dalam tubuh babi. Pernyataan itu diungkapkannya mengutip Badan Pangan Dunia, FAO. Karena itu menurut dia, tindakan penutupan peternakan babi maupun larangan impor daging babi tidak bermanfaat apa pun dalam penanganan wabah ini.


Saya jadi berburuk sangka, apakah ini memang karena kekhawatiran akan flu babi atau karena ini tentang babi, yang identik dengan makanan haram?


Bukan apa ternaknya!
Dalam sebuah perjalanan pribadi, saya berkunjung ke kediaman keluarga salah seorang sahabat yang tinggal di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Di sana saya mendengar kegelisahan. Lagi-lagi tentang flu babi. Tapi bukan karena takut tertular, tapi karena mengkhawatirkan nasib mereka sendiri jika benar ternak babi harus ditutup.


Kawasan tempat tinggalnya memang terkenal sebagai salah satu pusat ternak babi di Jawa Barat. Banyak keluarga yang menggantungkan hidup dari ternak babi. Saya tidak tahu pasti apa agama mereka, yang pasti teman saya itu bukan seorang muslim. Artinya, bagi mereka makan babi bukan sesuatu yang haram. Maka berdagang babi juga bukan sebuah dosa bagi mereka.
Sejak sang ayah tiada, keluarga sahabat saya itu bergantung pada babi peliharaan mereka, selain pada sahabat saya, si anak sulung, yang sudah bekerja. Sementara mereka mempunyai tiga orang putri yang masih sekolah. Maka mustahil jika mereka hanya mengandalkan penghasilan sahabat saya. “Lalu harus bagaimana?” tanya sahabat saya seolah putus asa.

Usaha ternak babi tidak pernah mulus. Saat masih hidup, sang ayah sempat bercerita, bukan soal pemasarannya yang sulit tapi justru repot meladeni mereka yang bukan pembeli. Contohnya, lokasi. Setengah mati menemukan lokasi yang boleh digunakan ternak babi. Belum lagi, saat babi-babi itu dikirim ke pasar tidak jarang di perjalanan mereka menjadi korban pungutan liar (pungli). “Semua kendaraan box itu memang kena, tapi kalau tahu isinya babi pasti lain besarnya,” kata sahabat saya tadi.


Saya jadi ingat berita yang saya baca tadi, tentang ulama yang menghimbau penutupan ternak tadi. Ulama itu sempat berujar, “Jika ternak babi ditiadakan, lalu ada orang ketakutan tidak bisa hidup, berarti orang itu tidak yakin akan kekuasaan Tuhan.”
Aaaahhh... jika semua bisa diselesaikan hanya dengan berpikir seperti itu, seharusnya tidak ada pengangguran atau orang miskin.

Tapi toh semua tidak bisa selesai hanya dengan percaya. Harus ada tindakan yang mengikuti. Apakah mereka menawarkan itu? Saya sangsi.


Barangkali harus dipahami akar masalahnya. Ini tentang ternaknya atau babinya? Saya menilai wajar ada ternak babi, karena memang ada permintaan daging babi. Bagi mereka yang boleh memakan babi, tentu tidak ada masalah mereka mengonsumsinya.
Kalau soal ternaknya, saya pikir kita harus bertindak adil. Beternak sapi pun, kalau lokasinya terlalu dekat dengan pemukiman, sanitasi yang buruk, limbah yang tidak dikelola, juga menimbulkan dampak. Bisa pencemaran lingkungan, juga menyebabkan penyakit. Di hilir Sungai Cikapundung (Bandung, Jawa Barat), kondisi airnya sudah tercemar; salah satu penyebabnya karena aktivitas pembuangan kotoran sapi langsung ke sungai. Padahal hilir sungai itu dulunya merupakan sumber kebutuhan air warga sekitarnya. Tapi toh sekarang sudah tidak bisa digunakan lagi karena kalau diminum justru menimbulkan penyakit seperti diare dan muntaber. Artinya, semua ternak juga punya potensi merusak lingkungan dan kesehatan manusia jika tidak dikelola dengan baik dan benar. Bukan hanya babi.

Akan lain ceritanya kalau menjual daging babi tapi mengaku menjual daging sapi. Sehingga orang yang tadinya mau membeli daging sapi jadi tertipu. Secara pidana, itu tindak penipuan. Sama halnya ketika beli bakso sapi ternyata baksonya terbuat dari daging tikus.


Beriman dan toleransi sosial
Seringkali kita membenci sesuatu dengan alasan yang egois. Karena diharamkan makan babi, lantas ikut bersungut-sungut pada pemilik ternak babi. Karena kita puasa maka kita bersungut-sungut ketika ada beberapa tempat hiburan yang buka. Saya pribadi, sekali lagi saya pribadi, tidak melihat ada suatu masalah jika ada tempat hiburan yang tetap beroperasi pada saat puasa. Sebab bagi saya urusan puasa itu urusan saya dan Tuhan. Keberhasilan puasa saya bergantung pada diri saya sendiri. Saya tak akan menyalahkan orang lain jika pun puasa saya gagal. Meski ada ratusan orang makan di depan saya, atau ada tempat hiburan yang hingar bingar, saya tak akan tergoda kalau memang sudah niat puasa. Apalagi bukan kali pertama saya puasa.
Ya kalau mereka dengan sendirinya ingin menghormati bulan Ramadhan dengan tidak membuka tempat hiburannya, itu terserah mereka. Tapi saya tidak ingin dikatai manja, karena untuk puasa rutin saja saya harus merepotkan banyak pengusaha hiburan. Maka dari itu, saya sangat geram tatkala ada kelompok yang mengatas namakan agama dan Tuhan mengobrak-abrik tempat hiburan, memukuli mereka yang ada di dalamnya hanya untuk Bulan Ramadhan. Untuk apa? Apakah perbuatan mereka itu akan dicatat sebagai amal baik? Entahlah....

Anehnya, ketika sekelompok pemuda mabuk di atas kendaraan sepeda motor pada malam takbir (menjelang Hari Raya Idul Fitri), mereka dibiarkan saja. Bergantian meneguk minuman memabukkan lalu meneriakkan nama Tuhan! Mengapa tak satupun dari mereka di-sweeping. Apa Tuhan membutuhkan pemujaan semacam itu? Saya yakin tidak.


Pokoknya...!

Kita, seringkali egois. Melihat segala persoalan hanya dari kebutuhan kita sendiri. Jarang sekali meluangkan waktu untuk berpikir lebih jauh. Saya jadi ingat film Inglourious Basterds (2009) karya Quentin Tarantino. Saat si Kolonel Nazi, Hans Landa, akan menangkap seorang Yahudi yang sedang bersembunyi di salah satu rumah warga Perancis, dia melakukan intimidasi halus dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada pemilik rumah.
“Now if one were to determine what attribute the German people share with a beast, it would be the cunning and the predatory instinct of a hawk. But if one were to determine what attributes the Jews share with a beast, it would be that of the rat. If a rat were to walk in here right now as I’m talking, would you treat it to a saucer of your delicious milk?” tanya Hans Landa.
Tentu saja si pemilih rumah menjawab tidak. Tikus seringkali diburu dengan dalih menyebarkan penyakit. Padahal tikus bukan satu-satunya hewan yang menyebarkan penyakit. Tikus sudah terlanjur identik dengan binatang yang menjijikkan yang harus diburu sampai mati. Kalau gagal, siapkan sebuah perangkap untuk menjebaknya. Tak peduli kalaupun si tikus belum mencuri apa-apa. Pokoknya harus mati. Pokoknya! Kalau dasarnya “pokoknya”, maka tak ada lagi ruang untuk berdialog. Padahal ketika ilmu “pokoknya” dipakai, kita sudah menutup mata dan telinga untuk melihat sesuatu yang berharga. Mari buka mata dan telinga.

Tuesday, November 24, 2009

Melaksanakan Perintah Allah, Haruskah dengan Membuta?

Author: Peter Suwarno
Pengajar di Arizona State University, USA

Pertama kali saya mendengar cerita tentang Nabi Abraham adalah waktu saya duduk di kelas enam SD. Sang guru agama menceritakan bagaimana Allah sedang menguji Abraham dengan meminta agar Abraham mengorbankan anaknya yang paling dikasihinya. Abraham gundah memikirkan perintah Allah tersebut, dan saya pun waktu itu yakin bahwa Abraham pasti akan lulus dengan gemilang atas ujian berat dari Allah tersebut, karena dia adalah Nabi pilihan Allah yang hebat.

Ibrahim mau menyembelih anaknya.
Karena iman yang membuta dan tidak cerdas?

Ketika sang guru menggambarkan bagaimana Abraham sudah menyiapkan sebuah tempat pembakaran korban, mengikat anaknya, dan menyiapkan pisau, saya mulai miris dan sangat berharap bahwa ceritanya akan berakhir dengan Abraham mengurungkan niatnya yang keji tersebut. Tapi saya terkejut karena Abraham digambarkan dengan jelas betul-betul mau menyembelih anaknya sendiri dan membakarnya sebagai suatu persembahan bagi Allah —betul-betul melaksanakan perintah persis seperti yang diucapkan Allah. Saya betul-betul tercengang, saya berpikir Abraham gila dan dia pasti gagal total atas ujian Allah tersebut. Bukankah perintah Allah itu sebuah ujian —untuk menguji apakah Abraham mengerti mana tindakan seorang bapak yang terhormat dan mana tindakan bapak yang jahat. Kalau Abraham benar-benar mau mengorbankan anaknya sendiri yang paling disayanginya itu, dalam pikiran saya waktu itu, Abraham adalah bapak yang jahat dan jelas gagal total atas ujian Allah, karena Abraham tidak mengerti apa yang diinginkan Allah, yakni dia bisa menggunakan pikiran kemanusiaannya untuk menimbang perintah mana yang baik untuk dituruti dan perintah mana yang hanya sebagai ujian dan tidak harus dituruti.

Ketika saya merasa ketar-ketir dan miris, sang guru melanjutkan dengan cerita tentang kemunculan seorang malaikat dan seekor domba. Maka digagalkanlah oleh Allah kemauan Abraham untuk menyembelih anaknya sendiri. Saya segera tarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perasaan lega. Tapi saya ingat betul waktu itu saya menyalahkan Abraham. Bahkan dalam hati saya menggoblok-goblokkan Abraham; untung Allah menggagalkan tindakkan Abraham. Bayangkan kalau malaikat tidak turun tangan dan menggagalkannya, pemandangan keji dan tidak manusiawi seperti apa yang akan terjadi.

Kemudian sang guru meneruskan ceritanya dengan menggarisbawahi bahwa Abraham telah lulus ujian yang berat. Ini gila, pikir saya. Sayapun angkat tangan dan, kurang lebih, mempertanyakan bagaimana Abraham bisa lulus ujian kalau seorang bapak mau membunuh anaknya? Jawab guru tegas, bahwa seorang yang menuruti perintah Allah pasti diberkati Allah; walaupun perintah itu kelihatannya sulit atau bertentangan dengan pikiran atau perasaan manusia, perintah Allah harus dilaksanakan. Tuhan mempunyai suatu rencana yang indah bagi umatnya yang taat penuh pada perintah-Nya. Allah akan menunjukkan sebuah jalan pemecahan yang adil dan mulia atau bahkan keajaiban yang menakjubkan manusia apabila manusia menuruti segala perintah Allah dengan patuh seratus persen.

Jawaban guru tersebut mengendap dalam benak saya. Dengan berbagai cerita Abraham berikutnya, dan semakin dewasanya saya, semakin membuat saya mengakui kehebatan Abraham dan kebenaran tindakan Abraham tersebut. Berpuluh-puluh tahun saya menyalahkan cara berpikir saya sendiri yang innocent dan naïve di masa kecil tersebut.

Tadi malam, walaupun biasanya saya membacakan sebuah buku pada anak saya yang berumur 10 tahun, saya bercerita mengenai Abraham persis yang dulu diceritakan guru saya. Pada adegan Abraham menyiapkan penyembelihan anaknya, anak saya bereaksi: “Really? You mean he was really gonna kill his own son?” “He is crazy.” Saya termenung dan tidak berkomentar banyak lagi karena hari sudah larut malam; sambil membentangkan selimut, saya hanya menjelaskan Tuhan menyelamatkan anak tersebut dan menggagalkan pengorbanan anak.

Reaksi anak saya itu persis sama dengan reaksi saya di masa kecil dulu, dan saya kembali menghargai pikiran innocent saya waktu saya kecil, bahwa siapapun orangnya, apapun alasannya, adalah jahat bagi seorang bapak jika dia benar-benar mau menyembelih anaknya— meskipun itu perintah Allah, meskipun itu tertuang jelas dalam kitab suci, meskipun itu berkali-kali dikhotbahkan di berbagai tempat ibadah. Kemauan membunuh anak kesayangan, sekalipun demi Allah yang maha tahu sekalipun, adalah jahat — jahat di masa lalu, jahat di zaman sekarang, dan jahat di waktu depan. Mengikuti perintah Allah hanya berdasar iman, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah lama didiskusikan dan diperdebatkan dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, bisa salah, bisa membawa ketidakadilan, dan bahkan bisa jahat.

Sejarah menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang lebih berdasarkan pergumulan berpikir, yang terus diuji, digali dan dicari, bisa mengungguli nilai-nilai yang tertulis dalam kitab yang kita anggap paling suci, mutlak benar, dan tidak boleh dikritik apalagi diubah oleh manusia. Manusia dengan segala kapasitas kemanusiaannya yang selalu mencari kehidupan yang lebih baik menemukan bahwa, misalnya, perbudakan itu tidak manusiawi dan wajib dihapuskan, atau demokrasi dan persamaan hak itu penting bagi kesejahteraaan seluruh umat manusia tanpa pandang bulu — ini semua merupakan nilai-nilai (modern) yang sering kurang jelas dan tegas dalam ajaran agama dan kitab suci.

Bahkan kita yang beragama sering direpotkan dengan keharusan membela diri bahwa kitab suci dan ajaran agama kita dengan tegas menentang segala bentuk perbudakan, bahwa agama kita tidak bertentangan dengan demokrasi dan persamaan hak dan persamaan gender. Kenapa kita harus bersusah payah menginterpretasikan kembali teks sakral agama kita (yang sering lebih kelihatan sebagai tindakan “mengakali”) supaya ayat-ayat suci kelihatan dengan tegas membela hak-hak azasi manusia? Kenapa kita begitu berat mengakui bahwa ada unsur-unsur perintah Allah yang tertuang dalam kitab ampuh itu yang sudah tidak boleh atau tidak bisa lagi dilaksanakan pada masa kini dan harus dilupakan atau dihapus kalau kita ingin menciptakan suatu masyarakat modern yang lebih manusiawi?

Jawabnya barangkali adalah kita tidak mau menjadi bangsa ateis, karena masyarakat kita memang adalah masyarakat agamawi sejak dari nenek moyang kita, dan kesadaran ini mungkin ada dalam gene kita. Bayangkan kalau tidak ada seorang nabi yang kita anggap paling sempurna dan menjadi panutan; bayangkan juga apabila kitab suci tidak kita anggap mutlak benar. Negara kita memang berdasarkan ideologi Pancasila yang azas pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa; dan masyarakat kita memang cenderung semakin beragama. Nilai-nilai kehidupan kita sudah semakin banyak dipengaruhi nilai-nilai agama, sehingga hampir tidak mungkin kita memisahkan kehidupan beragama dari kehidupan bermaysarakat dan bernegara. Pemisahan agama dan negara sangat jelas sulit dilaksanakan di Indonesia.

Salah satu contoh penerapan hukum agama dalam masyarakat yang agak baru adalah Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Adalah perintah Allah bahwa umat beragama musti menghindari yang haram, sehingga sudah menjadi hak umat beragama, dalam hal ini umat Muslim, untuk mendapatkan informasi halal tidaknya semua barang, terutama makanan yang dijual di Indonesia. Dan kalau berbicara tentang halal tidaknya suatu produk, sebenarnya pikiran kita menuju pada satu benda, atau seekor binatang, atau suatu makanan, yaitu babi. Banyak alasan kenapa babi diharamkan; salah satunya adalah alasan kebersihan, kesehatan, dan cacing. Setelah banyak penelitian dilakukan, kita sekarang dapat mengonfirmasi bahwa di zaman modern ini daging dan lemak babi tidak lebih berbahaya, atau tidak lebih merusak kesehatan, daripada daging dan lemak lain seperti kambing. Maka alasan pengharaman tinggal satu, yaitu karena pengharaman itu adalah suatu “perintah Allah” dan telah tertuang jelas dalam kitab suci, termasuk kitab suci Perjanjian Lama. Kembali ke pernyataan saya sebelumnya: “perintah Allah” seperti banyak perintah-perintah lain termasuk perintah membunuh orang yang bekerja pada hari sabat jika dilaksanakan tanpa menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah berabad-abad diperdebatkan bisa salah bahkan bisa jahat. Apalagi kalau perintah yang “bisa salah dan bisa jahat” ini dijadikan landasan hukum sebuah bangsa, perintah Allah semacam ini akan bisa berbahaya buat manusia.

Untungnya, perintah kitab suci untuk menghindari segala sesuatu yang mengandung babi minimal tidak secara langsung membahayakan kehidupan dan kesejahteraan manusia Indonesia. Tetapi seharusnya sebuah undang-undang yang tidak mempunyai sebuah landasan rasional yang kuat, kecuali landasan perintah Allah, tidak dijadikan dasar hukum sebuah negara. Sudah banyak alasan yang dikemukakan di berbagai forum diskusi dan media kenapa RUU JPH ini tak bermanfaat; tapi salah satu alasan yang terpenting saya kira adalah bahwa RUU JPH tersebut menonjolkan pentingnya perintah Allah daripada kesehatan dan kesejahteraan manusia—sebuah tendensi yang bila berlanjut bisa menjerumuskan sebuah bangsa ke dalam kesalahan. Menjerumuskan, karena paling sedikit undang-undang seperti ini memalingkan fokus kita dari masalah yang sebenarnya dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia. Ada zat-zat yang dikandung banyak produk makanan di Indonesia yang memang berbahaya dan harus diharamkan, dan zat itu bukan babi, tetapi zat kimia lain seperti formalin, borak, zat pewarna kain, racun yang timbul dari makanan dan obat-obatan kedaluwarsa, dll. Zat-zat berbahaya ini jelas perlu diharamkan. Jadi sedikitnya RUU JPH salah sasaran, karena memalingkan fokus kita dari hal-hal yang sebenarnya krusial dan berbahaya ke hal-hal religius spiritual yang, seperti banyak perintah Allah lainnya, tidak ada sangkut pautnya dengan kedamaian dan kesejahteraan bangsa.

Dalam negara Pancasila, tentu ke depan pasti akan ada banyak usul rancangan undang-undang yang berdasarkan “perintah Allah” atau yang hanya mengedepankan nilai-nilai religius spiritual. Dan justifikasi yang akan diajukan adalah karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius sehingga kesejahteraan spiritual mutlak penting. Karena kemustahilan membuang masuknya nilai keagamaan spiritual dalam undang-undang, dan kemustahilan memisahkan agama dan negara, maka satu-satunya cara yang mungkin dapat diterima adalah menginterpretasikan atau menerjemahkan kehendak dan perintah Allah dalam kehidupan modern. Ini sudah banyak dibicarakan dan dilakukan. Misalnya, fatwa MUI bahwa rokok adalah haram (sayang sudah dimodifikasi) adalah sebuah contoh bagus dalam menerjemahkan perintah agama dengan mementingkan kebersihan, kesehatan dan sekaligus kesejahteraan umum. Kalau yang diharamkan Allah dalam ajaran agama bisa diterjemahkan menjadi hal-hal yang secara ilmiah dan rasional memang dinilai membahayakan kesehatan dan kehidupan manusia, dan hasil penerjemahan ini dijadikan undang-undang, maka nilai-nilai agama akan sangat dihormati sebagai rahmatan lil alamin. Tetapi kalau yang dijadikan undang-undang adalah perintah mengharamkan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebersihan atau kesehatan manusia, maka usaha menjadikan perintah Allah ini suatu undang-undang akan dipandang sebagai usaha penguatan kuasa koersif agama. Oleh sebab itu sangat penting, dalam masyarakat agamis dan Pancasilais seperti Indonesia, kehendak dan perintah Allah diterjemahkan menjadi nilai-nilai kongkrit yang melindungi kesehatan, meningkatkan kesejahteraan, mendamaikan, menghargai hak dan derajat semua orang.

Masalah dan tantangan masyarakat beragama di dunia modern terutama di Indonesia adalah bukan hanya fakta bahwa kita sudah diindoktrinasi mengenai apa yang mutlak benar dan tidak bisa ditawar lagi, tetapi juga fakta bahwa kita sudah semakin takut berpikir berbeda, meskipun pikiran yang berbeda lebih dapat menciptakan toleransi, lebih mendamaikan, lebih adil, dan lebih manusiawi. Dalam masyarakat Indonesia, orang yang berpikiran berbeda tapi lebih manusiawi bahkan bisa dianggap sesat dan tidak agamawi. Ilmuwan agama, pendidik, dan pemimpin juga semakin takut dianggap tidak mengikuti apa yang ditetapkan kitab suci. Hal ini juga sering terjadi dalam penerapan “perintah Allah” dalam masyarakat dan dalam mamasukkannya menjadi usul undang-undang. Semoga para pendidik, politisi, dan penguasa lainnya di dalam masyarakat Indonesia tidak terlalu takut terhadap perintah Allah yang hanya dituangkan dalam kitab-Nya, dan juga terhadap perintah Allah seperti yang terbenam dalam pikiran-pikiran manusia yang sudah sering diperdebatkan, diuji dan yang sudah terbukti lebih mendamaikan, menyatukan, dan menyejahterakan manusia.

Saya akui, pikiran dan benak saya yang terdalam masih mengatakan, kalaupun ada sebuah suara dari langit, atau suatu perintah Allah dalam bentuk mimpi, atau bahkan yang tertulis di dalam kitab suci seluhur apapun, sekali-kali saya tidak akan mencederai anak saya, apalagi mengorbankannya. Saya juga memperbolehkan anak saya berpikiran bahwa Abraham jahat, karena mau menyembelih anaknya sendiri, sekalipun tindakan Abraham ini sudah dipikirkan masak-masak, dengan alasan dan pertimbangan sesuci apapun.