Tuesday, December 8, 2009

Yudistira Menolak Masuk Surga

Author: Peter Suwarno
Pengajar di Arizona State University
, USA

Sejak saya belajar public speaking dulu, saya senang mendengarkan khotbah-khotbah dan pidato keagamaan dari yang jenaka sampai yang serius dan dari yang menghibur sampai yang mengancam. Orang biasanya senang bisa dibuat tertawa terpingkal-pingkal oleh sebuah khotbah; bahkan banyak pengkhotbah memang sengaja mempersiapkan berbagai lelucon untuk khotbahnya dan ini jenis khotbah yang sangat saya gemari. Namun banyak juga khotbah yang bikin merinding, terutama yang menceritakan hukuman yang dahsyat yang akan menimpa orang-orang jahat dan berdosa. Ini mengkhawatirkan, karena definisi siapa yang masuk surga atau masuk neraka itu tidak jelas, subjektif, sektarian,dan sering membingungkan.

Lebih membingungkan lagi kalau orang masuk ke tempat ibadah agama yang berbeda-beda. Kalau masuk ke masjid, yang sering diidentifikasi di situ sebagai kalangan yang akan masuk neraka itu bukan hanya para penjahat, tetapi juga kaum kafir pengikut aliran sesat, yang belum tentu jahat. Dan sering tidak jelas siapa yang dianggap kafir; banyak yang mengatakan yang tidak Islam itu pasti kafir. Di banyak gereja Kristen keadaannya lebih parah lagi: banyak pengkhotbah di situ yakin dan merasa pasti bahwa kalau orang tidak percaya Yesus sebagai Tuhan, orang itu pasti tidak selamat, dalam arti pasti masuk neraka.


Bahkan ada pengkhotbah yang menggambarkan neraka secara grafis, misalnya bagaimana para pendosa berat itu akan menderita siksaan bara api yang luar biasa panasnya, hampir seperti menunjukkan kekesalan orang saleh yang dituangkan dalam penggambaran tentang neraka. Kalau saya amati, ternyata memang banyak pengikut agama yang menikmati gambaran seperti itu. Mungkin karena kepuasan melihat siksaan itu merupakan luapan kemarahan mereka atas para pendosa berat yang masih menikmati hidup enak, sementara mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghukum pendosa di dunia ini. Mungkin juga karena mereka merasa sudah menjadi hamba Allah yang taat dan merasa harus diganjar dan harus dibedakan dari mereka yang tidak taat yang harus dihukum.


Kesan saya, sebagian besar umat beragama, karena begitu kuat imannya, sudah yakin tahu siapa-siapa yang pasti akan masuk neraka. Selain kafir, non-believer, atau orang yang “belum lahir kembali”, yang sering diidentifikasi sebagai calon penghuni neraka adalah para pelacur, pemabuk, penjudi, koruptor, pembunuh, pencuri, penipu, rentenir, homoseksual, pengikut aliran sesat, bahkan perempuan yang suka mempercantik diri. Lebih dari itu, dari obrolan saya dengan keponakan-keponakan saya yang masih kecil pun, saya sadar sedari anak-anak, orang sudah tahu siapa yang bakal masuk neraka dan yang bakal masuk surga. Seorang keponakan saya yang melihat serombongan orang tengah berjalan menuju suatu tempat ibadah tertentu berkata: “Wah calon penghuni neraka semua orang itu.” Ternyata dari kecil kita sudah di-exposed bukan hanya pada ajaran agama yang cenderung subjektif dan sektarian, tetapi juga untuk menghakimi siapa siapa yang bakal masuk neraka, seakan orangtua, pengkhotbah dan guru agama lebih tahu daripada Tuhan.


Kenapa pengkhotbah, guru agama, bahkan orangtua begitu sering dan senang mengidentifikasi mereka yang dianggap pasti akan masuk neraka? Kenapa pula kita senang melihat gambaran orang yang disiksa di neraka? Bukankah ajaran seperti ini yang menambah kebencian pada orang lain (meskipun orang lain tersebut berdosa)? Bukankah ini hanya akan menambah konflik dan perpecahan?
Sebelum mencoba menjawab pertanyaan di atas, saya ingin bercerita tentang kakak saya di Lampung yang merencanakan untuk naik haji tahun depan, karena memang dananya sudah ada untuk itu. Mendengar rencana itu, saya mengusulkan agar istrinya diajak sekalian, toh dananya cukup. Kakak saya menolak; alasannya satu saja dulu, dan biasanya memang suami dulu, istri belakangan. Diskusi kami berlanjut dari masalah ganjaran menunaikan ibadah haji sampai ke masalah persamaan gender, dan diskusi kami terhenti karena saya bertanya, bagaimana kalau kakak saya masuk surga sedang istrinya tidak. Relakah kita masuk surga sedangkan istri dan saudara-saudara kita masuk neraka?

Yudistira,
sang kesatria berhati bening yang menolak masuk surga

Waktu memikirkan pertanyaan di atas, saya teringat seorang tokoh, yang menurut saya mirip seorang nabi, yaitu Yudistira. Yudistira (Puntodewo), putra sulung Prabu Pandu dan Dewi Kunti, adalah seorang figur menarik dari cerita pewayangan yang didasarkan pada kisah Mahabarata; seorang tokoh panutan yang bersih dari dosa, dan dibedakan dari keempat saudaranya (kelimanya disebut Pandawa), karena keempatnya berdosa berat. Oleh karena itu di akhirat, Yudistira ditawari masuk ke surga, sedangkan empat adiknya harus masuk ke neraka. Yang menarik adalah Yudistira menolak masuk surga kecuali jika pertama anjingnya juga ikut masuk surga dan kedua adik-adiknya juga masuk surga. Karena adik-adiknya tidak boleh ke surga, maka Yudistira pilih tinggal dengan adik-adiknya di neraka.
Setahu saya tidak ada agama yang memberikan ajaran seperti cerita Yudistira. Dan saya kira itu adalah ajaran yang luhur, sangat manusiawi, dan sangat beradab. Yaitu ajaran tentang ketidakrelaan seseorang jika saudaranya masuk neraka, dan ketidakrelaan menikmati kebahagiaan surga sendirian sambil melihat saudara-saudaranya disiksa di neraka. Lebih baik ikut menderita bersama dengan saudara dan teman-teman di neraka daripada di surga sendirian.

Memikirkan cerita Yudistira membuat saya berpendapat bahwa ajaran yang memberikan kepuasan pada para pengikut agama dengan gambaran siksaan orang-orang yang berdosa di neraka adalah ajaran agama yang tidak baik. Dampaknya bukan hanya bisa membuat pengikut agama apapun jadi gemas dan ingin menghukum para pendosa sekarang juga, tapi juga menumbuhkan rasa benci, konflik, dan perpecahan; atau setidaknya tidak mengajarkan rasa kemanusiaan yang lebih luhur yaitu mengasihi orang lain yang dianggap berdosa sekalipun. Berbahagia karena orang lain disiksa, apalagi bila orang lain yang disiksa tersebut tidak secara langsung menyalahi kita atau bila orang lain tersebut beragama dan berkeyakinan lain, adalah sikap dan kebahagiaan yang jahat. Ajaran agama sebaiknya tidak mengajarkan orang untuk mementingkan diri sendiri, kelompok sendiri, surga sendiri, dan rasa enak sendiri. Saya yakin ajaran mementingkan surga sendiri inilah yang membuat sebuah bangsa tidak berhasil memperkokoh kesatuan dan persatuannya, karena akan semakin banyak orang malah berbahagia melihat penderitaan orang atau kelompok lain meskipun sama-sama warganegara.


Sayang ajaran agama yang menggambarkan penyiksaan pendosa dan orang yang berbeda dengan kita sudah mendarah daging dan sulit diubah; hal ini bisa kita simak bukan hanya dari khotbah-khotbah yang berapi-api, tapi juga misalnya dari banyaknya film-film horror dan sinetron-sinetron kuburan. Rupanya penayangan penyiksaan akhir hayat orang-orang yang dianggap berdosa berat itu banyak memunculkan kenikmatan bagi sebagian besar pendengar khotbah dan penonton sinetron.
Harus diakui bahwa khotbah dan tayangan tentang siksa neraka tersebut juga memunculkan kekhawatiran bagi masyarakat, jangan-jangan mereka juga akan disiksa dan tidak masuk surga. Dengan kesadaran yang tinggi bahwa kita semua pasti meninggal dan kita pasti akan ke akhirat, siapa yang tidak ingin masuk surga? Bahkan banyak juga orang yang yakin bahwa hidup di dunia ini hanya sementara sebagai persiapan masuk surga, sehingga memang penting sekali bahwa waktu, tenaga dan biaya harus diarahkan demi persiapan ke akhirat tersebut. Bahkan segala tindakan dan perbuatan baik kita harus berfokus pada satu motif yaitu demi masuk surga.

Anak laki-laki saya memang agak nakal, sering merusak (misalnya, video player dimasukkan banyak koin, pohon tak bersalah apa-apa digergaji hingga terpotong, komputer dirusak, kamarnya berantakan dengan mainan, dll.), dan karena sering dimarahi dia merasa sangat bersalah. Suatu ketika dia pernah mengatakan: “I know you will all go to heaven, I will go to hell.” Malamnya saya bermimpi ingin seperti Yudistira dan berpikir untuk mengatakan pada Tuhan bahwa saya tidak ingin masuk ke surga kalau anak saya dan istri saya dan teman-teman saya tidak ikut ke surga, apalagi kalau saya harus melihat penyiksaan orang-orang lain di neraka. Saya bermimpi bahwa rasa kemanusiaan saya di dunia sekarang ini mengatakan bahwa agama yang luhur adalah agama yang konsep kenikmatan surganya tidak melibatkan kebahagiaan yang muncul ketika menonton orang lain (berdosa sekalipun) disiksa di neraka. Saya juga bermimpi mempertanyakan dan tidak bisa menerima bahwa hanya sedikit sekali orang yang akan masuk surga, sementara sebagian besar akan masuk ke neraka. Saya yakin konsep beragama yang menerapkan pandangan Yudistira bisa membantu membentuk empati, toleransi dan persatuan, apalagi di negara majemuk seperti Indonesia.

Yang berbahaya adalah ketakutan akan neraka ini sering dieksploitasi para pemimpin agama dan kelompok religius tertentu di Indonesia untuk menegakkan hukum-hukum agama dalam masyarakat. Masyarakat yang takut akan neraka ini tidak berani untuk menentang hukum-hukum atau dalil-dalil agama walaupun sadar hukum dan dalil tersebut hanya berdasar satu agama tertentu yang bisa subjektif, bisa merugikan umat beragama lain, dipilah-pilah hanya untuk menguntungkan para penguasa negeri, serta, yang penting lagi, bisa bertentangan dengan hati nurani dan rasa kemanusiaan mereka. Semakin banyak orang takut akan neraka dan takut mengkritik hukum agama, semakin besar kemungkinan banyak hukum agama ditegakkan dalam masyarakat dan, kalau hal ini terus berlanjut, teokrasi bisa menjadi kenyataan.

Monday, November 30, 2009

BABI dan SAYA

Author: Catur Ratna Wulandari
Jurnalis dan kritikus sosial


“Ulama Desak Bupati Tutup Ternak Babi,” begitu judul berita di salah satu surat kabar pada medio tahun ini. Poin penting yang disampaikan berita itu, apapun alasannya, ternak babi harus ditutup. Dalihnya dimaksudkan demi kenyamanan dan keselamatan masyarakat.


Sejak virus influenza A H1 N1 atau yang dikenal dengan flu babi merebak, peternakan babi menjadi buah pemberitaan. Peternakan babi dikhawatirkan akan menyebarkan flu H1N1 itu. Wacana menggusur bahkan menutup peternakan babi menghangat. Padahal seingat saya belum ada suspek flu babi yang diakibatkan bersentuhan langsung dengan babi. Kebanyakan dari mereka mengalami gejala flu babi, seperti tubuh panas tinggi, setelah bepergian ke luar negeri.


Melalui internet saya mendapati berita lain lagi. Menurut seorang pengamat masalah zoonosis, drh. Mangku Sitepu, tidak ditemukan virus influenza A (H1N1) dalam tubuh babi. Pernyataan itu diungkapkannya mengutip Badan Pangan Dunia, FAO. Karena itu menurut dia, tindakan penutupan peternakan babi maupun larangan impor daging babi tidak bermanfaat apa pun dalam penanganan wabah ini.


Saya jadi berburuk sangka, apakah ini memang karena kekhawatiran akan flu babi atau karena ini tentang babi, yang identik dengan makanan haram?


Bukan apa ternaknya!
Dalam sebuah perjalanan pribadi, saya berkunjung ke kediaman keluarga salah seorang sahabat yang tinggal di Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Di sana saya mendengar kegelisahan. Lagi-lagi tentang flu babi. Tapi bukan karena takut tertular, tapi karena mengkhawatirkan nasib mereka sendiri jika benar ternak babi harus ditutup.


Kawasan tempat tinggalnya memang terkenal sebagai salah satu pusat ternak babi di Jawa Barat. Banyak keluarga yang menggantungkan hidup dari ternak babi. Saya tidak tahu pasti apa agama mereka, yang pasti teman saya itu bukan seorang muslim. Artinya, bagi mereka makan babi bukan sesuatu yang haram. Maka berdagang babi juga bukan sebuah dosa bagi mereka.
Sejak sang ayah tiada, keluarga sahabat saya itu bergantung pada babi peliharaan mereka, selain pada sahabat saya, si anak sulung, yang sudah bekerja. Sementara mereka mempunyai tiga orang putri yang masih sekolah. Maka mustahil jika mereka hanya mengandalkan penghasilan sahabat saya. “Lalu harus bagaimana?” tanya sahabat saya seolah putus asa.

Usaha ternak babi tidak pernah mulus. Saat masih hidup, sang ayah sempat bercerita, bukan soal pemasarannya yang sulit tapi justru repot meladeni mereka yang bukan pembeli. Contohnya, lokasi. Setengah mati menemukan lokasi yang boleh digunakan ternak babi. Belum lagi, saat babi-babi itu dikirim ke pasar tidak jarang di perjalanan mereka menjadi korban pungutan liar (pungli). “Semua kendaraan box itu memang kena, tapi kalau tahu isinya babi pasti lain besarnya,” kata sahabat saya tadi.


Saya jadi ingat berita yang saya baca tadi, tentang ulama yang menghimbau penutupan ternak tadi. Ulama itu sempat berujar, “Jika ternak babi ditiadakan, lalu ada orang ketakutan tidak bisa hidup, berarti orang itu tidak yakin akan kekuasaan Tuhan.”
Aaaahhh... jika semua bisa diselesaikan hanya dengan berpikir seperti itu, seharusnya tidak ada pengangguran atau orang miskin.

Tapi toh semua tidak bisa selesai hanya dengan percaya. Harus ada tindakan yang mengikuti. Apakah mereka menawarkan itu? Saya sangsi.


Barangkali harus dipahami akar masalahnya. Ini tentang ternaknya atau babinya? Saya menilai wajar ada ternak babi, karena memang ada permintaan daging babi. Bagi mereka yang boleh memakan babi, tentu tidak ada masalah mereka mengonsumsinya.
Kalau soal ternaknya, saya pikir kita harus bertindak adil. Beternak sapi pun, kalau lokasinya terlalu dekat dengan pemukiman, sanitasi yang buruk, limbah yang tidak dikelola, juga menimbulkan dampak. Bisa pencemaran lingkungan, juga menyebabkan penyakit. Di hilir Sungai Cikapundung (Bandung, Jawa Barat), kondisi airnya sudah tercemar; salah satu penyebabnya karena aktivitas pembuangan kotoran sapi langsung ke sungai. Padahal hilir sungai itu dulunya merupakan sumber kebutuhan air warga sekitarnya. Tapi toh sekarang sudah tidak bisa digunakan lagi karena kalau diminum justru menimbulkan penyakit seperti diare dan muntaber. Artinya, semua ternak juga punya potensi merusak lingkungan dan kesehatan manusia jika tidak dikelola dengan baik dan benar. Bukan hanya babi.

Akan lain ceritanya kalau menjual daging babi tapi mengaku menjual daging sapi. Sehingga orang yang tadinya mau membeli daging sapi jadi tertipu. Secara pidana, itu tindak penipuan. Sama halnya ketika beli bakso sapi ternyata baksonya terbuat dari daging tikus.


Beriman dan toleransi sosial
Seringkali kita membenci sesuatu dengan alasan yang egois. Karena diharamkan makan babi, lantas ikut bersungut-sungut pada pemilik ternak babi. Karena kita puasa maka kita bersungut-sungut ketika ada beberapa tempat hiburan yang buka. Saya pribadi, sekali lagi saya pribadi, tidak melihat ada suatu masalah jika ada tempat hiburan yang tetap beroperasi pada saat puasa. Sebab bagi saya urusan puasa itu urusan saya dan Tuhan. Keberhasilan puasa saya bergantung pada diri saya sendiri. Saya tak akan menyalahkan orang lain jika pun puasa saya gagal. Meski ada ratusan orang makan di depan saya, atau ada tempat hiburan yang hingar bingar, saya tak akan tergoda kalau memang sudah niat puasa. Apalagi bukan kali pertama saya puasa.
Ya kalau mereka dengan sendirinya ingin menghormati bulan Ramadhan dengan tidak membuka tempat hiburannya, itu terserah mereka. Tapi saya tidak ingin dikatai manja, karena untuk puasa rutin saja saya harus merepotkan banyak pengusaha hiburan. Maka dari itu, saya sangat geram tatkala ada kelompok yang mengatas namakan agama dan Tuhan mengobrak-abrik tempat hiburan, memukuli mereka yang ada di dalamnya hanya untuk Bulan Ramadhan. Untuk apa? Apakah perbuatan mereka itu akan dicatat sebagai amal baik? Entahlah....

Anehnya, ketika sekelompok pemuda mabuk di atas kendaraan sepeda motor pada malam takbir (menjelang Hari Raya Idul Fitri), mereka dibiarkan saja. Bergantian meneguk minuman memabukkan lalu meneriakkan nama Tuhan! Mengapa tak satupun dari mereka di-sweeping. Apa Tuhan membutuhkan pemujaan semacam itu? Saya yakin tidak.


Pokoknya...!

Kita, seringkali egois. Melihat segala persoalan hanya dari kebutuhan kita sendiri. Jarang sekali meluangkan waktu untuk berpikir lebih jauh. Saya jadi ingat film Inglourious Basterds (2009) karya Quentin Tarantino. Saat si Kolonel Nazi, Hans Landa, akan menangkap seorang Yahudi yang sedang bersembunyi di salah satu rumah warga Perancis, dia melakukan intimidasi halus dengan mengajukan beberapa pertanyaan pada pemilik rumah.
“Now if one were to determine what attribute the German people share with a beast, it would be the cunning and the predatory instinct of a hawk. But if one were to determine what attributes the Jews share with a beast, it would be that of the rat. If a rat were to walk in here right now as I’m talking, would you treat it to a saucer of your delicious milk?” tanya Hans Landa.
Tentu saja si pemilih rumah menjawab tidak. Tikus seringkali diburu dengan dalih menyebarkan penyakit. Padahal tikus bukan satu-satunya hewan yang menyebarkan penyakit. Tikus sudah terlanjur identik dengan binatang yang menjijikkan yang harus diburu sampai mati. Kalau gagal, siapkan sebuah perangkap untuk menjebaknya. Tak peduli kalaupun si tikus belum mencuri apa-apa. Pokoknya harus mati. Pokoknya! Kalau dasarnya “pokoknya”, maka tak ada lagi ruang untuk berdialog. Padahal ketika ilmu “pokoknya” dipakai, kita sudah menutup mata dan telinga untuk melihat sesuatu yang berharga. Mari buka mata dan telinga.

Tuesday, November 24, 2009

Melaksanakan Perintah Allah, Haruskah dengan Membuta?

Author: Peter Suwarno
Pengajar di Arizona State University, USA

Pertama kali saya mendengar cerita tentang Nabi Abraham adalah waktu saya duduk di kelas enam SD. Sang guru agama menceritakan bagaimana Allah sedang menguji Abraham dengan meminta agar Abraham mengorbankan anaknya yang paling dikasihinya. Abraham gundah memikirkan perintah Allah tersebut, dan saya pun waktu itu yakin bahwa Abraham pasti akan lulus dengan gemilang atas ujian berat dari Allah tersebut, karena dia adalah Nabi pilihan Allah yang hebat.

Ibrahim mau menyembelih anaknya.
Karena iman yang membuta dan tidak cerdas?

Ketika sang guru menggambarkan bagaimana Abraham sudah menyiapkan sebuah tempat pembakaran korban, mengikat anaknya, dan menyiapkan pisau, saya mulai miris dan sangat berharap bahwa ceritanya akan berakhir dengan Abraham mengurungkan niatnya yang keji tersebut. Tapi saya terkejut karena Abraham digambarkan dengan jelas betul-betul mau menyembelih anaknya sendiri dan membakarnya sebagai suatu persembahan bagi Allah —betul-betul melaksanakan perintah persis seperti yang diucapkan Allah. Saya betul-betul tercengang, saya berpikir Abraham gila dan dia pasti gagal total atas ujian Allah tersebut. Bukankah perintah Allah itu sebuah ujian —untuk menguji apakah Abraham mengerti mana tindakan seorang bapak yang terhormat dan mana tindakan bapak yang jahat. Kalau Abraham benar-benar mau mengorbankan anaknya sendiri yang paling disayanginya itu, dalam pikiran saya waktu itu, Abraham adalah bapak yang jahat dan jelas gagal total atas ujian Allah, karena Abraham tidak mengerti apa yang diinginkan Allah, yakni dia bisa menggunakan pikiran kemanusiaannya untuk menimbang perintah mana yang baik untuk dituruti dan perintah mana yang hanya sebagai ujian dan tidak harus dituruti.

Ketika saya merasa ketar-ketir dan miris, sang guru melanjutkan dengan cerita tentang kemunculan seorang malaikat dan seekor domba. Maka digagalkanlah oleh Allah kemauan Abraham untuk menyembelih anaknya sendiri. Saya segera tarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perasaan lega. Tapi saya ingat betul waktu itu saya menyalahkan Abraham. Bahkan dalam hati saya menggoblok-goblokkan Abraham; untung Allah menggagalkan tindakkan Abraham. Bayangkan kalau malaikat tidak turun tangan dan menggagalkannya, pemandangan keji dan tidak manusiawi seperti apa yang akan terjadi.

Kemudian sang guru meneruskan ceritanya dengan menggarisbawahi bahwa Abraham telah lulus ujian yang berat. Ini gila, pikir saya. Sayapun angkat tangan dan, kurang lebih, mempertanyakan bagaimana Abraham bisa lulus ujian kalau seorang bapak mau membunuh anaknya? Jawab guru tegas, bahwa seorang yang menuruti perintah Allah pasti diberkati Allah; walaupun perintah itu kelihatannya sulit atau bertentangan dengan pikiran atau perasaan manusia, perintah Allah harus dilaksanakan. Tuhan mempunyai suatu rencana yang indah bagi umatnya yang taat penuh pada perintah-Nya. Allah akan menunjukkan sebuah jalan pemecahan yang adil dan mulia atau bahkan keajaiban yang menakjubkan manusia apabila manusia menuruti segala perintah Allah dengan patuh seratus persen.

Jawaban guru tersebut mengendap dalam benak saya. Dengan berbagai cerita Abraham berikutnya, dan semakin dewasanya saya, semakin membuat saya mengakui kehebatan Abraham dan kebenaran tindakan Abraham tersebut. Berpuluh-puluh tahun saya menyalahkan cara berpikir saya sendiri yang innocent dan naïve di masa kecil tersebut.

Tadi malam, walaupun biasanya saya membacakan sebuah buku pada anak saya yang berumur 10 tahun, saya bercerita mengenai Abraham persis yang dulu diceritakan guru saya. Pada adegan Abraham menyiapkan penyembelihan anaknya, anak saya bereaksi: “Really? You mean he was really gonna kill his own son?” “He is crazy.” Saya termenung dan tidak berkomentar banyak lagi karena hari sudah larut malam; sambil membentangkan selimut, saya hanya menjelaskan Tuhan menyelamatkan anak tersebut dan menggagalkan pengorbanan anak.

Reaksi anak saya itu persis sama dengan reaksi saya di masa kecil dulu, dan saya kembali menghargai pikiran innocent saya waktu saya kecil, bahwa siapapun orangnya, apapun alasannya, adalah jahat bagi seorang bapak jika dia benar-benar mau menyembelih anaknya— meskipun itu perintah Allah, meskipun itu tertuang jelas dalam kitab suci, meskipun itu berkali-kali dikhotbahkan di berbagai tempat ibadah. Kemauan membunuh anak kesayangan, sekalipun demi Allah yang maha tahu sekalipun, adalah jahat — jahat di masa lalu, jahat di zaman sekarang, dan jahat di waktu depan. Mengikuti perintah Allah hanya berdasar iman, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah lama didiskusikan dan diperdebatkan dalam perjalanan sejarah peradaban manusia, bisa salah, bisa membawa ketidakadilan, dan bahkan bisa jahat.

Sejarah menunjukkan bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang lebih berdasarkan pergumulan berpikir, yang terus diuji, digali dan dicari, bisa mengungguli nilai-nilai yang tertulis dalam kitab yang kita anggap paling suci, mutlak benar, dan tidak boleh dikritik apalagi diubah oleh manusia. Manusia dengan segala kapasitas kemanusiaannya yang selalu mencari kehidupan yang lebih baik menemukan bahwa, misalnya, perbudakan itu tidak manusiawi dan wajib dihapuskan, atau demokrasi dan persamaan hak itu penting bagi kesejahteraaan seluruh umat manusia tanpa pandang bulu — ini semua merupakan nilai-nilai (modern) yang sering kurang jelas dan tegas dalam ajaran agama dan kitab suci.

Bahkan kita yang beragama sering direpotkan dengan keharusan membela diri bahwa kitab suci dan ajaran agama kita dengan tegas menentang segala bentuk perbudakan, bahwa agama kita tidak bertentangan dengan demokrasi dan persamaan hak dan persamaan gender. Kenapa kita harus bersusah payah menginterpretasikan kembali teks sakral agama kita (yang sering lebih kelihatan sebagai tindakan “mengakali”) supaya ayat-ayat suci kelihatan dengan tegas membela hak-hak azasi manusia? Kenapa kita begitu berat mengakui bahwa ada unsur-unsur perintah Allah yang tertuang dalam kitab ampuh itu yang sudah tidak boleh atau tidak bisa lagi dilaksanakan pada masa kini dan harus dilupakan atau dihapus kalau kita ingin menciptakan suatu masyarakat modern yang lebih manusiawi?

Jawabnya barangkali adalah kita tidak mau menjadi bangsa ateis, karena masyarakat kita memang adalah masyarakat agamawi sejak dari nenek moyang kita, dan kesadaran ini mungkin ada dalam gene kita. Bayangkan kalau tidak ada seorang nabi yang kita anggap paling sempurna dan menjadi panutan; bayangkan juga apabila kitab suci tidak kita anggap mutlak benar. Negara kita memang berdasarkan ideologi Pancasila yang azas pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa; dan masyarakat kita memang cenderung semakin beragama. Nilai-nilai kehidupan kita sudah semakin banyak dipengaruhi nilai-nilai agama, sehingga hampir tidak mungkin kita memisahkan kehidupan beragama dari kehidupan bermaysarakat dan bernegara. Pemisahan agama dan negara sangat jelas sulit dilaksanakan di Indonesia.

Salah satu contoh penerapan hukum agama dalam masyarakat yang agak baru adalah Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Adalah perintah Allah bahwa umat beragama musti menghindari yang haram, sehingga sudah menjadi hak umat beragama, dalam hal ini umat Muslim, untuk mendapatkan informasi halal tidaknya semua barang, terutama makanan yang dijual di Indonesia. Dan kalau berbicara tentang halal tidaknya suatu produk, sebenarnya pikiran kita menuju pada satu benda, atau seekor binatang, atau suatu makanan, yaitu babi. Banyak alasan kenapa babi diharamkan; salah satunya adalah alasan kebersihan, kesehatan, dan cacing. Setelah banyak penelitian dilakukan, kita sekarang dapat mengonfirmasi bahwa di zaman modern ini daging dan lemak babi tidak lebih berbahaya, atau tidak lebih merusak kesehatan, daripada daging dan lemak lain seperti kambing. Maka alasan pengharaman tinggal satu, yaitu karena pengharaman itu adalah suatu “perintah Allah” dan telah tertuang jelas dalam kitab suci, termasuk kitab suci Perjanjian Lama. Kembali ke pernyataan saya sebelumnya: “perintah Allah” seperti banyak perintah-perintah lain termasuk perintah membunuh orang yang bekerja pada hari sabat jika dilaksanakan tanpa menghiraukan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah berabad-abad diperdebatkan bisa salah bahkan bisa jahat. Apalagi kalau perintah yang “bisa salah dan bisa jahat” ini dijadikan landasan hukum sebuah bangsa, perintah Allah semacam ini akan bisa berbahaya buat manusia.

Untungnya, perintah kitab suci untuk menghindari segala sesuatu yang mengandung babi minimal tidak secara langsung membahayakan kehidupan dan kesejahteraan manusia Indonesia. Tetapi seharusnya sebuah undang-undang yang tidak mempunyai sebuah landasan rasional yang kuat, kecuali landasan perintah Allah, tidak dijadikan dasar hukum sebuah negara. Sudah banyak alasan yang dikemukakan di berbagai forum diskusi dan media kenapa RUU JPH ini tak bermanfaat; tapi salah satu alasan yang terpenting saya kira adalah bahwa RUU JPH tersebut menonjolkan pentingnya perintah Allah daripada kesehatan dan kesejahteraan manusia—sebuah tendensi yang bila berlanjut bisa menjerumuskan sebuah bangsa ke dalam kesalahan. Menjerumuskan, karena paling sedikit undang-undang seperti ini memalingkan fokus kita dari masalah yang sebenarnya dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia. Ada zat-zat yang dikandung banyak produk makanan di Indonesia yang memang berbahaya dan harus diharamkan, dan zat itu bukan babi, tetapi zat kimia lain seperti formalin, borak, zat pewarna kain, racun yang timbul dari makanan dan obat-obatan kedaluwarsa, dll. Zat-zat berbahaya ini jelas perlu diharamkan. Jadi sedikitnya RUU JPH salah sasaran, karena memalingkan fokus kita dari hal-hal yang sebenarnya krusial dan berbahaya ke hal-hal religius spiritual yang, seperti banyak perintah Allah lainnya, tidak ada sangkut pautnya dengan kedamaian dan kesejahteraan bangsa.

Dalam negara Pancasila, tentu ke depan pasti akan ada banyak usul rancangan undang-undang yang berdasarkan “perintah Allah” atau yang hanya mengedepankan nilai-nilai religius spiritual. Dan justifikasi yang akan diajukan adalah karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius sehingga kesejahteraan spiritual mutlak penting. Karena kemustahilan membuang masuknya nilai keagamaan spiritual dalam undang-undang, dan kemustahilan memisahkan agama dan negara, maka satu-satunya cara yang mungkin dapat diterima adalah menginterpretasikan atau menerjemahkan kehendak dan perintah Allah dalam kehidupan modern. Ini sudah banyak dibicarakan dan dilakukan. Misalnya, fatwa MUI bahwa rokok adalah haram (sayang sudah dimodifikasi) adalah sebuah contoh bagus dalam menerjemahkan perintah agama dengan mementingkan kebersihan, kesehatan dan sekaligus kesejahteraan umum. Kalau yang diharamkan Allah dalam ajaran agama bisa diterjemahkan menjadi hal-hal yang secara ilmiah dan rasional memang dinilai membahayakan kesehatan dan kehidupan manusia, dan hasil penerjemahan ini dijadikan undang-undang, maka nilai-nilai agama akan sangat dihormati sebagai rahmatan lil alamin. Tetapi kalau yang dijadikan undang-undang adalah perintah mengharamkan hal-hal yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebersihan atau kesehatan manusia, maka usaha menjadikan perintah Allah ini suatu undang-undang akan dipandang sebagai usaha penguatan kuasa koersif agama. Oleh sebab itu sangat penting, dalam masyarakat agamis dan Pancasilais seperti Indonesia, kehendak dan perintah Allah diterjemahkan menjadi nilai-nilai kongkrit yang melindungi kesehatan, meningkatkan kesejahteraan, mendamaikan, menghargai hak dan derajat semua orang.

Masalah dan tantangan masyarakat beragama di dunia modern terutama di Indonesia adalah bukan hanya fakta bahwa kita sudah diindoktrinasi mengenai apa yang mutlak benar dan tidak bisa ditawar lagi, tetapi juga fakta bahwa kita sudah semakin takut berpikir berbeda, meskipun pikiran yang berbeda lebih dapat menciptakan toleransi, lebih mendamaikan, lebih adil, dan lebih manusiawi. Dalam masyarakat Indonesia, orang yang berpikiran berbeda tapi lebih manusiawi bahkan bisa dianggap sesat dan tidak agamawi. Ilmuwan agama, pendidik, dan pemimpin juga semakin takut dianggap tidak mengikuti apa yang ditetapkan kitab suci. Hal ini juga sering terjadi dalam penerapan “perintah Allah” dalam masyarakat dan dalam mamasukkannya menjadi usul undang-undang. Semoga para pendidik, politisi, dan penguasa lainnya di dalam masyarakat Indonesia tidak terlalu takut terhadap perintah Allah yang hanya dituangkan dalam kitab-Nya, dan juga terhadap perintah Allah seperti yang terbenam dalam pikiran-pikiran manusia yang sudah sering diperdebatkan, diuji dan yang sudah terbukti lebih mendamaikan, menyatukan, dan menyejahterakan manusia.

Saya akui, pikiran dan benak saya yang terdalam masih mengatakan, kalaupun ada sebuah suara dari langit, atau suatu perintah Allah dalam bentuk mimpi, atau bahkan yang tertulis di dalam kitab suci seluhur apapun, sekali-kali saya tidak akan mencederai anak saya, apalagi mengorbankannya. Saya juga memperbolehkan anak saya berpikiran bahwa Abraham jahat, karena mau menyembelih anaknya sendiri, sekalipun tindakan Abraham ini sudah dipikirkan masak-masak, dengan alasan dan pertimbangan sesuci apapun.

Saturday, October 17, 2009

Mendirikan Teokrasi di Abad XXI: Sebuah Kesalahan Hermeneutis

Wahyu ilahi kerap menghambat pemikiran kritis

Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen Liberal

(Tulisan ini juga sudah terbit di Koran Tempo 04 Desember 2009, hlm A11)

Saya sungguh heran melihat kenyataan sekarang ini bahwa umat bermacam agama di dunia dewasa ini, di bawah komando para pemimpin rohani mereka, berhasrat kuat untuk mengubah negara mereka yang semula bukan sebuah negara teokratis menjadi sebuah negara teokratis! Kenyataan ini bukan saja dapat kita lihat sedang terjadi belakangan ini di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi juga di negara supermodern adidaya yang namanya Amerika Serikat, yang bagian terbesar penduduknya tentu saja masih akan mengaku beragama Kristen, apapun bentuk dan isi kekristenan yang mereka akui itu.


Di Indonesia, negara yang saya paling kenal dari antara semua negara lainnya di dunia masa kini, berbagai kalangan “Muslim Syariah” sedang bahu-membahu membangun berbagai bentuk kerjasama jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan negeri ini suatu negara teokratis Islami, negeri yang UUD-nya akan berupa Syariah Islam, atau berupa hukum-hukum dan ajaran-ajaran keagamaan yang ditarik langsung dari Alquran dan hadis Nabi. Di Amerika Serikat, kalangan Kristen injili fundamentalis, atau yang juga dikenal sebagai kalangan “Kristen sayap kanan”, yang jumlahnya minimal berkisar antara 100 sampai 150 juta orang, juga sedang berjuang jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan Alkitab, atau lebih spesifik lagi, Sepuluh Perintah Musa, The Ten Commandments, sebagai UUD negara besar ini.

Yang saya mau ingatkan pada kesempatan ini bukanlah bahwa usaha untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat sebuah negara teokratis sesungguhnya adalah suatu pengkhianatan terhadap visi-visi besar para national founding fathers negara-negara ini, yang telah berhasil mempersatukan dan mengikat negeri mereka masing-masing dalam satu ideologi kebangsaan dan satu UUD yang tidak terikat pada satu agama manapun, dan yang karenanya diterima semua kalangan.

Yang sesungguhnya saya mau ingatkan adalah bahwa usaha-usaha keras untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat suatu negara teokratis di abad XXI ini muncul terutama karena telah terjadi suatu kesalahan mendasar dan berbahaya dalam pengajaran tentang bagaimana memahami, menafsirkan dan menerapkan Kitab Suci, suatu pengajaran keliru yang telah diberikan atau diindoktrinasikan sejak masa kanak-kanak setiap orang beragama. Sesungguhnya, pendirian sebuah teokrasi pada zaman modern ini adalah suatu kesalahan hermeneutis, yang dibuat hanya oleh kalangan literalis skripturalis.

Literalis skripturalis
Kalangan literalis skripturalis memandang Kitab Suci atau tradisi-tradisi kuno pra-modern yang berbasis Kitab Suci sebagai pedoman satu-satunya bagi manajemen semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya bagi manajemen kehidupan politik masyarakat. Ketika Kitab Suci dipakai sebagai pedoman satu-satunya, kalangan ini mengikuti saja apa yang mentah-mentah tertulis di dalamnya, whatever the cost. Karena bagi kalangan literalis skripturalis segala “firman Allah” yang sudah ditulis dalam Kitab Suci pasti tidak bisa salah, selalu relevan dan kekal adanya, mereka tidak mau mengakui bahwa antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI terbentang sebuah jurang sejarah (atau “jurang waktu”, “jurang kronologis”) dan sebuah jurang kebudayaan yang lebar dan dalam, yang keduanya mustahil bisa diseberangi begitu saja oleh siapapun yang hidup dalam zaman modern.


Dengan adanya dua kesenjangan ini, pemindahan begitu saja dunia kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI akan menimbulkan suatu anakronisme yang berbahaya, berupa suatu clash, suatu benturan keras dan membinasakan, antar dua kebudayaan: kebudayaan kuno pramodern yang sangat asing (“an alien culture”) dan kebudayaan modern yang sudah biasa dijalani (“a familiar culture”), kebudayaan kuno pramodern yang antidemokrasi dan kebudayaan modern yang pro-demokrasi, kebudayaan kuno pramodern yang tidak menghargai HAM dan kesetaraan gender dan kebudayaan modern yang membela HAM dan memberlakukan kesetaraan gender, kebudayaan kuno pramodern yang dengan keras memberlakukan hukuman potong tangan, pemecutan dan perajaman dan kebudayaan modern yang melarang keras dan sudah meniadakan hukuman potong tangan, pemecutan dan perajaman, dan seterusnya. “Clash of civilizations” yang ditimbulkan oleh kalangan literalis skripturalis ini menunjukkan bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan hermeneutis yang sangat serius dan fatal! Benturan dua kebudayaan atau dua peradaban ini, antara yang kuno pramodern dan yang modern, terjadi karena kalangan literalis skripturalis, sesuai dengan posisi mereka, tidak menjalankan suatu hermeneutik yang critical historical, suatu hermeneutik historis kritis.

Historis kritis
Nah, orang-orang yang memakai pendekatan critical historical terhadap Kitab Suci tidak akan pernah menjadi orang-orang literalis skripturalis. Mereka tidak akan pernah dengan gegabah menyatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya pedoman bagi penataan seluruh kehidupan manusia, bahwa apapun yang tertulis dalam Kitab Suci harus mentah-mentah dan begitu saja diikuti dan dilaksanakan, apapun taruhannya, bahwa apapun yang ditulis dalam Kitab Suci akan selalu relevan dan berlaku abadi sampai dunia kiamat. Kalangan ini sungguh-sungguh mengakui dan menerima adanya kesenjangan sejarah dan kesenjangan kebudayaan antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI. Karena itu, mereka tidak akan pernah mau memindahkan begitu saja dunia kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI. Karena itu, mereka juga akan dapat dengan lega dan rela dan dengan penuh tanggungjawab menyatakan ada banyak pandangan Kitab Suci yang sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan modern abad XXI. Karena itu, mereka sungguh-sungguh menghindari anakronisme ketika mereka mau memahami Kitab Suci dalam suatu konteks kehidupan modern abad XXI; dan mereka juga tidak mau menimbulkan suatu benturan keras antar dua peradaban atau dua kebudayaan: kebudayaan dan peradaban kuno pramodern Kitab Suci dan kebudayaan dan peradaban modern abad XXI.


Kalangan yang memakai pendekatan historis kritis dalam memahami Kitab Suci memandang bahwa setiap teks Kitab Suci tidak muncul begitu saja seolah diturunkan langsung sebagai wahyu dari surga, dari Allah dan para malaikat-Nya. Ketika mau memahami sebuah teks Kitab Suci, mereka mempertimbangkan dengan sangat teliti dan seksama segala faktor insani yang berperan dalam melahirkan teks itu. Keseksamaan dan ketelitian dalam mempertimbangkan semua faktor insani inilah yang disebut sebagai criticism (berasal dari kata Yunani krinein, Inggris-nya “to judge”, yang artinya “memutuskan dan menjatuhkan penilaian berdasarkan sekian pertimbangan yang matang dan multidimensional”).

Seorang yang memakai pendekatan kritis memandang bahwa setiap teks Kitab Suci lahir atau ditulis dengan terikat pada konteks sejarah masing-masing pada zaman dulu. Karena itu, bagi mereka, untuk memahami suatu teks Kitab Suci dengan benar dan dengan bertanggungjawab teks ini harus pertama-tama ditempatkan dalam konteks sejarah kelahirannya dulu, di dunia kuno pramodern. Karena ditulis di dalam suatu konteks sejarah masa lampau dan terikat kuat pada konteks sejarah ini, setiap teks Kitab Suci tidak bisa begitu saja dipindahkan dan diberlakukan apa adanya di dalam suatu konteks kehidupan modern masa kini yang sudah sangat jauh berbeda dari konteks kehidupan kuno pramodern.
Ihwal apakah suatu teks Kitab Suci relevan atau sudah tidak relevan lagi dalam suatu kehidupan modern, dengan demikian, harus dipertimbangkan dengan sangat teliti dan kritis. Jika langkah-langkah critical dan historical ini dilakukan si penafsir pada masa kini, berarti si penafsir ini melakukan penafsiran sebuah teks Kitab Suci secara historis kritis.

Pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci, yang disertai dengan pengenalan mendalam terhadap kehidupan manusia modern abad XXI dan terhadap pengalaman baik dan pengalaman buruk yang telah dijalani manusia dalam sejarah, akan membuat setiap orang beragama tidak mau begitu saja memindahkan pandangan-pandangan kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI.


Karena itu, pantaslah, kalangan cerdik pandai yang memakai pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci dan yang memiliki kesadaran kritis dalam menimbang-nimbang segi baik dan segi buruk masa lampau manusia, akan berdiri di garis terdepan dalam menolak usaha-usaha mengubah Indonesia atau Amerika Serikat menjadi negara teokratis, yang mau dibangun kalangan literalis skripturalis politis di atas fondasi-fondasi ajaran-ajaran Kitab Suci dan hukum-hukum keagamaan yang dibuat di zaman kuno pramodern yang sudah sangat asing bagi orang yang hidup di zaman modern abad XXI.

Thursday, October 8, 2009

Pasangan Mempelai Babi dan Kambing

Gambar di atas sangat menarik perhatian saya. Saya dapat dari Internet. Seekor kambing dan seekor babi duduk bersebelahan dan bergandengan tangan, dengan sebuah rangkaian bunga putih dan biru dan berdaun hijau di tempatkan di depan sang kambing. Sang babi tampak memakai setelan jas hitam, berdasi necis, dan memakai kemeja warna kuning gading. Sang kambing tampak memakai sehelai pakaian perempuan juga warna kuning gading, dan pada bagian lehernya melilit seuntai kalung bola-bola plastik kecil warna bening. Kepala sang kambing dihiasi dengan aksesoris warna-warni.

Wah, sudah pasti deeeh ... sang kambing adalah mempelai perempuan, dan sang babi mempelai pria! Keduanya sedang dikawinkan. Luar biasa! Duduk di atas apa mereka berdua? Oooooh... rupanya kedua hewan pasangan suami istri ini duduk akur di atas sebuah kueh tart yang ditawarkan untuk dibeli oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang akan menikah! Mereka, sang kambing dan sang babi ini, tidak tahu bahwa di negeri yang namanya Indonesia, kambing dan babi sedang dibuat bertarung
satu sama lain oleh MUI. Yang satu mencaci, “Babi, Lu!”; yang dicaci membalas sengit, “Kambing, Lu!” Waaaah, runyam deh!

RUU Halal di Negara “Bukan-bukan”

Author: Victor Silaen
Pengajar, peneliti, pengamat sospol

Saya menerima info bahwa Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH atau disingkat RUU Halal) tidak jadi disahkan oleh DPR RI dalam waktu dekat ini. Kalau tidak jadi disahkan, kemungkinannya hanya dua: 1) ditunda, dalam arti akan bikin rencana berikutnya; 2) dilupakan dan akhirnya berlalu begitu saja.
Kemungkinan mana yang paling mendekati? Rasanya yang pertama. Sebab, ini menyangkut dua hal: 1) proyek politik yang di baliknya tentu ada duit; 2) kepentingan politik kekuatan-kekuatan politik yang pro-syariah.

Sejak lama RUU yang terdiri dari 12 Bab, 44 pasal dan 75 ayat ini menuai kontroversi lantaran pemerintah dianggap tidak selayaknya mengeluarkan sertifikasi halal. Seyogianya yang mengeluarkan sertifikasi halal itu adalah lembaga keumatan atau keulamaan seperti Majelis Umat Islam (MUI). Namun, itu pun harus ditambahi beberapa catatan ini: 1) lembaga tersebut tidak boleh memonopoli semua urusan yang terkait dengan sertifikasi; 2) lembaga tersebut harus diakreditasi oleh pemerintah dan diawasi secara ketat dalam kinerjanya.


Terlepas dari perdebatan soal pemerintah atau MUI yang layak mengeluarkan sertifikasi halal itu, bagaimana sesungguhnya kita patut menyikapi RUU Halal ini? Pertama, RUU ini diskriminatif. Sebab, substansinya meniscayakan adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar keyakinan agamanya. Maksudnya, yang mengenal konsep “halal” dan “tidak halal” (haram) yang terkait dengan segala sesuatu yang dikonsumsi adalah umat Islam. Jadi, mengapa hanya untuk kepentingan satu umat beragama, negara ini harus repot-repot membuat peraturan berskala nasional? Lantas bagaimana dengan umat agama-agama lainnya? “Tenang saja, ini hanya akan diberlakukan bagi kaum muslimin dan muslimat.” Mungkin akan ada yang berdalih begitu. Aneh sekali, mengapa ada sebuah peraturan yang keberlakuannya dibeda-bedakan berdasarkan keyakinan agama seseorang? Bukankah jelas ini diskriminatif? Tidakkah kebijakan diskriminatif seperti ini rawan bahaya segregasi-separasi, yang bukan tidak mungkin berujung disintegrasi pada gilirannya kelak?


Kedua, negara ini adalah negara hukum (rechstaat) dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika (“beranekaragam tetapi satu jua”). Sebagai negara yang bukan teokratis, maka sesungguhnya negara tidak dapat dibenarkan untuk mengintervensi ranah atau urusan agama dan keberagamaan warga negaranya. Kalaupun negara mengatur bidang ini, mestinya itu hanya untuk kepentingan administratif dan statistik. Di luar itu sama sekali tidak boleh. Sedangkan sebagai negara yang mengakui keanekaragaman, itu berarti negara ini tidak mengenal kebijakan penggolong-golongan warganya menjadi “yang mayoritas” dan “yang minoritas” berdasarkan latar belakang SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Dengan membuat RUU Halal, maka negara ini seakan turut merekayasa agar warga negara Indonesia kelak terkotak-kotak menjadi “yang mayoritas” dan “yang minoritas”.


Sungguh, ini patut menjadi suatu keprihatinan kita semua. Sejak dulu negara ini hobi mengintervensi kehidupan beragama warga negaranya, yang sebenarnya merupakan wilayah privat setiap individu. Kalau benar Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), bukankah harus diakui bahwa secara kodrati setiap manusia adalah individu yang bebas: untuk mengarahkan hidupnya sendiri, untuk menentukan pilihannya atas apa pun jika itu dapat membuatnya bahagia, dan untuk mengekspresikan hak-hak dasariahnya sejauh tidak merenggut kebebasan yang lain? Berkeyakinan dan beragama jelas merupakan salah satu hak-hak dasariah itu. Tak ada institusi apa pun yang boleh mengintervensinya.


Namun, itulah uniknya Indonesia, yang oleh teolog Eka Darmaputera (1987) disebut sebagai negara “in-between”: bukan negara agama, bukan pula negara sekuler (kalau diperas menjadi “bukan ini bukan itu”). Di antara kedua negasi itu, agama diberi tempat yang sangat penting. Sehingga, jangan heran jika agama dan aneka persoalan yang terkait dengannya tak pernah luput dari pengelolaan bahkan pengendalian negara. Antropolog Clifford Geertz (1974) pernah mengatakan hal itu berdasarkan pengamatannya. “Kementerian Agama, yang dikepalai oleh seorang anggota penuh dari Kabinet, berpusat di Jakarta, tapi memiliki kantor-kantor yang tersebar luas di seluruh negeri.” Adanya kementerian agama itu dapat dijadikan bukti untuk menyimpulkan Indonesia sebagai negara yang menolak keterpisahan mutlak antara yang profan (negara) dan yang sakral (agama). Itu sebab­nya, melalui kementerian agama pula negara dapat secara aktif melibatkan diri dan bertanggung jawab terhadap keamanan dan perkembangan setiap agama “yang diakui”-nya.


Ketiga, semua produk hukum di negara hukum ini haruslah betul-betul berlandaskan teori hukum sebagai “a tool of social engineering” (Pound, 1965). Teori hukum ini bertolak dari asumsi bahwa hukum harus menjadi dasar untuk mengadakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Pertanyaannya, benarkah semua produk hukum di Indonesia berorientasi ke arah yang lebih baik? Ataukah, dalam beberapa produk hukum, kepentingan politik yang sempit dan primordialistik picik membayang-bayangi di dalamnya? Bagaimana dengan RUU Halal yang kental nuansa agama Islamnya itu? Dalam pasal 6 ayat 1 RUU itu, misalnya, tertulis begini: “Bahan baku yang berasal dari hewan dihalalkan kecuali hewan yang diharamkan berdasarkan syariah”. Siapa pun tahu, hanya Islam yang mengenal istilah “syariah” itu.


Keempat, salah satu butir dalam RUU Halal pasal 8 tentang proses produk halal dengan bahan baku produk hewan, berbunyi: “Hewan yang digunakan sebagai bahan baku produk halal harus disembelih dengan menyebut lafal ‘bismillahhirrahmanirrahim’ dan tuntutan penyembelihan sesuai dengan syariah serta memenuhi kaidah kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Pertanyaannya, bagaimana kita tahu bahwa daging hewan yang dijual di pasaran sudah disembelih dengan mengucapkan lafal tersebut? Adakah pihak yang diberi tugas khusus untuk itu? Kalau ada, maka dengan sendirinya harus ada ongkos ekstra untuk petugas khusus tersebut. Terkait inilah maka akan terjadi inefisiensi atau pemborosan. Belum lagi ongkos untuk mendapatkan sertifikat halal atas sebuah produk yang hendak dijual. Alhasil, banyak produk yang sebelumnya terjangkau harganya akan menjadi mahal. Akibatnya, masyarakat tak mampu membeli, produsen pun merugi. Tak heran jika protes atas RUU ini gencar disuarakan oleh Kadin (Kamar Dagang Indonesia) maupun pihak pengusaha. Ada sinyalemen, untuk mendapatkan sertifikasi halal untuk suatu produk diperlukan biaya jutaan rupiah. Belum lagi proses dan prosedurnya yang lama, juga ruwet. Tidakkah ini dapat menjadi kendala bagi pertumbuhan usaha?

Akhirnya kita bertanya: Apa jadinya bangsa ini jika peraturan soal halal dan soal tidak halal ini disahkan? Di Papua, ada suku-suku tertentu yang terbiasa menggunakan lemak babi untuk mengusir nyamuk. Salahkah mereka? Di Toraja, di Tapanuli, di Manado, pun di daerah-daerah lainnya, masyarakat selalu menyembelih babi untuk dikonsumsi dalam acara-acara atau pesta-pesta adat. Salahkah mereka?

Mau Makan atau Pakai Produk Saja Kok Musti Diatur-atur?

Author: Limantina Sihaloho
Pemikir Kristen progresif


Tidak relevan

UU Jaminan Produk Halal sedang dibahas di Senayan? Apa gunanya? Sudah sejak dahulu kala manusia makan, minum dan mempergunakan berbagai macam produk tanpa harus repot dengan sebuah undang-undang untuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dimakan. Ketentuan-ketentuan soal haram dan halal yang ada dalam agama tertentu tidak perlu diseret-seret atau dipaksakan menjadi ketentuan yang musti diundangkan dan berlaku apalagi kalau penduduk suatu negeri plural dalam hal keberagamaan. Pula, dengan sendirinya, selama jutaan tahun, manusia sudah tahu apa yang pantas dan tidak pantas untuk dimakan, untuk dikomsumsi atau dipakai. Untuk apa diatur-atur dalam sebuah undang-undang? Mau makan atau pakai produk saja kok harus ada undang-undangnya? Apa maksudnya kalau bukan untuk menghabis-habiskan uang atau bagi-bagi proyek saja di Jakarta situ?

Yang saya prihatinkan dalam proses pembahasan UU JPH antara lain: pemborosan dana oleh para wakil rakyat itu di Senayan. Jika undang-undang semacam ini menjadi undang-undang yang berlaku di Indonesia, dalam pelaksanaannya akan memerlukan dana yang cukup besar. Kan tragis, kalau sebuah negara lalu harus memboroskan sejumlah besar dana hanya untuk membuat label halal (atau label haram) pada makanan dan atau produk. Ini menurut saya kurang kerjaan dan mengada-ngada.

UU PJH tidak bermanfaat bagi mayoritas rakyat Indonesia. Rakyat bisa mengatur dirinya apalagi kalau hanya soal makanan dan produk. Di Sumatra Utara misalnya, yang penduduknya juga heterogen dalam hal keberagamaan, sejak dulu sudah ada aturan tidak tertulis yang mereka biasa praktekkan sampai hari ini. Misal: kalau ada pesta, akan ada makanan khusus bagi yang tidak makan daging yang di kalangan umat Islam atau Parmalim tidak boleh untuk dimakan. Suku-suku Batak yang ada di Sumatra Utara memeluk paling tidak tiga agama: Kristen, Islam dan Ugamo Malim.

Kaum Muslim mirip dengan Parmalim (penganut Ugamo Malim); mereka tidak makan daging babi, anjing, ular, etc. Orang Kristen sendiripun, tidak semua boleh makan daging babi atau anjing atau ular atau lele. Sebagian saudara/i saya yang Kristen tidak makan daging babi atau anjing atau darah hewan; mereka Kristen (Advent). Jadi salah kalau ada anggapan Kristen itu homogen, artinya boleh makan hewan apa saja.

Yang saya tolak dari rencana pemberlakukan UU JPH itu bukan soal halal-haram-nya tapi soal tidak relevannya undang-undang macam itu bagi rakyat Indonesia. Undang-undang macam itu hanya relevan bagi segelintir orang pencari-untung yang mengambil kesempatan dalam kesempitan: para anggota dewan dan para pelaku bisnis halal-haram. Itu pasti pekerjaan "besar" dan "basah" apalagi kalau musti melabeli semua jenis produk impor yang masuk ke Indonesia. Masyarakat justru rugi sebab mereka juga yang harus membiayai semua itu —mulai dari proses pembahasannya di Senayan sampai pada operasionalisasinya nanti kalau jadi diundangkan —lewat pajak yang harus mereka serahkan kepada negara.

Konteks masa kini: kerusakan lingkungan hidup

Saya juga tidak setuju dengan pihak-pihak yang melekat-kaku pada teks-teks kitab suci untuk mengetahui dan memutuskan apa yang halal dan yang haram terutama kalau kita bicara pada konteks masa kini. Di zaman Yesus atau Nabi Muhammad kan belum terjadi penggundulan hutan besar-besaran sebagaimana berlangsung dalam satu abad terakhir ini. Sebagian penggundulan hutan itu adalah demi perluasan peternakan sapi dan hewan lainnya untuk dimakan manusia. Chico Mendes, aktivis lingkungan di Brazil berakhir hidupnya di ujung senapan karena dia memperjuangkan agar hutan di Brazil tidak dilibas terus oleh para pemilik peternakan sapi yang terus-menerus memperluas wilayah peternakan mereka.

Degradasi lingkungan seperti di Brazil itu terjadi di banyak tempat termasuk di kampung halaman saya sendiri. Di bawah Gunung Simarjarunjung, di sebelah timur Danau Toba, ada peternakan babi paling besar di Asia Tenggara, PT Allegrindo Nusantara. PT ini mempergunakan air jernih dari mata-mata air yang ada di Simarjarunjung dengan gratis. Persoalan yang ditimbulkannya menjadi begitu kompleks dari segi sosial, ekonomi dan lingkungan. Di sisi barat PT Allegrindo ini ada Danau Toba yang indah dan terkenal itu yang justru belakangan ini semakin rentan karena berbagai macam proses perusakan lingkungan seperti penggundulan hutan di sekitar danau dan limbah yang masuk ke dalam danau. Pemandangan di daerah wisata seperti Parapat juga menjadi tidak-sedap dengan kehadiran PT Aquafarm Nusantara yang membudidayakan ikan nila secara besar-besaran. Sama seperti di PT Allegrindo Nusantara, penduduk lokal hanya menjadi buruh di PT Aquafarm ini. Yang dapat untung besar adalah pemilik modal yang adalah orang luar.

Pelet pakan ikan nila milik PT Aquafarm Nusantara di tengah-tengah Danau Toba menjadi salah satu penyebab polusi yang merusak danau dan keindahan serta mengancam masa depan generasi yang akan datang. (Foto oleh: Limantina Sihaloho).

Secara pribadi, saya akan mengatakan, “haram makan daging entah sapi atau babi”, "haram makan ikan yang dibudidayakan dengan cara merusak lingkungan", apalagi kalau daging atau ikan itu atau produk lainnya berasal dari sebuah proses ketidakadilan seperti yang antara lain sudah dijelaskan oleh GJ Aditjondro dalam tulisannya: Halal dan Haram: Berdasarkan Teks atau Konteks? Tentu saja saya tidak memaksa tidak makan daging dan atau ikan. Adalah bijak mengetahui bagaimana sejarah sepiring makanan yang ada di hadapan kita. Soal makan adalah pilihan merdeka setiap orang dan tak perlu diundang-undangkan. Belum pernah saya temukan orang yang makan agar dia sengsara tetapi sebaliknya. Yang perlu kita bangun adalah kesadaran dan pengetahuan bukan memproduksi semakin banyak undang-undang yang ternyata pun hanyalah undang-undang yang impoten.

Saya vegetarian dalam 12 tahun terakhir ini, tak makan daging dan ikan sama sekali. Yesus benar ketika mengatakan bahwa yang haram itu adalah apa yang keluar dari mulut bukan apa yang masuk ke dalam mulut tetapi saya tidak harus mengadopsi itu sebagai kebenaran mutlak dua ribu tahun kemudian sebab kalau begitu saya membutakan diri saya sendiri terhadap konteks di mana saya sedang hidup. Konteks pada zaman Yesus itu sendiri ketika itu bukan an sich soal makanan tapi soal prilaku. Seorang muridnya bernama Petrus memperoleh penglihatan: semacam karpet turun dari langit dan di dalamnya ada jenis-jenis hewan yang haram bagi Yahudi. Orang Kristen lalu salah kaprah dengan terutama hanya memakai peristiwa penglihatan itu sebagai sebuah pembenaran untuk bisa makan semua daging hewan. Bagi saya tidak begitu; ada konteks sebelumnya soal bagaimana musti memperlakukan orang non-Yahudi sebagai sesama yang setara. Jadi salah kalau hanya mempergunakan peristiwa itu untuk membenarkan pandangan bahwa semua hewan boleh dimakan. Itu namanya memanipulasi teks.

Salah satu tantangan paling serius belakangan ini adalah bagaimana berbagi secara adil berbagai sumber daya yang kita miliki termasuk sumber daya pangan. Di seluruh dunia termasuk di Indonesia semakin banyak yang kekurangan gizi dan tidak cukup makan. Ada sebagian orang yang kegemukan karena kelebihan makan tapi ada yang tinggal kerangka dan busung lapar karena tidak punya makanan. Lebih baik kita mengarahkan perhatian bersama terhadap bagaimana berbagi secara adil sumber-sumber yang ada daripada mengerjakan hal yang tidak begitu berguna seperti mengundangkan UU JPH.

Belum ada jaminan bahwa keadaan lingkungan kita akan semakin membaik, justru sebaliknya. Situasi ini akan memaksa semakin banyak manusia yang terancam kelaparan di seantero dunia. Justru haram membicarakan halal-haram makanan ketika semakin banyak orang justru tidak punya makanan atau teramcam kurang gizi dan kelaparan. Soal haram-halal itu hanya kerjaan orang yang kelebihan makanan, jadi mereka ada waktu untuk memilih-milih mana yang haram, mana yang halal menurut selera mereka dengan mengatasnamakan kitab suci. Yang haram bagi saya justru: wakil rakyat di Senayan itu atau siapa saja yang hidup dari uang rakyat dan pakai uang rakyat makan enak-enak dan bersisa-sisa pula itu, plus masih dapat uang gono-gini; sementara di berbagai tempat banyak dari antara rakyat di negeri ini yang masih kurang gizi, busung lapar dan makan hanya bisa sekali sehari.. ***

Sunday, October 4, 2009

Sebuah Telaah Tekstual atas RUU Jaminan Produk Halal

Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal

Tulisan ini memuat sebuah telaah tekstual atas RUU Jaminan Produk Halal (disingkat: RUU JPH) untuk memperlihatkan bahwa nilai-nilai hukum dasariah yang menjadi landasan RUU JPH ini adalah nilai-nilai hukum Islami dan untuk menemukan seberapa otoritatifnya RUU ini jika nanti sudah disahkan sebagai UU. Kita tahu, setelah nanti disepakati dan diterima DPR RI, RUU ini akan disahkan oleh Presiden RI dan diundangkan di Jakarta oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, serta dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ketika RUU ini sudah disahkan dan diundangkan sebagai UU, semua ketentuan di dalamnya tentu akan berlaku secara nasional, karena statusnya sebagai UU, bukan sebagai suatu peraturan daerah yang berlaku parokial atau provinsial.

Kalau orang membaca RUU JPH ini dengan teliti, maka dia pasti akan menemukan bahwa nilai-nilai hukum dasariah yang menjadi fondasi dasar RUU ini dan yang mau diundang-undangkan secara nasional ini tidaklah ditarik/berasal dari nilai-nilai sosio-kultural yang sudah terkristalisasi dalam perjalanan sejarah nasional Indonesia sebagai nilai-nilai sosio-kultural dan religius kebangsaan Indonesia yang berfungsi kohesif dan mempersatukan, seperti dapat ditemukan dalam nilai-nilai yang menjadi lima sila dalam Pancasila dan nilai-nilai nasionalisme dan internasionalisme yang tertuang dalam UUD 1945, khususnya pada bagian Preambule UUD ini.


Nilai-nilai hukum dasariah yang melandasi dan menjadi nafas kuat RUU ini jelas sekali adalah syariah Islam (Bab I, pasal 1, ayat 1, ayat 5, ayat 10; Bab II, pasal 3, ayat 1; pasal 6, ayat 1; Bab III, pasal 6, ayat 3; pasal 7; pasal 8, ayat 1; Bab IV, pasal 20, ayat 5; bagian Penjelasan I Umum RUU JPH; bagian Penjelasan pasal 6, ayat 2; bagian Penjelasan pasal 8, ayat 1) sebagaimana ditafsir dan dirumuskan oleh Majelis Ulama Indonesia (Bab I, pasal 1 ayat 10; Bab II, pasal 3, ayat 1; Bab III, pasal 7; Bab III, pasal 13, ayat 3; Bab IV, pasal 20, ayat 5; Bab IV, pasal 26, ayat 2; bagian Penjelasan I Umum) dan dituangkan ke dalam fatwa-fatwa lembaga keagamaan yang bukan sebuah lembaga (tinggi) pemerintahan ini.


Bahwa yang mau ditegakkan oleh RUU JPH ini adalah syariah Islam juga tampak jelas dalam pencantuman sebuah sebutan yang khas Islami dalam RUU ini, yakni penyebutan “lafal ‘Bismillahirrahmanirrahim’” dalam suatu penyembelihan binatang (Bab III, pasal 8, ayat 1 ) dan dalam sebuah pernyataan khas Islami bahwa aturan yang ditetapkan dalam RUU ini “diperuntukkan untuk kepentingan selain Allah Subhanallahu Wa-Taala” (bagian Penjelasan pasal 6, ayat 2). Dalam bagian Penjelasan pasal 8, ayat 1, terdapat sebuah pernyataan yang digeneralisir bahwa “Lafal ‘Bismillahirrahmanirrahim’ adalah lafal yang lazim diucapkan masyarakat Indonesia ketika melakukan penyembelihan (hewan).”


RUU JPH yang berlandaskan syariah Islam yang ditafsir, dirumuskan, ditetapkan dan difatwakan oleh MUI ini, nanti setelah disahkan menjadi UU, akan dilaksanakan oleh pemerintah melalui Menteri Agama RI (Bab II, pasal 3; Bab III, pasal 6, ayat 3; Bab III, pasal 7; Bab IV, pasal 18, ayat 1; Bab IV, pasal 30, ayat 1; bagian Penjelasan I Umum). Kita tahu, sebagai pejabat tinggi negara pilihan Presiden, setiap menteri harus bertindak dan memutuskan serta menetapkan suatu produk hukum apapun demi kepentingan nasional yang tidak fragmentaris dan tersekat-sekat.


Mengingat nilai-nilai hukum dasariah yang melandasi RUU ini adalah nilai-nilai hukum syariah Islam, logisnya orang akan menyimpulkan bahwa ketika nanti RUU ini sudah disahkan dan diundangkan sebagai UU, UU JPH ini, demi azas keadilan hukum bagi seluruh warganegara dan penduduk Indonesia yang secara keagamaan sangat majemuk, hanya akan berlaku bagi umat Islam Indonesia, dan tidak berlaku bagi warganegara dan penduduk yang bukan-Muslim. Tetapi, semua orang insaf, bahwa logika dan azas keadilan hukum ini tidak akan dapat diberlakukan mengingat bahwa setiap produk hukum yang sudah berstatus UU adalah sebuah produk hukum yang mengikat semua penduduk dan
warganegara RI yang berdiam di dalam maupun di luar negeri.

Sehubungan dengan ihwal untuk siapa UU JPH ini nantinya akan diberlakukan, RUU JPH ini sendiri memuat pernyataan-pernyataan yang satu sama lain tidak harmonis. Pada satu pihak dinyatakan bahwa nantinya RUU JPH ini, ketika sudah diundangkan, akan diberlakukan “bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam”, sebagai “bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah” (lihat bagian Penjelasan Umum I RUU JPH). Tetapi pada pihak lain, dinyatakan juga bahwa RUU JPH ini, ketika sudah diundangkan, akan “memberikan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat dan kepastian hukum kepada setiap warga negara secara adil dan beradab” (lihat bagian Penjelasan pasal 2, ayat 2, huruf a).


Ketidakharmonisan dua pernyataan di atas barangkali akan tetap dibiarkan oleh para perancang RUU ini sampai RUU ini selesai dibahas, lalu disahkan dan diberlakukan serta diundangkan nanti, sehingga UU JPH nanti akan berwajah dua: pada satu pihak UU JPH adalah UU Islami, tetapi di lain pihak juga UU nasional. Dengan kata lain, melalui produk hukum UU JPH ini kalangan Islam Indonesia ingin memperluas jangkauan pemberlakuan syariah Islam bukan hanya untuk kalangan internal Muslim Indonesia, tetapi juga untuk seluruh warganegara dan penduduk lain yang bukan-Muslim. Dan ketika RUU JPH ini sudah diundangkan, memberlakukan syariah Islami kepada semua warganegara dan penduduk negara RI tidak lagi merupakan suatu tindakan melanggar hukum dan UU; setidaknya ini dimulai dulu dengan sebuah ketentuan syariah Islami mengenai makanan halal dan makanan haram, sebelum meluas ke segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat bisa jadi, inilah konteks sosio-politis historis dan kontemporer yang sebenarnya dari lahirnya RUU JPH ini.


Lebih jauh, pada bagian Penjelasan RUU yang sama (pasal 2, ayat 2, huruf a), RUU JPH ini juga menyatakan bahwa kepastian hukum harus diberikan kepada “penduduk Indonesia secara proporsional, serta memberikan keadilan secara proporsional.” Ihwal apa yang dimaksud dengan frasa “secara proporsional”, RUU ini tidak memberi suatu penjelasan tambahan lebih jauh apapun, sehingga frasa ini tentu harus ditafsirkan oleh pembaca manapun. Sangat mungkin yang dimaksud dengan frasa ini adalah bahwa umat Islam Indonesia berhak menuntut untuk kepada mereka sudah pada tempatnya diberikan keadilan dan kepastian hukum dalam bentuk sebuah UU JPH nasional, yang berlandaskan syariah Islam mengenai hal halal dan hal haram sehubungan dengan sekian produk yang mereka makan sehari-hari mengingat secara proporsional mereka adalah warganegara dan penduduk mayoritas negara RI.

Tentu orang bisa memahami kalau suatu kelompok mayoritas di dalam suatu negara manapun di dunia selalu ingin tampil sebagai pengatur dan penentu kehidupan berbangsa dan bernegara, dan selalu menuntut diperlakukan secara proporsional, sejalan dengan jumlah mereka yang lebih besar. Tetapi, apakah NKRI, dalam perjalanan sejarahnya, mengenal dan memberlakukan suatu sistem hukum proporsional seperti yang dikehendaki RUU JPH ini, yang melaluinya kewenangan terbesar mengatur negara ini diminta diserahkan kepada kelompok mayoritas, yakni umat Islam? Bukankah negara RI selama ini adalah suatu negara kesatuan dalam keanekaragaman, suatu negara yang meskipun rakyatnya “majemuk tetapi satu adanya” (Bhinneka Tunggal Ika), bukan suatu negara agama atau suatu negara teokratis yang dipimpin oleh suatu kelompok keagamaan mayoritas yang dapat memaksakan kehendak mereka kepada kelompok-kelompok keagamaan minoritas yang banyak jumlahnya meskipun kecil-kecil kuantitasnya? Bukankah selama ini, NKRI adalah suatu negara yang memperlakukan semua warganegaranya sebagai orang-orang yang sama dan sederajat di mata hukum? Juga, penting kita terima sebagai suatu fakta bahwa kawasan Indonesia Timur adalah suatu kawasan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, bukan Islam. Apakah kawasan Barat dan kawasan Timur Indonesia harus dibuat berbenturan? Hayo, sebaiknya kita semua, khususnya MUI dkk, kembali kepada visi besar sosio-kultural dan sosio-politis yang inklusif-pluralis Pancasilais dari para pendiri dan peletak awal landasan hukum bangsa dan negara Indonesia ini, visi besar yang membuat bangsa Indonesia yang majemuk selama ini dapat dipersatukan dengan kokoh dan kuat!


Sejauh kita tahu dan sepakati, di seluruh dunia setiap UU apapun, apalagi yang dihasilkan melalui suatu proses demokratis dan musyawarah panjang di lembaga legislatif, memiliki suatu kekuatan memaksa (a coercive power) untuk UU ini diberlakukan oleh semua pejabat negara dan ditaati oleh semua warganegaranya tanpa kecuali. Kalau RUU JPH ini nanti akan diundangkan sebagai UU (mungkin suatu hasil dari perjuangan sepihak habis-habisan MUI dkk, misalnya, atau mungkin juga suatu hasil dari proses pembahasan yang demokratis di DPR-RI), UU JPH ini tentu haruslah memiliki a coercive power itu.

Tetapi, pada bagian Penjelasan RUU ini atas pasal 18, ayat 1, dinyatakan bahwa suatu “sertifikasi produk halal” yang dikeluarkan MUI dengan bekerja sama dengan Menteri Agama RI tidaklah dipaksakan harus ada, tetapi diperoleh melalui permohonan yang “bersifat sukarela”. Jadi, menurut bagian Penjelasan RUU JPH ini, sertifikasi halal ini boleh ada dan juga boleh tidak, alias sertifikasi ini dapat dimohon voluntarily, dan tidak diberlakukan paksa alias obligatory atau mandatory atau compulsory!
Orang tentu heran besar, kalau dalam negeri kita ini ada suatu ketentuan UU yang boleh ditaati sekaligus juga boleh tidak ditaati. Di mana kewibawaan UU semacam ini? Dan, lebih tragis lagi, apakah kewibawaan Presiden RI dan menteri-menterinya (setidaknya Menteri Agama dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) tidak akan jatuh kalau harus mengesahkan dan mengimplementasikan UU JPH yang tidak berwibawa dan tidak memperlakukan semua warganegara RI yang majemuk sebagai insan-insan yang sama status dan hak mereka di hadapan hukum? Apakah tidak sebaiknya setiap RUU dan UU yang tidak berwibawa ditinjau ulang keberadaannya oleh DPR RI atau oleh suatu lembaga tinggi negara lainnya?

Siapapun yang dengan seksama telah membaca semua pasal RUU JPH ini, khususnya pasal-pasal yang memuat ketentuan sanksi administratif, sanksi pidana dan sanksi denda yang besar, dia akan menyimpulkan bahwa sebetulnya seluruh isi RUU JPH ini bermuara hanya pada satu tujuan, yakni supaya sejumlah produk makanan yang diproduksi di dalam negeri memiliki Sertifikasi Produk Halal yang dikeluarkan MUI bekerja sama dengan Menteri Agama RI. Tak pelak lagi, orang dapat bertanya: Apakah ketidakberwibawaan RUU JPH ini, karena tujuan utama pengundangannya sekaligus boleh diterima dan juga boleh tidak diterima, timbul karena memang tujuan RUU JPH ini bukan untuk menegakkan hukum (apapun), tetapi untuk mendapatkan suatu keuntungan komersial melalui suatu sarana hukum? Siapapun sukar sekali menjawab pertanyaan ini.


RUU JPH ini dengan sangat tegas mengakui “kemerdekaan beribadat” setiap warganegara menurut agamanya masing-masing (bagian Pertimbangan butir c), dan secara eksplisit RUU ini merujuk ke sebuah pasal terkenal UUD 45, yakni pasal 29. Jika demikian, kalau memang soal penentuan halal dan haram suatu makanan, seperti sudah dikutip di atas, adalah bagian dari ibadah warganegara, lebih baik serahkanlah kepada setiap Muslim Indonesia, setiap insan warganegara Indonesia, untuk menentukan sendiri dengan sukarela dan bebas, tanpa paksaan, mana makanan yang halal dan mana makanan yang haram, menurut keputusan hati nurani masing-masing.
Untuk hal ini, percayalah bahwa bangsa Indonesia sudah sangat dewasa sehingga tidak perlu diatur oleh sebuah UU yang kelihatan tidak berwibawa.

Friday, October 2, 2009

Halal dan Haram: Berdasarkan Teks atau Konteks?

Author: George Junus Aditjondro
Kritikus bidang sosial-politik, ekonomi, bisnis dan militer di Indonesia


RUU Jam
inan Produk Halal masih sedang dibahas di DPR-RI sekarang ini. Ada dua dimensi yang menarik perhatian saya pada RUU itu. Pertama, sebagaimana yang kini akan banyak disoroti para kontributor di blog ini, pengesahan undang-undang itu oleh parlemen akan semakin mengukuhkan dominasi satu kelompok agama di Indonesia, sebab sudah dapat diduga, ketentuan haram dan halal dari kelompok agama mana yang akan dijadikan patokan.

Jelas ketentuan ini bukan datang dari agama Nasrani, sebab seperti dikatakan Yesus Kristus, “Apapun dari luar yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Markus 7:15). Dengan pesannya ini, Yesus Kristus ingin menegaskan bahwa “semua makanan halal” (Markus 7:19b); sekaligus dia juga ingin menarik sebuah garis demarkasi antara iman orang Yahudi yang masih sangat terikat pada Taurat atau syariat agama Yahudi, dengan iman baru, iman para pengikutnya, yang bersumber dari dalam diri mereka, dari hati (hē kardia) dan pikiran (ho dialogismos). Sekaligus dengan ini, Yesus Kristus ingin mengajarkan orang-orang yang menjadi para pengikutnya bahwa kata-kata yang keluar dari mulut kita sangat penting dikendalikan, sebab kata-kata kita, sebagai ungkapan pikiran dan hati kita, dapat membuat orang bersahabat, atau membuat orang bermusuhan, dapat membuat orang bergembira, atau membuat mereka sedih, dapat membuat orang menjadi bersemangat, atau membuat mereka malah patah hati.
Jadi, bagi Yesus dan bagi orang Nasrani, hati dan pikiran kitalah yang dapat membuat kita najis, bukan makanan yang masuk ke dalam mulut kita.

Kalau begitu, sudah dapat diduga, rujukan untuk menentukan sesuatu makanan itu halal atau bukan, diambil dari ajaran satu agama saja, yakni agama Islam. Berarti, semakin mengukuhkan kedudukan ajaran agama ini sebagai undang-undang negeri ini, yang merupakan ciri-ciri khas teokrasi, yang sebenarnya, secara historis, bukan ciri NKRI.

Namun sesungguhnya, buat umat Islam, penetapan undang-undang yang memberikan kekuatan hukum pada salah satu lembaga buatan manusia, MUI sekalipun, untuk menentukan apa yang halal atau apa yang haram untuk dimakan, dapat menyempitkan pengertian haram dan halal itu sendiri. Maksudnya, menyempitkan makna ajaran Islam itu sendiri bagi pemeluknya.

Padahal, pengertian haram dan halal tidak dapat dibatasi pada teks-teks agama yang diturunkan 14 abad yang lalu di Saudi Arabia, yang sifatnya sangat spesifik. Misalnya, yang dianggap haram hanyalah binatang tertentu, atau ludah binatang tertentu, atau darah binatang, atau bahkan daging binatang yang tidak disembelih menurut aturan Islam. Makanya di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Kristiani pun, seperti Eropa dan Australia, sudah banyak toko daging halal untuk konsumsi penduduk yang beragama Islam.

Dengan ijtihad (eksegese atau, lebih tepat, hermeneutik) yang lebih berorientasi pada konteks, namun tetap berpijak pada teks, perlu juga dipertanyakan, apakah produk-produk makanan dan minuman yang dibuat oleh buruh-buruh yang tidak diperlakukan secara adil, bersifat halal, atau haram? Ada tertulis dalam sebuah hadis, “Bayarlah buruhmu sebelum keringatnya kering.” Jadi daging ayam, kambing, sapi dan kerbau, hasil peternakan yang diproduksi dengan mengeksploitir para buruh selayaknya juga diharamkan.

Kesimpulannya, biarlah umat sendiri yang menentukan, baik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kesehatan, maupun berdasarkan pertimbangan keadilan (yang didukung oleh semua agama Ibrahimiyah), apakah ikan, daging, buah, atau sayuran yang mau dimakan mereka haram atau halal. Sebab memberikan hak itu kepada sebuah lembaga buatan manusia, yakni MUI dalam kasus Islam, yang hanya didasarkan pada ajaran satu agama saja, selain tidak adil bagi mereka yang tidak seiman, sesungguhnya juga tidak adil bagi pemeluk agama itu sendiri, sebab membuat mereka terkerangkeng dalam sebuah interpretasi yang sangat harfiah tekstual, tanpa mengindahkan interpretasi yang lebih kontekstual dinamis, sehingga memaksa umatnya tetap terbelenggu dalam kebekuan Abad Pertengahan.

Makanya, sudah saatnya para wakil rakyat hasil Pemilu lalu (2009), yang terpilih melalui pemilu yang penuh pelanggaran hukum maupun etika, menebus dosa mereka dengan memperhatikan RUU lain yang lebih menyangkut kemaslahatan orang banyak, tanpa mendahulukan kepentingan kelompok suatu agama tertentu saja.

Yogyakarta, 02 Oktober 2009

Suarakan Hati Nurani Anda!

Author: Gunawan Suryomurcito
Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Hak atas Kekayaan Intelektual Indonesia

Saya pernah membaca sebuah tulisan yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa orang-orang moderat kalah dari orang-orang radikal karena mereka cenderung tidak berani menyuarakan suara hati nurani mereka. Orang-orang radikal biasanya menang karena mereka berani bersuara dan suara mereka keras, lagipula mereka berani melakukan kekerasan baik secara fisik maupun secara mental untuk mencapai tujuan mereka.

Negeri kita Indonesia akhir-akhir ini ditandai oleh berbagai perbuatan kaum radikal yang mengusung gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan agama. Secara ideologis hal itu merupakan perongrongan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia yang baru saja kita rayakan ulang tahunnya yang ke-64. Secara sistematis oleh mereka dilakukan upaya-upaya untuk meniadakan kebhinnekaan, dimulai dengan diundang-undangkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang bernafaskan suatu agama tertentu, dari yang paling rendah, setingkat peraturan daerah, sampai yang paling tinggi, setingkat undang-undang.

Orang Indonesia yang moderat yang selama ini menjadi “silent majority” sekarang haruslah mengambil sikap tegas! Menjadi “bebek-bebek” bisu yang mau saja digiring kesana-kemari tanpa bersuara, atau menjadi “angsa-angsa” vokal yang berteriak keras, menyuarakan suara hati nurani mereka!

Blog ini adalah sebuah tempat bagi kaum moderat yang semula “silent” menjadi kaum moderat yang “outspoken” untuk menyuarakan suara hati nurani mereka guna tetap mempertahankan cita-cita luhur para pendiri bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika. Mari kita suarakan dengan lantang suara hati nurani kita!

Jakarta, 2 Oktober 2009