Wednesday, March 31, 2010

Lesbian, Gay dll ... Adalah Saudara Kita Juga!

Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal

Karena tak mendapatkan izin dan jaminan keamanan dari pihak Polda Jatim dan Polwiltabes Surabaya, dan juga karena ditolak sejumlah kalangan seperti Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, Pengurus Wilayah Muhamadiyah Jawa Timur, Front Pembela Islam Surabaya, Pemkot Surabaya, akhirnya kegiatan Konferensi Regional International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA) yang sedianya digelar di Surabaya, 26-28 Maret 2010, dan dihadiri 100 peserta dari 20 negara Asia, dibatalkan. ILGA adalah bagian dari banyak ragam gerakan yang memperjuangkan dan membela hak-hak sipil, hukum, sosial, kebudayaan, pekerjaan dan politik kalangan LGBTIQ dan para pendukung mereka.

LGBTIQ adalah sebuah deretan huruf besar yang sudah mulai dikenal banyak orang dewasa ini di Indonesia, singkatan dari Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender-Intersexed-Questioning. Gerakan mereka dan para pendukung mereka sebenarnya sudah lama berdiri di luar Indonesia mula-mula sebagai “gerakan homofili” (=gerakan mencintai pasangan yang ber-sex sama) yang diadakan oleh dan bagi kalangan lesbian dan gay pada tahun 1952 dengan didirikannya Mattachine Society di Amerika Serikat. Karena terjadi konflik antara kalangan lesbian dan kalangan gay atas isu-isu politis strategis dan prioritas, sekelompok lesbian membentuk Daughters of Bilitis di San Francisco, Amerika Serikat, 1955.

Di Indonesia, seperti telah dicontohkan oleh kasus di atas, kalangan LGBTIQ hingga sekarang ini masih rentan terhadap perlakuan keras dan tidak adil dari sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat keagamaan yang masih berpikiran tradisional skriptural. Menurut pemikiran ini, kalangan LGBTIQ adalah kalangan yang dimurkai dan dikutuk Tuhan karena dosa-dosa nenek moyang atau dosa orangtua mereka atau karena moralitas seksual mereka yang bobrok, yang melawan nilai-nilai moral seksual yang sehat dan benar yang sudah ditetapkan Tuhan untuk masyarakat. Dosa nenek moyang atau dosa orangtua menyebabkan mereka, menurut pandangan ini, lahir dengan bentuk anatomis alat kelamin yang tidak normal, atau memiliki orientasi seksual yang menyimpang dari kewajaran. Benarkah penilaian ini?

Hemat saya sama sekali tidak benar! Memang perilaku seksual yang menyimpang bisa terbentuk karena lingkungan kehidupan dan pergaulan yang bermoral bobrok. Tetapi ada sangat banyak insan LGBTIQ di dunia ini yang tidak hidup di lingkungan kehidupan dan pergaulan yang bobrok; tetapi karena faktor genetik, mereka memiliki kromosom seksual yang berbeda dari orang lain yang memiliki orientasi seksual tunggal, sebagai laki-laki biasa atau sebagai perempuan biasa. Orientasi seksual yang biasa, wajar dan umum ini, sebagai laki-laki atau sebagai perempuan, tidak boleh dipakai untuk menilai kalangan LGBTIQ sebagai kalangan yang tidak normal, tidak sehat, atau sebagai kalangan yang dimurkai Tuhan. Posisi mereka yang umumnya sudah tersudut dalam masyarakat, akan dibuat makin tersudut jika masyarakat memakai pandangan keagamaan tradisional untuk menilai moral dan keadaan jasmaniah dan psikis mereka. Ilmu genetika, kedokteran modern dan psikologi belum ada ketika Kitab Suci manapun ditulis pada zaman pramodern. Karena itu sangatlah anakronistik dan tidak adil jika pandangan-pandangan Kitab Suci apapun dipakai untuk menilai kalangan LGBTIQ sebagai kalangan yang memiliki orientasi dan perilaku seksual tidak normal bahkan bejat.

Dalam negara Indonesia yang bukan negara agama, seharusnya pemerintah, aparat keamanan, politikus, praktisi hukum dan masyarakat sipil bisa berempati dengan keadaan kehidupan kalangan LGBTIQ. Kalangan ini adalah juga saudara-saudara kita yang perlu kita terima dan cintai, dan perlu kita dorong terus untuk mereka bersemangat membangun kehidupan mereka sendiri dalam masyarakat bersama. Lain kali, kalau kalangan ini mau berkonferensi di Indonesia ya janganlah dihambat lagi. Kalau pemerintah belum bisa memberi dukungan keuangan, ya dukunglah mereka secara moril. Kalau umat beragama belum bisa memberi suatu pembenaran teologis kepada kalangan LGBTIQ, ya janganlah memakai teologi atau keyakinan keagamaan untuk memasung hak-hak berkumpul dan berserikat mereka.

Tubuh Perempuan

women's bodies ... to be controlled by men?

Author: Nong Darol Mahmada
Aktivis Jaringan Islam Liberal di Indonesia


Film Pertaruhan adalah sebuah film antologi berisi empat cerita tentang perempuan. Film ini sebuah dokumenter karya bersama hasil workshop
Project Change! 2008 yang merupakan suatu program kerjasama Kalyana Shira Foundation, Dewan Kesenian Jakarta, dan The Body Shop. Sutradara terpilih dari program ini difasilitasi untuk merealisasikan film mereka lewat bendera Kalyana Shira Films di bawah pimpinan Nia Dinata.

Para sutradara dalam film ini adalah Ucu Agustin yang menggarap film Ragate Anak, Lucky Kuswandi dalam film Nona Nyonya?, Iwan Setyawan dan M Ichsan menggarap film Untuk Apa?, dan Ami Ema Susanti yang menggarap film Mengusahakan Cinta.

Menonton film ini kita bisa melihat bagaimana realitas perempuan di Indonesia dalam pelbagai aspek kehidupan. Dari mulai kalangan bawah seperti dalam film Ragate Anak, kalangan agamawan dan budaya dalam film Untuk Apa?, kalangan buruh migran dan homoseksual dalam film Mengusahakan Cinta, sampai kalangan perempuan kelas menengah yang mandiri dalam film Nona Nyonya?. Film ini sebenarnya bukanlah film yang baru dalam mengangkat persoalan perempuan. Dalam film sebelumnya kita tahu, Nia Dinata yang menjadi produser dalam film ini, juga telah mendedahkan secara apik persoalan perempuan seperti dalam film Berbagi Suami dan Arisan.

Namun hal yang menarik dan kelebihan dari film Pertaruhan ini adalah kejadiannya berdasar pada fakta yang betul-betul riil. Karena saya terlibat dalam salah satu film di atas, saya dapat menyatakan bahwa sutradara tidak menyetir maupun mendramatisir sebuah fakta. Sutradara sekadar merekam kenyataan itu apa adanya. Film ini betul-betul menjadi dokumen dari persoalan-persoalan yang memang terjadi di sekitar kita. Dari film ini, kita bisa melihat dengan jelas bahwa persoalan perempuan selalu dikaitkan dengan persoalan tubuhnya. Tubuh seakan-akan menjadi titik sentral dari segala kewajiban dan aturan yang dikenakan pada perempuan.

Semestinya tubuh merupakan ranah hakiki setiap manusia sebagai ajang ekspresi diri atas kreativitasnya. Namun, halnya tidak demikian dengan tubuh perempuan. Tubuh perempuan tidak pernah dipunyai dirinya sendiri. Perempuan kehilangan raganya. Tubuh perempuan selalu menjadi area publik untuk dikontrol, dilabel, dinilai, diobjektivikasi, termasuk dikriminalisasi melalui pelbagai aturan, baik yang berdasarkan agama maupun peraturan yang dikontrol negara seperti UU Pornografi dan perda-perda syariah yang marak sekarang ini. Otonomi perempuan atas tubuhnya dirampas oleh nilai yang tidak pernah mengindahkannya sebagai makhluk setara. Oleh karenanya, dengan rasa terancam dan terkungkung, perempuan bersikap pasif saja dalam mengalami kekerasan sebab dia tidak memiliki kemerdekaan atas tubuh, pikiran dan geraknya. Karena itu, perempuan tidak mampu menciptakan sejarah sebagai manusia sempurna karena nilai dirinya selalu dilekatkan pada tubuhnya.

Sejak lahir, perempuan dibebankan peran lebih sebagai penjaga moral, namun di lain sisi, publik tidak pernah mempercayai moralitas perempuan. Akibatnya, tubuh perempuan kerap dipantau oleh siapapun sepanjang hidupnya dan tubuh perempuan dijadikan indikator moralitas di masyarakat. Seperti kalau kita melihat film Pertaruhan, misalnya dalam bagian film Untuk Apa? tentang kasus khitan perempuan. Sejak awal diyakini dan dipercayai kalau perempuan tidak dikhitan maka perempuan itu akan liar dan nakal (Apa hubungannya coba??). Supaya perempuan tidak liar dan nakal, dia harus dikhitan. Karena itu salah satu bagian tubuh perempuan yang paling sentral, yaitu kelentit pada vagina, harus dipotong meski hanya secara simbolis maupun secara
betulan.” Bahkan di beberapa negara Islam, kelentit pada vagina perempuan dihilangkan. Padahal, dilihat dari sudut teologi, khitan pada perempuan hanyalah dianjurkan (sunnah), tapi dilihat dari sudut tradisi dan budaya yang sangat patriarkal khitan menjadi kewajiban. Sebetulnya, kalau dilihat secara medis khitan untuk perempuan tidak ada gunanya sama sekali, malah sangat berbahaya karena bisa menimbulkan infeksi dan mengakibatkan perempuan kehilangan, dan tidak akan pernah merasakan, kenikmatan berhubungan seks. Berbeda dengan khitan untuk laki-laki, secara medis pun itu disarankan dan secara teologis diwajibkan.

Begitu juga dalam bagian film Mengusahakan Cinta, diceritakan bagaimana seorang laki-laki yang sudah pernah beristri dan punya anak, masih mempersoalkan keperawanan calon istrinya. Padahal kalau pun calon istri ini kehilangan keperawanannya, kehilangan ini bukan karena dia telah melakukan sexual intercourse dengan laki-laki lain tapi karena kesehatannya. Kejadian seperti ini banyak terjadi. Karena soal keperawanan penting, tak heran bila kita melihat operasi
keperawanan” menjadi suatu bisnis yang marak. Di sini kita melihat bagaimana sebagian laki-laki masih menganggap keperawanan identik dengan moralitas perempuan meski perempuan itu secara moral dan tindakan sangat baik.

Masalah keperawanan sebagai sebuah indikator perempuan yang baik juga bisa kita lihat dalam film Nona Nyonya?. Pihak rumah sakit dan sebagian besar dokter kandungan yang semestinya netral, di film ini diperlihatkan, masih menganggap
anehbila seorang perempuan single mau di-papsmear (pemeriksaan dalam rahim). Papsmear gunanya untuk mengetahui kondisi kesehatan rahim. Anggapan aneh ini muncul karena publik umumnya menganggap bahwa pemeriksaan papsmear hanya diperuntukkan buat perempuan yang sudah bersuami. Sementara perempuan yang single, meski dia sudah melakukan hubungan seks atau karena penyakit keputihan atau alasan lainnya, akan dianggap aib, berdosa dan aneh jika meminta pelayanan papsmear, seakan-akan dia tidak punya hak untuk memeriksakan rahimnya. Akhirnya perempuan enggan memeriksakan alat reproduksinya padahal pemeriksaan tersebut sangat vital untuk kesehatan reproduksinya. Makanya tidak heran bila kita lihat dalam film ini, rumah sakit akan menanggapi secara negatif, minimal dengan menanyakan hal-hal macam-macam dan bahkan yang lebih ekstrim lagi didakwahi” oleh dokternya, jika seorang perempuan single meminta di-papsmear.

Kondisi perempuan dalam film Ragate Anak paling tragis dan ironis. Dalam film ini kita melihat bagaimana seorang perempuan hanya dihargai sepuluh ribu rupiah untuk tubuhnya. Padahal seorang perempuan melakukan pekerjaan menjual tubuh tersebut hanya untuk menghidupi keluarga dan bertahan hidup ketika pekerjaan lain sangat sulit didapat. Kita melihat di lapangan, perempuan tidak hanya tubuhnya tidak dihargai, bahkan mereka dieksploitisir dan dikerjain”oleh para lelaki yang menjadi kiwir dan calo yang mengompas” dan memanfaatkan mereka, baik raga mereka maupun materi yang mereka miliki. Para lelaki itu pun berkomplot dengan aparat untuk kelancaran usaha mereka. Semestinya aparat melindungi warganya, tapi malah kita melihat hal sebaliknya, yakni mereka mengkriminalisasi perempuan dan tidak memfasilitasi serta melindungi warga perempuan dalam menyediakan lapangan kerja kalau memang pekerjaan PSK dianggap tidak diperbolehkan dan memalukan. Setelah adanya film ini lokasi Bolo ditutup dan isinya” dibiarkan terlunta-lunta. Alasannya prostitusi di daerah ini tidak sesuai dengan syariat dan membuat aib warga Temanggung.

Menonton film Pertaruhan, kita seperti melihat
taman mini” persoalan perempuan di Indonesia. Harus diakui bahwa perempuan masih sangat jauh dari kondisi baik dalam mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan oleh negara lewat hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Perundang-undangan di Indonesia buat saya masih sangat bias atau pro laki-laki. Lihat saja perundang-undangan yang ada seperti UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Politik, UU Kesehatan, UU Pornografi dan lainnya. Saya kira, teman-teman PSHK lebih ahli dalam mengeksplorasi persoalan ini. Bahkan ada informasi terbaru bahwa akan ada RUU Perkawinan yang isinya melegalkan suami beristri empat (poligami). Belum lagi maraknya perda-perda syariat yang isinya mendomestikasi perempuan dan menutup peran mereka lewat kriminalisasi tubuh dengan cara menutup tubuh perempuan seluruhnya.

Fakta yang luput dan semestinya disadari oleh pembuat kebijakan adalah semestinya hukum
secara substansial mempertimbangkan prinsip kesetaraan dan keadilan bagi semua warga masyarakat. Hal ini merupakan suatu kewajiban dan bukannya berlindung di balik objektivitas dan netralitas. Alih-alih untuk melindungi perempuan, aturan-aturan yang ada seperti UU Pornografi, perda-perda syariah bahkan fatwa ulama yang keluar akhir-akhir ini tentang perempuan malah, sebaliknya, mengkriminalisasi perempuan.

Kenyataan ini menjadi tantangan buat kita semua untuk bekerja lebih baik dan lebih keras lagi untuk kesetaraan dan keadilan buat perempuan. Kalangan civil society harus berusaha keras dengan melakukan konsolidasi dan kerja sama untuk terus menerus memberi masukan dan pressure kepada pembuat kebijakan seperti DPR dan pemerintah agar bisa merumuskan UU dan kebijakan yang pro perempuan. Hal ini harus bisa terjadi, sebab Indonesia bukanlah negara agama (Islam), tidak seperti negara-negara Islam di Saudi Arabia yang karena alasan-alasan agama dan kebudayaan memang memperlakukan kaum perempuan sebagai warganegara rendahan.