Tuesday, December 8, 2009

Yudistira Menolak Masuk Surga

Author: Peter Suwarno
Pengajar di Arizona State University
, USA

Sejak saya belajar public speaking dulu, saya senang mendengarkan khotbah-khotbah dan pidato keagamaan dari yang jenaka sampai yang serius dan dari yang menghibur sampai yang mengancam. Orang biasanya senang bisa dibuat tertawa terpingkal-pingkal oleh sebuah khotbah; bahkan banyak pengkhotbah memang sengaja mempersiapkan berbagai lelucon untuk khotbahnya dan ini jenis khotbah yang sangat saya gemari. Namun banyak juga khotbah yang bikin merinding, terutama yang menceritakan hukuman yang dahsyat yang akan menimpa orang-orang jahat dan berdosa. Ini mengkhawatirkan, karena definisi siapa yang masuk surga atau masuk neraka itu tidak jelas, subjektif, sektarian,dan sering membingungkan.

Lebih membingungkan lagi kalau orang masuk ke tempat ibadah agama yang berbeda-beda. Kalau masuk ke masjid, yang sering diidentifikasi di situ sebagai kalangan yang akan masuk neraka itu bukan hanya para penjahat, tetapi juga kaum kafir pengikut aliran sesat, yang belum tentu jahat. Dan sering tidak jelas siapa yang dianggap kafir; banyak yang mengatakan yang tidak Islam itu pasti kafir. Di banyak gereja Kristen keadaannya lebih parah lagi: banyak pengkhotbah di situ yakin dan merasa pasti bahwa kalau orang tidak percaya Yesus sebagai Tuhan, orang itu pasti tidak selamat, dalam arti pasti masuk neraka.


Bahkan ada pengkhotbah yang menggambarkan neraka secara grafis, misalnya bagaimana para pendosa berat itu akan menderita siksaan bara api yang luar biasa panasnya, hampir seperti menunjukkan kekesalan orang saleh yang dituangkan dalam penggambaran tentang neraka. Kalau saya amati, ternyata memang banyak pengikut agama yang menikmati gambaran seperti itu. Mungkin karena kepuasan melihat siksaan itu merupakan luapan kemarahan mereka atas para pendosa berat yang masih menikmati hidup enak, sementara mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghukum pendosa di dunia ini. Mungkin juga karena mereka merasa sudah menjadi hamba Allah yang taat dan merasa harus diganjar dan harus dibedakan dari mereka yang tidak taat yang harus dihukum.


Kesan saya, sebagian besar umat beragama, karena begitu kuat imannya, sudah yakin tahu siapa-siapa yang pasti akan masuk neraka. Selain kafir, non-believer, atau orang yang “belum lahir kembali”, yang sering diidentifikasi sebagai calon penghuni neraka adalah para pelacur, pemabuk, penjudi, koruptor, pembunuh, pencuri, penipu, rentenir, homoseksual, pengikut aliran sesat, bahkan perempuan yang suka mempercantik diri. Lebih dari itu, dari obrolan saya dengan keponakan-keponakan saya yang masih kecil pun, saya sadar sedari anak-anak, orang sudah tahu siapa yang bakal masuk neraka dan yang bakal masuk surga. Seorang keponakan saya yang melihat serombongan orang tengah berjalan menuju suatu tempat ibadah tertentu berkata: “Wah calon penghuni neraka semua orang itu.” Ternyata dari kecil kita sudah di-exposed bukan hanya pada ajaran agama yang cenderung subjektif dan sektarian, tetapi juga untuk menghakimi siapa siapa yang bakal masuk neraka, seakan orangtua, pengkhotbah dan guru agama lebih tahu daripada Tuhan.


Kenapa pengkhotbah, guru agama, bahkan orangtua begitu sering dan senang mengidentifikasi mereka yang dianggap pasti akan masuk neraka? Kenapa pula kita senang melihat gambaran orang yang disiksa di neraka? Bukankah ajaran seperti ini yang menambah kebencian pada orang lain (meskipun orang lain tersebut berdosa)? Bukankah ini hanya akan menambah konflik dan perpecahan?
Sebelum mencoba menjawab pertanyaan di atas, saya ingin bercerita tentang kakak saya di Lampung yang merencanakan untuk naik haji tahun depan, karena memang dananya sudah ada untuk itu. Mendengar rencana itu, saya mengusulkan agar istrinya diajak sekalian, toh dananya cukup. Kakak saya menolak; alasannya satu saja dulu, dan biasanya memang suami dulu, istri belakangan. Diskusi kami berlanjut dari masalah ganjaran menunaikan ibadah haji sampai ke masalah persamaan gender, dan diskusi kami terhenti karena saya bertanya, bagaimana kalau kakak saya masuk surga sedang istrinya tidak. Relakah kita masuk surga sedangkan istri dan saudara-saudara kita masuk neraka?

Yudistira,
sang kesatria berhati bening yang menolak masuk surga

Waktu memikirkan pertanyaan di atas, saya teringat seorang tokoh, yang menurut saya mirip seorang nabi, yaitu Yudistira. Yudistira (Puntodewo), putra sulung Prabu Pandu dan Dewi Kunti, adalah seorang figur menarik dari cerita pewayangan yang didasarkan pada kisah Mahabarata; seorang tokoh panutan yang bersih dari dosa, dan dibedakan dari keempat saudaranya (kelimanya disebut Pandawa), karena keempatnya berdosa berat. Oleh karena itu di akhirat, Yudistira ditawari masuk ke surga, sedangkan empat adiknya harus masuk ke neraka. Yang menarik adalah Yudistira menolak masuk surga kecuali jika pertama anjingnya juga ikut masuk surga dan kedua adik-adiknya juga masuk surga. Karena adik-adiknya tidak boleh ke surga, maka Yudistira pilih tinggal dengan adik-adiknya di neraka.
Setahu saya tidak ada agama yang memberikan ajaran seperti cerita Yudistira. Dan saya kira itu adalah ajaran yang luhur, sangat manusiawi, dan sangat beradab. Yaitu ajaran tentang ketidakrelaan seseorang jika saudaranya masuk neraka, dan ketidakrelaan menikmati kebahagiaan surga sendirian sambil melihat saudara-saudaranya disiksa di neraka. Lebih baik ikut menderita bersama dengan saudara dan teman-teman di neraka daripada di surga sendirian.

Memikirkan cerita Yudistira membuat saya berpendapat bahwa ajaran yang memberikan kepuasan pada para pengikut agama dengan gambaran siksaan orang-orang yang berdosa di neraka adalah ajaran agama yang tidak baik. Dampaknya bukan hanya bisa membuat pengikut agama apapun jadi gemas dan ingin menghukum para pendosa sekarang juga, tapi juga menumbuhkan rasa benci, konflik, dan perpecahan; atau setidaknya tidak mengajarkan rasa kemanusiaan yang lebih luhur yaitu mengasihi orang lain yang dianggap berdosa sekalipun. Berbahagia karena orang lain disiksa, apalagi bila orang lain yang disiksa tersebut tidak secara langsung menyalahi kita atau bila orang lain tersebut beragama dan berkeyakinan lain, adalah sikap dan kebahagiaan yang jahat. Ajaran agama sebaiknya tidak mengajarkan orang untuk mementingkan diri sendiri, kelompok sendiri, surga sendiri, dan rasa enak sendiri. Saya yakin ajaran mementingkan surga sendiri inilah yang membuat sebuah bangsa tidak berhasil memperkokoh kesatuan dan persatuannya, karena akan semakin banyak orang malah berbahagia melihat penderitaan orang atau kelompok lain meskipun sama-sama warganegara.


Sayang ajaran agama yang menggambarkan penyiksaan pendosa dan orang yang berbeda dengan kita sudah mendarah daging dan sulit diubah; hal ini bisa kita simak bukan hanya dari khotbah-khotbah yang berapi-api, tapi juga misalnya dari banyaknya film-film horror dan sinetron-sinetron kuburan. Rupanya penayangan penyiksaan akhir hayat orang-orang yang dianggap berdosa berat itu banyak memunculkan kenikmatan bagi sebagian besar pendengar khotbah dan penonton sinetron.
Harus diakui bahwa khotbah dan tayangan tentang siksa neraka tersebut juga memunculkan kekhawatiran bagi masyarakat, jangan-jangan mereka juga akan disiksa dan tidak masuk surga. Dengan kesadaran yang tinggi bahwa kita semua pasti meninggal dan kita pasti akan ke akhirat, siapa yang tidak ingin masuk surga? Bahkan banyak juga orang yang yakin bahwa hidup di dunia ini hanya sementara sebagai persiapan masuk surga, sehingga memang penting sekali bahwa waktu, tenaga dan biaya harus diarahkan demi persiapan ke akhirat tersebut. Bahkan segala tindakan dan perbuatan baik kita harus berfokus pada satu motif yaitu demi masuk surga.

Anak laki-laki saya memang agak nakal, sering merusak (misalnya, video player dimasukkan banyak koin, pohon tak bersalah apa-apa digergaji hingga terpotong, komputer dirusak, kamarnya berantakan dengan mainan, dll.), dan karena sering dimarahi dia merasa sangat bersalah. Suatu ketika dia pernah mengatakan: “I know you will all go to heaven, I will go to hell.” Malamnya saya bermimpi ingin seperti Yudistira dan berpikir untuk mengatakan pada Tuhan bahwa saya tidak ingin masuk ke surga kalau anak saya dan istri saya dan teman-teman saya tidak ikut ke surga, apalagi kalau saya harus melihat penyiksaan orang-orang lain di neraka. Saya bermimpi bahwa rasa kemanusiaan saya di dunia sekarang ini mengatakan bahwa agama yang luhur adalah agama yang konsep kenikmatan surganya tidak melibatkan kebahagiaan yang muncul ketika menonton orang lain (berdosa sekalipun) disiksa di neraka. Saya juga bermimpi mempertanyakan dan tidak bisa menerima bahwa hanya sedikit sekali orang yang akan masuk surga, sementara sebagian besar akan masuk ke neraka. Saya yakin konsep beragama yang menerapkan pandangan Yudistira bisa membantu membentuk empati, toleransi dan persatuan, apalagi di negara majemuk seperti Indonesia.

Yang berbahaya adalah ketakutan akan neraka ini sering dieksploitasi para pemimpin agama dan kelompok religius tertentu di Indonesia untuk menegakkan hukum-hukum agama dalam masyarakat. Masyarakat yang takut akan neraka ini tidak berani untuk menentang hukum-hukum atau dalil-dalil agama walaupun sadar hukum dan dalil tersebut hanya berdasar satu agama tertentu yang bisa subjektif, bisa merugikan umat beragama lain, dipilah-pilah hanya untuk menguntungkan para penguasa negeri, serta, yang penting lagi, bisa bertentangan dengan hati nurani dan rasa kemanusiaan mereka. Semakin banyak orang takut akan neraka dan takut mengkritik hukum agama, semakin besar kemungkinan banyak hukum agama ditegakkan dalam masyarakat dan, kalau hal ini terus berlanjut, teokrasi bisa menjadi kenyataan.