“Menkominfo tampaknya perlu mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai batasan-batasan negara untuk tidak mencampuri ranah pribadi individu. Dia tidak dapat membedakan mana urusan publik dan mana urusan privat. Soal pribadi seperti kasus Ariel-Luna Maya-Cut Tari dieksploitasi oleh negara menjadi soal publik, menunggangi fundamentalisme untuk kepentingan politik. Sementara soal negara seperti penggelapan pajak dan kartel direduksi menjadi soal personal elit politik.”
Author: Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan
dan Pengajar tetap di Departemen Filsafat, FIB,
Universitas Indonesia
MEDIA
Limabelas tahun yang lalu ketika Yayasan Jurnal Perempuan menggagas Jurnal Perempuan sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia, banyak kalangan umum bingung menyikapi apa sebenarnya “binatang” ini? Seingat saya ada dua respons yang cukup dominan; yang pertama, mereka menganggap Jurnal Perempuan pasti majalah tentang masak-memasak sehingga penawaran toko buku adalah menempatkan jurnal ini di tempat rak-rak topik memasak. Respons kedua, terutama datang dari lapak majalah di kawasan Senin, adalah anggapan bahwa majalah ini pasti memuat pose-pose perempuan yang “syur”, si penjaja majalah menebak sambil nyengir. Cukup melelahkan memang menjelaskan kepada mereka apa itu Jurnal Perempuan, apalagi belum ada bentuk jurnalnya karena hanya baru sebatas ide. Ide ini hendak diuji coba di lapangan penjualan majalah-majalah. Tapi gagal total. Karena, sulit untuk menjelaskan majalah feminisme kalau spektrum yang ditawarkan adalah antara masak-memasak hingga hal yang “syur”. Begitulah cara berpikir dikotomik yang ada di masyarakat. Perempuan didefinisikan masuk dalam dua spektrum tersebut. Tidak ada ruang lain bagi perempuan.