Saturday, October 17, 2009

Mendirikan Teokrasi di Abad XXI: Sebuah Kesalahan Hermeneutis

Wahyu ilahi kerap menghambat pemikiran kritis

Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen Liberal

(Tulisan ini juga sudah terbit di Koran Tempo 04 Desember 2009, hlm A11)

Saya sungguh heran melihat kenyataan sekarang ini bahwa umat bermacam agama di dunia dewasa ini, di bawah komando para pemimpin rohani mereka, berhasrat kuat untuk mengubah negara mereka yang semula bukan sebuah negara teokratis menjadi sebuah negara teokratis! Kenyataan ini bukan saja dapat kita lihat sedang terjadi belakangan ini di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi juga di negara supermodern adidaya yang namanya Amerika Serikat, yang bagian terbesar penduduknya tentu saja masih akan mengaku beragama Kristen, apapun bentuk dan isi kekristenan yang mereka akui itu.


Di Indonesia, negara yang saya paling kenal dari antara semua negara lainnya di dunia masa kini, berbagai kalangan “Muslim Syariah” sedang bahu-membahu membangun berbagai bentuk kerjasama jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan negeri ini suatu negara teokratis Islami, negeri yang UUD-nya akan berupa Syariah Islam, atau berupa hukum-hukum dan ajaran-ajaran keagamaan yang ditarik langsung dari Alquran dan hadis Nabi. Di Amerika Serikat, kalangan Kristen injili fundamentalis, atau yang juga dikenal sebagai kalangan “Kristen sayap kanan”, yang jumlahnya minimal berkisar antara 100 sampai 150 juta orang, juga sedang berjuang jangka menengah dan jangka panjang untuk menjadikan Alkitab, atau lebih spesifik lagi, Sepuluh Perintah Musa, The Ten Commandments, sebagai UUD negara besar ini.

Yang saya mau ingatkan pada kesempatan ini bukanlah bahwa usaha untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat sebuah negara teokratis sesungguhnya adalah suatu pengkhianatan terhadap visi-visi besar para national founding fathers negara-negara ini, yang telah berhasil mempersatukan dan mengikat negeri mereka masing-masing dalam satu ideologi kebangsaan dan satu UUD yang tidak terikat pada satu agama manapun, dan yang karenanya diterima semua kalangan.

Yang sesungguhnya saya mau ingatkan adalah bahwa usaha-usaha keras untuk menjadikan Indonesia atau Amerika Serikat suatu negara teokratis di abad XXI ini muncul terutama karena telah terjadi suatu kesalahan mendasar dan berbahaya dalam pengajaran tentang bagaimana memahami, menafsirkan dan menerapkan Kitab Suci, suatu pengajaran keliru yang telah diberikan atau diindoktrinasikan sejak masa kanak-kanak setiap orang beragama. Sesungguhnya, pendirian sebuah teokrasi pada zaman modern ini adalah suatu kesalahan hermeneutis, yang dibuat hanya oleh kalangan literalis skripturalis.

Literalis skripturalis
Kalangan literalis skripturalis memandang Kitab Suci atau tradisi-tradisi kuno pra-modern yang berbasis Kitab Suci sebagai pedoman satu-satunya bagi manajemen semua aspek kehidupan masyarakat, khususnya bagi manajemen kehidupan politik masyarakat. Ketika Kitab Suci dipakai sebagai pedoman satu-satunya, kalangan ini mengikuti saja apa yang mentah-mentah tertulis di dalamnya, whatever the cost. Karena bagi kalangan literalis skripturalis segala “firman Allah” yang sudah ditulis dalam Kitab Suci pasti tidak bisa salah, selalu relevan dan kekal adanya, mereka tidak mau mengakui bahwa antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI terbentang sebuah jurang sejarah (atau “jurang waktu”, “jurang kronologis”) dan sebuah jurang kebudayaan yang lebar dan dalam, yang keduanya mustahil bisa diseberangi begitu saja oleh siapapun yang hidup dalam zaman modern.


Dengan adanya dua kesenjangan ini, pemindahan begitu saja dunia kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI akan menimbulkan suatu anakronisme yang berbahaya, berupa suatu clash, suatu benturan keras dan membinasakan, antar dua kebudayaan: kebudayaan kuno pramodern yang sangat asing (“an alien culture”) dan kebudayaan modern yang sudah biasa dijalani (“a familiar culture”), kebudayaan kuno pramodern yang antidemokrasi dan kebudayaan modern yang pro-demokrasi, kebudayaan kuno pramodern yang tidak menghargai HAM dan kesetaraan gender dan kebudayaan modern yang membela HAM dan memberlakukan kesetaraan gender, kebudayaan kuno pramodern yang dengan keras memberlakukan hukuman potong tangan, pemecutan dan perajaman dan kebudayaan modern yang melarang keras dan sudah meniadakan hukuman potong tangan, pemecutan dan perajaman, dan seterusnya. “Clash of civilizations” yang ditimbulkan oleh kalangan literalis skripturalis ini menunjukkan bahwa mereka telah melakukan suatu kesalahan hermeneutis yang sangat serius dan fatal! Benturan dua kebudayaan atau dua peradaban ini, antara yang kuno pramodern dan yang modern, terjadi karena kalangan literalis skripturalis, sesuai dengan posisi mereka, tidak menjalankan suatu hermeneutik yang critical historical, suatu hermeneutik historis kritis.

Historis kritis
Nah, orang-orang yang memakai pendekatan critical historical terhadap Kitab Suci tidak akan pernah menjadi orang-orang literalis skripturalis. Mereka tidak akan pernah dengan gegabah menyatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya pedoman bagi penataan seluruh kehidupan manusia, bahwa apapun yang tertulis dalam Kitab Suci harus mentah-mentah dan begitu saja diikuti dan dilaksanakan, apapun taruhannya, bahwa apapun yang ditulis dalam Kitab Suci akan selalu relevan dan berlaku abadi sampai dunia kiamat. Kalangan ini sungguh-sungguh mengakui dan menerima adanya kesenjangan sejarah dan kesenjangan kebudayaan antara dunia kuno pramodern Kitab Suci dan dunia modern abad XXI. Karena itu, mereka tidak akan pernah mau memindahkan begitu saja dunia kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI. Karena itu, mereka juga akan dapat dengan lega dan rela dan dengan penuh tanggungjawab menyatakan ada banyak pandangan Kitab Suci yang sudah tidak relevan lagi bagi kehidupan modern abad XXI. Karena itu, mereka sungguh-sungguh menghindari anakronisme ketika mereka mau memahami Kitab Suci dalam suatu konteks kehidupan modern abad XXI; dan mereka juga tidak mau menimbulkan suatu benturan keras antar dua peradaban atau dua kebudayaan: kebudayaan dan peradaban kuno pramodern Kitab Suci dan kebudayaan dan peradaban modern abad XXI.


Kalangan yang memakai pendekatan historis kritis dalam memahami Kitab Suci memandang bahwa setiap teks Kitab Suci tidak muncul begitu saja seolah diturunkan langsung sebagai wahyu dari surga, dari Allah dan para malaikat-Nya. Ketika mau memahami sebuah teks Kitab Suci, mereka mempertimbangkan dengan sangat teliti dan seksama segala faktor insani yang berperan dalam melahirkan teks itu. Keseksamaan dan ketelitian dalam mempertimbangkan semua faktor insani inilah yang disebut sebagai criticism (berasal dari kata Yunani krinein, Inggris-nya “to judge”, yang artinya “memutuskan dan menjatuhkan penilaian berdasarkan sekian pertimbangan yang matang dan multidimensional”).

Seorang yang memakai pendekatan kritis memandang bahwa setiap teks Kitab Suci lahir atau ditulis dengan terikat pada konteks sejarah masing-masing pada zaman dulu. Karena itu, bagi mereka, untuk memahami suatu teks Kitab Suci dengan benar dan dengan bertanggungjawab teks ini harus pertama-tama ditempatkan dalam konteks sejarah kelahirannya dulu, di dunia kuno pramodern. Karena ditulis di dalam suatu konteks sejarah masa lampau dan terikat kuat pada konteks sejarah ini, setiap teks Kitab Suci tidak bisa begitu saja dipindahkan dan diberlakukan apa adanya di dalam suatu konteks kehidupan modern masa kini yang sudah sangat jauh berbeda dari konteks kehidupan kuno pramodern.
Ihwal apakah suatu teks Kitab Suci relevan atau sudah tidak relevan lagi dalam suatu kehidupan modern, dengan demikian, harus dipertimbangkan dengan sangat teliti dan kritis. Jika langkah-langkah critical dan historical ini dilakukan si penafsir pada masa kini, berarti si penafsir ini melakukan penafsiran sebuah teks Kitab Suci secara historis kritis.

Pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci, yang disertai dengan pengenalan mendalam terhadap kehidupan manusia modern abad XXI dan terhadap pengalaman baik dan pengalaman buruk yang telah dijalani manusia dalam sejarah, akan membuat setiap orang beragama tidak mau begitu saja memindahkan pandangan-pandangan kuno pramodern Kitab Suci ke dunia modern abad XXI.


Karena itu, pantaslah, kalangan cerdik pandai yang memakai pendekatan historis kritis terhadap Kitab Suci dan yang memiliki kesadaran kritis dalam menimbang-nimbang segi baik dan segi buruk masa lampau manusia, akan berdiri di garis terdepan dalam menolak usaha-usaha mengubah Indonesia atau Amerika Serikat menjadi negara teokratis, yang mau dibangun kalangan literalis skripturalis politis di atas fondasi-fondasi ajaran-ajaran Kitab Suci dan hukum-hukum keagamaan yang dibuat di zaman kuno pramodern yang sudah sangat asing bagi orang yang hidup di zaman modern abad XXI.

Thursday, October 8, 2009

Pasangan Mempelai Babi dan Kambing

Gambar di atas sangat menarik perhatian saya. Saya dapat dari Internet. Seekor kambing dan seekor babi duduk bersebelahan dan bergandengan tangan, dengan sebuah rangkaian bunga putih dan biru dan berdaun hijau di tempatkan di depan sang kambing. Sang babi tampak memakai setelan jas hitam, berdasi necis, dan memakai kemeja warna kuning gading. Sang kambing tampak memakai sehelai pakaian perempuan juga warna kuning gading, dan pada bagian lehernya melilit seuntai kalung bola-bola plastik kecil warna bening. Kepala sang kambing dihiasi dengan aksesoris warna-warni.

Wah, sudah pasti deeeh ... sang kambing adalah mempelai perempuan, dan sang babi mempelai pria! Keduanya sedang dikawinkan. Luar biasa! Duduk di atas apa mereka berdua? Oooooh... rupanya kedua hewan pasangan suami istri ini duduk akur di atas sebuah kueh tart yang ditawarkan untuk dibeli oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang akan menikah! Mereka, sang kambing dan sang babi ini, tidak tahu bahwa di negeri yang namanya Indonesia, kambing dan babi sedang dibuat bertarung
satu sama lain oleh MUI. Yang satu mencaci, “Babi, Lu!”; yang dicaci membalas sengit, “Kambing, Lu!” Waaaah, runyam deh!

RUU Halal di Negara “Bukan-bukan”

Author: Victor Silaen
Pengajar, peneliti, pengamat sospol

Saya menerima info bahwa Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH atau disingkat RUU Halal) tidak jadi disahkan oleh DPR RI dalam waktu dekat ini. Kalau tidak jadi disahkan, kemungkinannya hanya dua: 1) ditunda, dalam arti akan bikin rencana berikutnya; 2) dilupakan dan akhirnya berlalu begitu saja.
Kemungkinan mana yang paling mendekati? Rasanya yang pertama. Sebab, ini menyangkut dua hal: 1) proyek politik yang di baliknya tentu ada duit; 2) kepentingan politik kekuatan-kekuatan politik yang pro-syariah.

Sejak lama RUU yang terdiri dari 12 Bab, 44 pasal dan 75 ayat ini menuai kontroversi lantaran pemerintah dianggap tidak selayaknya mengeluarkan sertifikasi halal. Seyogianya yang mengeluarkan sertifikasi halal itu adalah lembaga keumatan atau keulamaan seperti Majelis Umat Islam (MUI). Namun, itu pun harus ditambahi beberapa catatan ini: 1) lembaga tersebut tidak boleh memonopoli semua urusan yang terkait dengan sertifikasi; 2) lembaga tersebut harus diakreditasi oleh pemerintah dan diawasi secara ketat dalam kinerjanya.


Terlepas dari perdebatan soal pemerintah atau MUI yang layak mengeluarkan sertifikasi halal itu, bagaimana sesungguhnya kita patut menyikapi RUU Halal ini? Pertama, RUU ini diskriminatif. Sebab, substansinya meniscayakan adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar keyakinan agamanya. Maksudnya, yang mengenal konsep “halal” dan “tidak halal” (haram) yang terkait dengan segala sesuatu yang dikonsumsi adalah umat Islam. Jadi, mengapa hanya untuk kepentingan satu umat beragama, negara ini harus repot-repot membuat peraturan berskala nasional? Lantas bagaimana dengan umat agama-agama lainnya? “Tenang saja, ini hanya akan diberlakukan bagi kaum muslimin dan muslimat.” Mungkin akan ada yang berdalih begitu. Aneh sekali, mengapa ada sebuah peraturan yang keberlakuannya dibeda-bedakan berdasarkan keyakinan agama seseorang? Bukankah jelas ini diskriminatif? Tidakkah kebijakan diskriminatif seperti ini rawan bahaya segregasi-separasi, yang bukan tidak mungkin berujung disintegrasi pada gilirannya kelak?


Kedua, negara ini adalah negara hukum (rechstaat) dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika (“beranekaragam tetapi satu jua”). Sebagai negara yang bukan teokratis, maka sesungguhnya negara tidak dapat dibenarkan untuk mengintervensi ranah atau urusan agama dan keberagamaan warga negaranya. Kalaupun negara mengatur bidang ini, mestinya itu hanya untuk kepentingan administratif dan statistik. Di luar itu sama sekali tidak boleh. Sedangkan sebagai negara yang mengakui keanekaragaman, itu berarti negara ini tidak mengenal kebijakan penggolong-golongan warganya menjadi “yang mayoritas” dan “yang minoritas” berdasarkan latar belakang SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Dengan membuat RUU Halal, maka negara ini seakan turut merekayasa agar warga negara Indonesia kelak terkotak-kotak menjadi “yang mayoritas” dan “yang minoritas”.


Sungguh, ini patut menjadi suatu keprihatinan kita semua. Sejak dulu negara ini hobi mengintervensi kehidupan beragama warga negaranya, yang sebenarnya merupakan wilayah privat setiap individu. Kalau benar Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), bukankah harus diakui bahwa secara kodrati setiap manusia adalah individu yang bebas: untuk mengarahkan hidupnya sendiri, untuk menentukan pilihannya atas apa pun jika itu dapat membuatnya bahagia, dan untuk mengekspresikan hak-hak dasariahnya sejauh tidak merenggut kebebasan yang lain? Berkeyakinan dan beragama jelas merupakan salah satu hak-hak dasariah itu. Tak ada institusi apa pun yang boleh mengintervensinya.


Namun, itulah uniknya Indonesia, yang oleh teolog Eka Darmaputera (1987) disebut sebagai negara “in-between”: bukan negara agama, bukan pula negara sekuler (kalau diperas menjadi “bukan ini bukan itu”). Di antara kedua negasi itu, agama diberi tempat yang sangat penting. Sehingga, jangan heran jika agama dan aneka persoalan yang terkait dengannya tak pernah luput dari pengelolaan bahkan pengendalian negara. Antropolog Clifford Geertz (1974) pernah mengatakan hal itu berdasarkan pengamatannya. “Kementerian Agama, yang dikepalai oleh seorang anggota penuh dari Kabinet, berpusat di Jakarta, tapi memiliki kantor-kantor yang tersebar luas di seluruh negeri.” Adanya kementerian agama itu dapat dijadikan bukti untuk menyimpulkan Indonesia sebagai negara yang menolak keterpisahan mutlak antara yang profan (negara) dan yang sakral (agama). Itu sebab­nya, melalui kementerian agama pula negara dapat secara aktif melibatkan diri dan bertanggung jawab terhadap keamanan dan perkembangan setiap agama “yang diakui”-nya.


Ketiga, semua produk hukum di negara hukum ini haruslah betul-betul berlandaskan teori hukum sebagai “a tool of social engineering” (Pound, 1965). Teori hukum ini bertolak dari asumsi bahwa hukum harus menjadi dasar untuk mengadakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Pertanyaannya, benarkah semua produk hukum di Indonesia berorientasi ke arah yang lebih baik? Ataukah, dalam beberapa produk hukum, kepentingan politik yang sempit dan primordialistik picik membayang-bayangi di dalamnya? Bagaimana dengan RUU Halal yang kental nuansa agama Islamnya itu? Dalam pasal 6 ayat 1 RUU itu, misalnya, tertulis begini: “Bahan baku yang berasal dari hewan dihalalkan kecuali hewan yang diharamkan berdasarkan syariah”. Siapa pun tahu, hanya Islam yang mengenal istilah “syariah” itu.


Keempat, salah satu butir dalam RUU Halal pasal 8 tentang proses produk halal dengan bahan baku produk hewan, berbunyi: “Hewan yang digunakan sebagai bahan baku produk halal harus disembelih dengan menyebut lafal ‘bismillahhirrahmanirrahim’ dan tuntutan penyembelihan sesuai dengan syariah serta memenuhi kaidah kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Pertanyaannya, bagaimana kita tahu bahwa daging hewan yang dijual di pasaran sudah disembelih dengan mengucapkan lafal tersebut? Adakah pihak yang diberi tugas khusus untuk itu? Kalau ada, maka dengan sendirinya harus ada ongkos ekstra untuk petugas khusus tersebut. Terkait inilah maka akan terjadi inefisiensi atau pemborosan. Belum lagi ongkos untuk mendapatkan sertifikat halal atas sebuah produk yang hendak dijual. Alhasil, banyak produk yang sebelumnya terjangkau harganya akan menjadi mahal. Akibatnya, masyarakat tak mampu membeli, produsen pun merugi. Tak heran jika protes atas RUU ini gencar disuarakan oleh Kadin (Kamar Dagang Indonesia) maupun pihak pengusaha. Ada sinyalemen, untuk mendapatkan sertifikasi halal untuk suatu produk diperlukan biaya jutaan rupiah. Belum lagi proses dan prosedurnya yang lama, juga ruwet. Tidakkah ini dapat menjadi kendala bagi pertumbuhan usaha?

Akhirnya kita bertanya: Apa jadinya bangsa ini jika peraturan soal halal dan soal tidak halal ini disahkan? Di Papua, ada suku-suku tertentu yang terbiasa menggunakan lemak babi untuk mengusir nyamuk. Salahkah mereka? Di Toraja, di Tapanuli, di Manado, pun di daerah-daerah lainnya, masyarakat selalu menyembelih babi untuk dikonsumsi dalam acara-acara atau pesta-pesta adat. Salahkah mereka?

Mau Makan atau Pakai Produk Saja Kok Musti Diatur-atur?

Author: Limantina Sihaloho
Pemikir Kristen progresif


Tidak relevan

UU Jaminan Produk Halal sedang dibahas di Senayan? Apa gunanya? Sudah sejak dahulu kala manusia makan, minum dan mempergunakan berbagai macam produk tanpa harus repot dengan sebuah undang-undang untuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dimakan. Ketentuan-ketentuan soal haram dan halal yang ada dalam agama tertentu tidak perlu diseret-seret atau dipaksakan menjadi ketentuan yang musti diundangkan dan berlaku apalagi kalau penduduk suatu negeri plural dalam hal keberagamaan. Pula, dengan sendirinya, selama jutaan tahun, manusia sudah tahu apa yang pantas dan tidak pantas untuk dimakan, untuk dikomsumsi atau dipakai. Untuk apa diatur-atur dalam sebuah undang-undang? Mau makan atau pakai produk saja kok harus ada undang-undangnya? Apa maksudnya kalau bukan untuk menghabis-habiskan uang atau bagi-bagi proyek saja di Jakarta situ?

Yang saya prihatinkan dalam proses pembahasan UU JPH antara lain: pemborosan dana oleh para wakil rakyat itu di Senayan. Jika undang-undang semacam ini menjadi undang-undang yang berlaku di Indonesia, dalam pelaksanaannya akan memerlukan dana yang cukup besar. Kan tragis, kalau sebuah negara lalu harus memboroskan sejumlah besar dana hanya untuk membuat label halal (atau label haram) pada makanan dan atau produk. Ini menurut saya kurang kerjaan dan mengada-ngada.

UU PJH tidak bermanfaat bagi mayoritas rakyat Indonesia. Rakyat bisa mengatur dirinya apalagi kalau hanya soal makanan dan produk. Di Sumatra Utara misalnya, yang penduduknya juga heterogen dalam hal keberagamaan, sejak dulu sudah ada aturan tidak tertulis yang mereka biasa praktekkan sampai hari ini. Misal: kalau ada pesta, akan ada makanan khusus bagi yang tidak makan daging yang di kalangan umat Islam atau Parmalim tidak boleh untuk dimakan. Suku-suku Batak yang ada di Sumatra Utara memeluk paling tidak tiga agama: Kristen, Islam dan Ugamo Malim.

Kaum Muslim mirip dengan Parmalim (penganut Ugamo Malim); mereka tidak makan daging babi, anjing, ular, etc. Orang Kristen sendiripun, tidak semua boleh makan daging babi atau anjing atau ular atau lele. Sebagian saudara/i saya yang Kristen tidak makan daging babi atau anjing atau darah hewan; mereka Kristen (Advent). Jadi salah kalau ada anggapan Kristen itu homogen, artinya boleh makan hewan apa saja.

Yang saya tolak dari rencana pemberlakukan UU JPH itu bukan soal halal-haram-nya tapi soal tidak relevannya undang-undang macam itu bagi rakyat Indonesia. Undang-undang macam itu hanya relevan bagi segelintir orang pencari-untung yang mengambil kesempatan dalam kesempitan: para anggota dewan dan para pelaku bisnis halal-haram. Itu pasti pekerjaan "besar" dan "basah" apalagi kalau musti melabeli semua jenis produk impor yang masuk ke Indonesia. Masyarakat justru rugi sebab mereka juga yang harus membiayai semua itu —mulai dari proses pembahasannya di Senayan sampai pada operasionalisasinya nanti kalau jadi diundangkan —lewat pajak yang harus mereka serahkan kepada negara.

Konteks masa kini: kerusakan lingkungan hidup

Saya juga tidak setuju dengan pihak-pihak yang melekat-kaku pada teks-teks kitab suci untuk mengetahui dan memutuskan apa yang halal dan yang haram terutama kalau kita bicara pada konteks masa kini. Di zaman Yesus atau Nabi Muhammad kan belum terjadi penggundulan hutan besar-besaran sebagaimana berlangsung dalam satu abad terakhir ini. Sebagian penggundulan hutan itu adalah demi perluasan peternakan sapi dan hewan lainnya untuk dimakan manusia. Chico Mendes, aktivis lingkungan di Brazil berakhir hidupnya di ujung senapan karena dia memperjuangkan agar hutan di Brazil tidak dilibas terus oleh para pemilik peternakan sapi yang terus-menerus memperluas wilayah peternakan mereka.

Degradasi lingkungan seperti di Brazil itu terjadi di banyak tempat termasuk di kampung halaman saya sendiri. Di bawah Gunung Simarjarunjung, di sebelah timur Danau Toba, ada peternakan babi paling besar di Asia Tenggara, PT Allegrindo Nusantara. PT ini mempergunakan air jernih dari mata-mata air yang ada di Simarjarunjung dengan gratis. Persoalan yang ditimbulkannya menjadi begitu kompleks dari segi sosial, ekonomi dan lingkungan. Di sisi barat PT Allegrindo ini ada Danau Toba yang indah dan terkenal itu yang justru belakangan ini semakin rentan karena berbagai macam proses perusakan lingkungan seperti penggundulan hutan di sekitar danau dan limbah yang masuk ke dalam danau. Pemandangan di daerah wisata seperti Parapat juga menjadi tidak-sedap dengan kehadiran PT Aquafarm Nusantara yang membudidayakan ikan nila secara besar-besaran. Sama seperti di PT Allegrindo Nusantara, penduduk lokal hanya menjadi buruh di PT Aquafarm ini. Yang dapat untung besar adalah pemilik modal yang adalah orang luar.

Pelet pakan ikan nila milik PT Aquafarm Nusantara di tengah-tengah Danau Toba menjadi salah satu penyebab polusi yang merusak danau dan keindahan serta mengancam masa depan generasi yang akan datang. (Foto oleh: Limantina Sihaloho).

Secara pribadi, saya akan mengatakan, “haram makan daging entah sapi atau babi”, "haram makan ikan yang dibudidayakan dengan cara merusak lingkungan", apalagi kalau daging atau ikan itu atau produk lainnya berasal dari sebuah proses ketidakadilan seperti yang antara lain sudah dijelaskan oleh GJ Aditjondro dalam tulisannya: Halal dan Haram: Berdasarkan Teks atau Konteks? Tentu saja saya tidak memaksa tidak makan daging dan atau ikan. Adalah bijak mengetahui bagaimana sejarah sepiring makanan yang ada di hadapan kita. Soal makan adalah pilihan merdeka setiap orang dan tak perlu diundang-undangkan. Belum pernah saya temukan orang yang makan agar dia sengsara tetapi sebaliknya. Yang perlu kita bangun adalah kesadaran dan pengetahuan bukan memproduksi semakin banyak undang-undang yang ternyata pun hanyalah undang-undang yang impoten.

Saya vegetarian dalam 12 tahun terakhir ini, tak makan daging dan ikan sama sekali. Yesus benar ketika mengatakan bahwa yang haram itu adalah apa yang keluar dari mulut bukan apa yang masuk ke dalam mulut tetapi saya tidak harus mengadopsi itu sebagai kebenaran mutlak dua ribu tahun kemudian sebab kalau begitu saya membutakan diri saya sendiri terhadap konteks di mana saya sedang hidup. Konteks pada zaman Yesus itu sendiri ketika itu bukan an sich soal makanan tapi soal prilaku. Seorang muridnya bernama Petrus memperoleh penglihatan: semacam karpet turun dari langit dan di dalamnya ada jenis-jenis hewan yang haram bagi Yahudi. Orang Kristen lalu salah kaprah dengan terutama hanya memakai peristiwa penglihatan itu sebagai sebuah pembenaran untuk bisa makan semua daging hewan. Bagi saya tidak begitu; ada konteks sebelumnya soal bagaimana musti memperlakukan orang non-Yahudi sebagai sesama yang setara. Jadi salah kalau hanya mempergunakan peristiwa itu untuk membenarkan pandangan bahwa semua hewan boleh dimakan. Itu namanya memanipulasi teks.

Salah satu tantangan paling serius belakangan ini adalah bagaimana berbagi secara adil berbagai sumber daya yang kita miliki termasuk sumber daya pangan. Di seluruh dunia termasuk di Indonesia semakin banyak yang kekurangan gizi dan tidak cukup makan. Ada sebagian orang yang kegemukan karena kelebihan makan tapi ada yang tinggal kerangka dan busung lapar karena tidak punya makanan. Lebih baik kita mengarahkan perhatian bersama terhadap bagaimana berbagi secara adil sumber-sumber yang ada daripada mengerjakan hal yang tidak begitu berguna seperti mengundangkan UU JPH.

Belum ada jaminan bahwa keadaan lingkungan kita akan semakin membaik, justru sebaliknya. Situasi ini akan memaksa semakin banyak manusia yang terancam kelaparan di seantero dunia. Justru haram membicarakan halal-haram makanan ketika semakin banyak orang justru tidak punya makanan atau teramcam kurang gizi dan kelaparan. Soal haram-halal itu hanya kerjaan orang yang kelebihan makanan, jadi mereka ada waktu untuk memilih-milih mana yang haram, mana yang halal menurut selera mereka dengan mengatasnamakan kitab suci. Yang haram bagi saya justru: wakil rakyat di Senayan itu atau siapa saja yang hidup dari uang rakyat dan pakai uang rakyat makan enak-enak dan bersisa-sisa pula itu, plus masih dapat uang gono-gini; sementara di berbagai tempat banyak dari antara rakyat di negeri ini yang masih kurang gizi, busung lapar dan makan hanya bisa sekali sehari.. ***

Sunday, October 4, 2009

Sebuah Telaah Tekstual atas RUU Jaminan Produk Halal

Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal

Tulisan ini memuat sebuah telaah tekstual atas RUU Jaminan Produk Halal (disingkat: RUU JPH) untuk memperlihatkan bahwa nilai-nilai hukum dasariah yang menjadi landasan RUU JPH ini adalah nilai-nilai hukum Islami dan untuk menemukan seberapa otoritatifnya RUU ini jika nanti sudah disahkan sebagai UU. Kita tahu, setelah nanti disepakati dan diterima DPR RI, RUU ini akan disahkan oleh Presiden RI dan diundangkan di Jakarta oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, serta dicatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ketika RUU ini sudah disahkan dan diundangkan sebagai UU, semua ketentuan di dalamnya tentu akan berlaku secara nasional, karena statusnya sebagai UU, bukan sebagai suatu peraturan daerah yang berlaku parokial atau provinsial.

Kalau orang membaca RUU JPH ini dengan teliti, maka dia pasti akan menemukan bahwa nilai-nilai hukum dasariah yang menjadi fondasi dasar RUU ini dan yang mau diundang-undangkan secara nasional ini tidaklah ditarik/berasal dari nilai-nilai sosio-kultural yang sudah terkristalisasi dalam perjalanan sejarah nasional Indonesia sebagai nilai-nilai sosio-kultural dan religius kebangsaan Indonesia yang berfungsi kohesif dan mempersatukan, seperti dapat ditemukan dalam nilai-nilai yang menjadi lima sila dalam Pancasila dan nilai-nilai nasionalisme dan internasionalisme yang tertuang dalam UUD 1945, khususnya pada bagian Preambule UUD ini.


Nilai-nilai hukum dasariah yang melandasi dan menjadi nafas kuat RUU ini jelas sekali adalah syariah Islam (Bab I, pasal 1, ayat 1, ayat 5, ayat 10; Bab II, pasal 3, ayat 1; pasal 6, ayat 1; Bab III, pasal 6, ayat 3; pasal 7; pasal 8, ayat 1; Bab IV, pasal 20, ayat 5; bagian Penjelasan I Umum RUU JPH; bagian Penjelasan pasal 6, ayat 2; bagian Penjelasan pasal 8, ayat 1) sebagaimana ditafsir dan dirumuskan oleh Majelis Ulama Indonesia (Bab I, pasal 1 ayat 10; Bab II, pasal 3, ayat 1; Bab III, pasal 7; Bab III, pasal 13, ayat 3; Bab IV, pasal 20, ayat 5; Bab IV, pasal 26, ayat 2; bagian Penjelasan I Umum) dan dituangkan ke dalam fatwa-fatwa lembaga keagamaan yang bukan sebuah lembaga (tinggi) pemerintahan ini.


Bahwa yang mau ditegakkan oleh RUU JPH ini adalah syariah Islam juga tampak jelas dalam pencantuman sebuah sebutan yang khas Islami dalam RUU ini, yakni penyebutan “lafal ‘Bismillahirrahmanirrahim’” dalam suatu penyembelihan binatang (Bab III, pasal 8, ayat 1 ) dan dalam sebuah pernyataan khas Islami bahwa aturan yang ditetapkan dalam RUU ini “diperuntukkan untuk kepentingan selain Allah Subhanallahu Wa-Taala” (bagian Penjelasan pasal 6, ayat 2). Dalam bagian Penjelasan pasal 8, ayat 1, terdapat sebuah pernyataan yang digeneralisir bahwa “Lafal ‘Bismillahirrahmanirrahim’ adalah lafal yang lazim diucapkan masyarakat Indonesia ketika melakukan penyembelihan (hewan).”


RUU JPH yang berlandaskan syariah Islam yang ditafsir, dirumuskan, ditetapkan dan difatwakan oleh MUI ini, nanti setelah disahkan menjadi UU, akan dilaksanakan oleh pemerintah melalui Menteri Agama RI (Bab II, pasal 3; Bab III, pasal 6, ayat 3; Bab III, pasal 7; Bab IV, pasal 18, ayat 1; Bab IV, pasal 30, ayat 1; bagian Penjelasan I Umum). Kita tahu, sebagai pejabat tinggi negara pilihan Presiden, setiap menteri harus bertindak dan memutuskan serta menetapkan suatu produk hukum apapun demi kepentingan nasional yang tidak fragmentaris dan tersekat-sekat.


Mengingat nilai-nilai hukum dasariah yang melandasi RUU ini adalah nilai-nilai hukum syariah Islam, logisnya orang akan menyimpulkan bahwa ketika nanti RUU ini sudah disahkan dan diundangkan sebagai UU, UU JPH ini, demi azas keadilan hukum bagi seluruh warganegara dan penduduk Indonesia yang secara keagamaan sangat majemuk, hanya akan berlaku bagi umat Islam Indonesia, dan tidak berlaku bagi warganegara dan penduduk yang bukan-Muslim. Tetapi, semua orang insaf, bahwa logika dan azas keadilan hukum ini tidak akan dapat diberlakukan mengingat bahwa setiap produk hukum yang sudah berstatus UU adalah sebuah produk hukum yang mengikat semua penduduk dan
warganegara RI yang berdiam di dalam maupun di luar negeri.

Sehubungan dengan ihwal untuk siapa UU JPH ini nantinya akan diberlakukan, RUU JPH ini sendiri memuat pernyataan-pernyataan yang satu sama lain tidak harmonis. Pada satu pihak dinyatakan bahwa nantinya RUU JPH ini, ketika sudah diundangkan, akan diberlakukan “bagi masyarakat Indonesia yang beragama Islam”, sebagai “bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah” (lihat bagian Penjelasan Umum I RUU JPH). Tetapi pada pihak lain, dinyatakan juga bahwa RUU JPH ini, ketika sudah diundangkan, akan “memberikan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat dan kepastian hukum kepada setiap warga negara secara adil dan beradab” (lihat bagian Penjelasan pasal 2, ayat 2, huruf a).


Ketidakharmonisan dua pernyataan di atas barangkali akan tetap dibiarkan oleh para perancang RUU ini sampai RUU ini selesai dibahas, lalu disahkan dan diberlakukan serta diundangkan nanti, sehingga UU JPH nanti akan berwajah dua: pada satu pihak UU JPH adalah UU Islami, tetapi di lain pihak juga UU nasional. Dengan kata lain, melalui produk hukum UU JPH ini kalangan Islam Indonesia ingin memperluas jangkauan pemberlakuan syariah Islam bukan hanya untuk kalangan internal Muslim Indonesia, tetapi juga untuk seluruh warganegara dan penduduk lain yang bukan-Muslim. Dan ketika RUU JPH ini sudah diundangkan, memberlakukan syariah Islami kepada semua warganegara dan penduduk negara RI tidak lagi merupakan suatu tindakan melanggar hukum dan UU; setidaknya ini dimulai dulu dengan sebuah ketentuan syariah Islami mengenai makanan halal dan makanan haram, sebelum meluas ke segala sektor kehidupan berbangsa dan bernegara. Sangat bisa jadi, inilah konteks sosio-politis historis dan kontemporer yang sebenarnya dari lahirnya RUU JPH ini.


Lebih jauh, pada bagian Penjelasan RUU yang sama (pasal 2, ayat 2, huruf a), RUU JPH ini juga menyatakan bahwa kepastian hukum harus diberikan kepada “penduduk Indonesia secara proporsional, serta memberikan keadilan secara proporsional.” Ihwal apa yang dimaksud dengan frasa “secara proporsional”, RUU ini tidak memberi suatu penjelasan tambahan lebih jauh apapun, sehingga frasa ini tentu harus ditafsirkan oleh pembaca manapun. Sangat mungkin yang dimaksud dengan frasa ini adalah bahwa umat Islam Indonesia berhak menuntut untuk kepada mereka sudah pada tempatnya diberikan keadilan dan kepastian hukum dalam bentuk sebuah UU JPH nasional, yang berlandaskan syariah Islam mengenai hal halal dan hal haram sehubungan dengan sekian produk yang mereka makan sehari-hari mengingat secara proporsional mereka adalah warganegara dan penduduk mayoritas negara RI.

Tentu orang bisa memahami kalau suatu kelompok mayoritas di dalam suatu negara manapun di dunia selalu ingin tampil sebagai pengatur dan penentu kehidupan berbangsa dan bernegara, dan selalu menuntut diperlakukan secara proporsional, sejalan dengan jumlah mereka yang lebih besar. Tetapi, apakah NKRI, dalam perjalanan sejarahnya, mengenal dan memberlakukan suatu sistem hukum proporsional seperti yang dikehendaki RUU JPH ini, yang melaluinya kewenangan terbesar mengatur negara ini diminta diserahkan kepada kelompok mayoritas, yakni umat Islam? Bukankah negara RI selama ini adalah suatu negara kesatuan dalam keanekaragaman, suatu negara yang meskipun rakyatnya “majemuk tetapi satu adanya” (Bhinneka Tunggal Ika), bukan suatu negara agama atau suatu negara teokratis yang dipimpin oleh suatu kelompok keagamaan mayoritas yang dapat memaksakan kehendak mereka kepada kelompok-kelompok keagamaan minoritas yang banyak jumlahnya meskipun kecil-kecil kuantitasnya? Bukankah selama ini, NKRI adalah suatu negara yang memperlakukan semua warganegaranya sebagai orang-orang yang sama dan sederajat di mata hukum? Juga, penting kita terima sebagai suatu fakta bahwa kawasan Indonesia Timur adalah suatu kawasan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Kristen, bukan Islam. Apakah kawasan Barat dan kawasan Timur Indonesia harus dibuat berbenturan? Hayo, sebaiknya kita semua, khususnya MUI dkk, kembali kepada visi besar sosio-kultural dan sosio-politis yang inklusif-pluralis Pancasilais dari para pendiri dan peletak awal landasan hukum bangsa dan negara Indonesia ini, visi besar yang membuat bangsa Indonesia yang majemuk selama ini dapat dipersatukan dengan kokoh dan kuat!


Sejauh kita tahu dan sepakati, di seluruh dunia setiap UU apapun, apalagi yang dihasilkan melalui suatu proses demokratis dan musyawarah panjang di lembaga legislatif, memiliki suatu kekuatan memaksa (a coercive power) untuk UU ini diberlakukan oleh semua pejabat negara dan ditaati oleh semua warganegaranya tanpa kecuali. Kalau RUU JPH ini nanti akan diundangkan sebagai UU (mungkin suatu hasil dari perjuangan sepihak habis-habisan MUI dkk, misalnya, atau mungkin juga suatu hasil dari proses pembahasan yang demokratis di DPR-RI), UU JPH ini tentu haruslah memiliki a coercive power itu.

Tetapi, pada bagian Penjelasan RUU ini atas pasal 18, ayat 1, dinyatakan bahwa suatu “sertifikasi produk halal” yang dikeluarkan MUI dengan bekerja sama dengan Menteri Agama RI tidaklah dipaksakan harus ada, tetapi diperoleh melalui permohonan yang “bersifat sukarela”. Jadi, menurut bagian Penjelasan RUU JPH ini, sertifikasi halal ini boleh ada dan juga boleh tidak, alias sertifikasi ini dapat dimohon voluntarily, dan tidak diberlakukan paksa alias obligatory atau mandatory atau compulsory!
Orang tentu heran besar, kalau dalam negeri kita ini ada suatu ketentuan UU yang boleh ditaati sekaligus juga boleh tidak ditaati. Di mana kewibawaan UU semacam ini? Dan, lebih tragis lagi, apakah kewibawaan Presiden RI dan menteri-menterinya (setidaknya Menteri Agama dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) tidak akan jatuh kalau harus mengesahkan dan mengimplementasikan UU JPH yang tidak berwibawa dan tidak memperlakukan semua warganegara RI yang majemuk sebagai insan-insan yang sama status dan hak mereka di hadapan hukum? Apakah tidak sebaiknya setiap RUU dan UU yang tidak berwibawa ditinjau ulang keberadaannya oleh DPR RI atau oleh suatu lembaga tinggi negara lainnya?

Siapapun yang dengan seksama telah membaca semua pasal RUU JPH ini, khususnya pasal-pasal yang memuat ketentuan sanksi administratif, sanksi pidana dan sanksi denda yang besar, dia akan menyimpulkan bahwa sebetulnya seluruh isi RUU JPH ini bermuara hanya pada satu tujuan, yakni supaya sejumlah produk makanan yang diproduksi di dalam negeri memiliki Sertifikasi Produk Halal yang dikeluarkan MUI bekerja sama dengan Menteri Agama RI. Tak pelak lagi, orang dapat bertanya: Apakah ketidakberwibawaan RUU JPH ini, karena tujuan utama pengundangannya sekaligus boleh diterima dan juga boleh tidak diterima, timbul karena memang tujuan RUU JPH ini bukan untuk menegakkan hukum (apapun), tetapi untuk mendapatkan suatu keuntungan komersial melalui suatu sarana hukum? Siapapun sukar sekali menjawab pertanyaan ini.


RUU JPH ini dengan sangat tegas mengakui “kemerdekaan beribadat” setiap warganegara menurut agamanya masing-masing (bagian Pertimbangan butir c), dan secara eksplisit RUU ini merujuk ke sebuah pasal terkenal UUD 45, yakni pasal 29. Jika demikian, kalau memang soal penentuan halal dan haram suatu makanan, seperti sudah dikutip di atas, adalah bagian dari ibadah warganegara, lebih baik serahkanlah kepada setiap Muslim Indonesia, setiap insan warganegara Indonesia, untuk menentukan sendiri dengan sukarela dan bebas, tanpa paksaan, mana makanan yang halal dan mana makanan yang haram, menurut keputusan hati nurani masing-masing.
Untuk hal ini, percayalah bahwa bangsa Indonesia sudah sangat dewasa sehingga tidak perlu diatur oleh sebuah UU yang kelihatan tidak berwibawa.

Friday, October 2, 2009

Halal dan Haram: Berdasarkan Teks atau Konteks?

Author: George Junus Aditjondro
Kritikus bidang sosial-politik, ekonomi, bisnis dan militer di Indonesia


RUU Jam
inan Produk Halal masih sedang dibahas di DPR-RI sekarang ini. Ada dua dimensi yang menarik perhatian saya pada RUU itu. Pertama, sebagaimana yang kini akan banyak disoroti para kontributor di blog ini, pengesahan undang-undang itu oleh parlemen akan semakin mengukuhkan dominasi satu kelompok agama di Indonesia, sebab sudah dapat diduga, ketentuan haram dan halal dari kelompok agama mana yang akan dijadikan patokan.

Jelas ketentuan ini bukan datang dari agama Nasrani, sebab seperti dikatakan Yesus Kristus, “Apapun dari luar yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Markus 7:15). Dengan pesannya ini, Yesus Kristus ingin menegaskan bahwa “semua makanan halal” (Markus 7:19b); sekaligus dia juga ingin menarik sebuah garis demarkasi antara iman orang Yahudi yang masih sangat terikat pada Taurat atau syariat agama Yahudi, dengan iman baru, iman para pengikutnya, yang bersumber dari dalam diri mereka, dari hati (hÄ“ kardia) dan pikiran (ho dialogismos). Sekaligus dengan ini, Yesus Kristus ingin mengajarkan orang-orang yang menjadi para pengikutnya bahwa kata-kata yang keluar dari mulut kita sangat penting dikendalikan, sebab kata-kata kita, sebagai ungkapan pikiran dan hati kita, dapat membuat orang bersahabat, atau membuat orang bermusuhan, dapat membuat orang bergembira, atau membuat mereka sedih, dapat membuat orang menjadi bersemangat, atau membuat mereka malah patah hati.
Jadi, bagi Yesus dan bagi orang Nasrani, hati dan pikiran kitalah yang dapat membuat kita najis, bukan makanan yang masuk ke dalam mulut kita.

Kalau begitu, sudah dapat diduga, rujukan untuk menentukan sesuatu makanan itu halal atau bukan, diambil dari ajaran satu agama saja, yakni agama Islam. Berarti, semakin mengukuhkan kedudukan ajaran agama ini sebagai undang-undang negeri ini, yang merupakan ciri-ciri khas teokrasi, yang sebenarnya, secara historis, bukan ciri NKRI.

Namun sesungguhnya, buat umat Islam, penetapan undang-undang yang memberikan kekuatan hukum pada salah satu lembaga buatan manusia, MUI sekalipun, untuk menentukan apa yang halal atau apa yang haram untuk dimakan, dapat menyempitkan pengertian haram dan halal itu sendiri. Maksudnya, menyempitkan makna ajaran Islam itu sendiri bagi pemeluknya.

Padahal, pengertian haram dan halal tidak dapat dibatasi pada teks-teks agama yang diturunkan 14 abad yang lalu di Saudi Arabia, yang sifatnya sangat spesifik. Misalnya, yang dianggap haram hanyalah binatang tertentu, atau ludah binatang tertentu, atau darah binatang, atau bahkan daging binatang yang tidak disembelih menurut aturan Islam. Makanya di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Kristiani pun, seperti Eropa dan Australia, sudah banyak toko daging halal untuk konsumsi penduduk yang beragama Islam.

Dengan ijtihad (eksegese atau, lebih tepat, hermeneutik) yang lebih berorientasi pada konteks, namun tetap berpijak pada teks, perlu juga dipertanyakan, apakah produk-produk makanan dan minuman yang dibuat oleh buruh-buruh yang tidak diperlakukan secara adil, bersifat halal, atau haram? Ada tertulis dalam sebuah hadis, “Bayarlah buruhmu sebelum keringatnya kering.” Jadi daging ayam, kambing, sapi dan kerbau, hasil peternakan yang diproduksi dengan mengeksploitir para buruh selayaknya juga diharamkan.

Kesimpulannya, biarlah umat sendiri yang menentukan, baik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kesehatan, maupun berdasarkan pertimbangan keadilan (yang didukung oleh semua agama Ibrahimiyah), apakah ikan, daging, buah, atau sayuran yang mau dimakan mereka haram atau halal. Sebab memberikan hak itu kepada sebuah lembaga buatan manusia, yakni MUI dalam kasus Islam, yang hanya didasarkan pada ajaran satu agama saja, selain tidak adil bagi mereka yang tidak seiman, sesungguhnya juga tidak adil bagi pemeluk agama itu sendiri, sebab membuat mereka terkerangkeng dalam sebuah interpretasi yang sangat harfiah tekstual, tanpa mengindahkan interpretasi yang lebih kontekstual dinamis, sehingga memaksa umatnya tetap terbelenggu dalam kebekuan Abad Pertengahan.

Makanya, sudah saatnya para wakil rakyat hasil Pemilu lalu (2009), yang terpilih melalui pemilu yang penuh pelanggaran hukum maupun etika, menebus dosa mereka dengan memperhatikan RUU lain yang lebih menyangkut kemaslahatan orang banyak, tanpa mendahulukan kepentingan kelompok suatu agama tertentu saja.

Yogyakarta, 02 Oktober 2009

Suarakan Hati Nurani Anda!

Author: Gunawan Suryomurcito
Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Hak atas Kekayaan Intelektual Indonesia

Saya pernah membaca sebuah tulisan yang pada akhirnya menyimpulkan bahwa orang-orang moderat kalah dari orang-orang radikal karena mereka cenderung tidak berani menyuarakan suara hati nurani mereka. Orang-orang radikal biasanya menang karena mereka berani bersuara dan suara mereka keras, lagipula mereka berani melakukan kekerasan baik secara fisik maupun secara mental untuk mencapai tujuan mereka.

Negeri kita Indonesia akhir-akhir ini ditandai oleh berbagai perbuatan kaum radikal yang mengusung gagasan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara berdasarkan agama. Secara ideologis hal itu merupakan perongrongan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia yang baru saja kita rayakan ulang tahunnya yang ke-64. Secara sistematis oleh mereka dilakukan upaya-upaya untuk meniadakan kebhinnekaan, dimulai dengan diundang-undangkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang bernafaskan suatu agama tertentu, dari yang paling rendah, setingkat peraturan daerah, sampai yang paling tinggi, setingkat undang-undang.

Orang Indonesia yang moderat yang selama ini menjadi “silent majority” sekarang haruslah mengambil sikap tegas! Menjadi “bebek-bebek” bisu yang mau saja digiring kesana-kemari tanpa bersuara, atau menjadi “angsa-angsa” vokal yang berteriak keras, menyuarakan suara hati nurani mereka!

Blog ini adalah sebuah tempat bagi kaum moderat yang semula “silent” menjadi kaum moderat yang “outspoken” untuk menyuarakan suara hati nurani mereka guna tetap mempertahankan cita-cita luhur para pendiri bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika. Mari kita suarakan dengan lantang suara hati nurani kita!

Jakarta, 2 Oktober 2009