Friday, August 20, 2010

Agama Pasca-teistik

Author: Tedi Kholiludin
Mahasiswa Pascasarjana kajian sosiologi agama UKSW Salatiga
Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)

Tahun 2005, Michael Mertes, Kepala divisi perencanaan dan budaya di Helmut School Office German, menulis sebuah artikel di IP-Translantic Edition yang berjudul “Religion, Secularism and Sovereignty”. Dalam tulisan pendeknya itu Mertes mengutip beberapa hasil riset yang dilakukan oleh The Pew Research Center for The People and The Press pada 2003.

Salah satu yang menjadi bahasan dalam survei tersebut adalah kaitan antara kepercayaan kepada Tuhan dengan pemenuhan aspek moral. Mayoritas responden di Eropa Tengah dan Eropa Barat tidak setuju dengan pernyataan bahwa “untuk menjadi moralis, seseorang harus percaya Tuhan”. Sementara mayoritas responden di Turki dan Amerika masih membutuhkan Tuhan untuk menjadi moralis.

Prosentase sengkapnya mereka yang masih butuh Tuhan adalah: Turki (85%), Amerika Serikat (58%), Polandia (38%), Jerman (33%), Italia (27%), Inggris (25%), Republik Ceko (13%) dan Perancis (13%). Di Polandia, responden yang membutuhkan Tuhan masih relatif cukup besar dibanding dengan negara Eropa lainnya, karena, kata Mertes, peran Gereja Katolik di sana masih signifikan dalam mengonstruksi identitas bangsa tersebut.

Wednesday, August 18, 2010

Media, Negara dan Seks

Seks tampaknya telah menjadi sebuah momok karena ulah agama dan negara. Sebab mereka menghadapi seks dengan kedunguan dan bukan dengan kecerdasan. Dalam mengatur seksualitas perempuan, sejarah Indonesia membuktikan kedunguan tersebut, mulai dari zaman Orde Lama, zaman Orde Baru hingga zaman Reformasi. Padahal seksualitas perempuan tidak dilahirkan oleh agama atau negara. Oleh sebab itu, seksualitas perempuan tak patut diatur oleh mereka yang bukan perempuan. Seksualitas perempuan lahir dari alam, dari rahim perempuan itu sendiri.
Menkominfo tampaknya perlu mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai batasan-batasan negara untuk tidak mencampuri ranah pribadi individu. Dia tidak dapat membedakan mana urusan publik dan mana urusan privat. Soal pribadi seperti kasus Ariel-Luna Maya-Cut Tari dieksploitasi oleh negara menjadi soal publik, menunggangi fundamentalisme untuk kepentingan politik. Sementara soal negara seperti penggelapan pajak dan kartel direduksi menjadi soal personal elit politik.


Author: Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan
dan
Pengajar tetap di Departemen Filsafat, FIB,
Universitas Indonesia


 

MEDIA

Limabelas tahun yang lalu ketika Yayasan Jurnal Perempuan menggagas Jurnal Perempuan sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia, banyak kalangan umum bingung menyikapi apa sebenarnya “binatang” ini? Seingat saya ada dua respons yang cukup dominan; yang pertama, mereka menganggap Jurnal Perempuan pasti majalah tentang masak-memasak sehingga penawaran toko buku adalah menempatkan jurnal ini di tempat rak-rak topik memasak. Respons kedua, terutama datang dari lapak majalah di kawasan Senin, adalah anggapan bahwa majalah ini pasti memuat pose-pose perempuan yang “syur”, si penjaja majalah menebak sambil nyengir. Cukup melelahkan memang menjelaskan kepada mereka apa itu Jurnal Perempuan, apalagi belum ada bentuk jurnalnya karena hanya baru sebatas ide. Ide ini hendak diuji coba di lapangan penjualan majalah-majalah. Tapi gagal total. Karena, sulit untuk menjelaskan majalah feminisme kalau spektrum yang ditawarkan adalah antara masak-memasak hingga hal yang “syur”. Begitulah cara berpikir dikotomik yang ada di masyarakat. Perempuan didefinisikan masuk dalam dua spektrum tersebut. Tidak ada ruang lain bagi perempuan.