Thursday, October 8, 2009

Pasangan Mempelai Babi dan Kambing

Gambar di atas sangat menarik perhatian saya. Saya dapat dari Internet. Seekor kambing dan seekor babi duduk bersebelahan dan bergandengan tangan, dengan sebuah rangkaian bunga putih dan biru dan berdaun hijau di tempatkan di depan sang kambing. Sang babi tampak memakai setelan jas hitam, berdasi necis, dan memakai kemeja warna kuning gading. Sang kambing tampak memakai sehelai pakaian perempuan juga warna kuning gading, dan pada bagian lehernya melilit seuntai kalung bola-bola plastik kecil warna bening. Kepala sang kambing dihiasi dengan aksesoris warna-warni.

Wah, sudah pasti deeeh ... sang kambing adalah mempelai perempuan, dan sang babi mempelai pria! Keduanya sedang dikawinkan. Luar biasa! Duduk di atas apa mereka berdua? Oooooh... rupanya kedua hewan pasangan suami istri ini duduk akur di atas sebuah kueh tart yang ditawarkan untuk dibeli oleh pasangan laki-laki dan perempuan yang akan menikah! Mereka, sang kambing dan sang babi ini, tidak tahu bahwa di negeri yang namanya Indonesia, kambing dan babi sedang dibuat bertarung
satu sama lain oleh MUI. Yang satu mencaci, “Babi, Lu!”; yang dicaci membalas sengit, “Kambing, Lu!” Waaaah, runyam deh!

RUU Halal di Negara “Bukan-bukan”

Author: Victor Silaen
Pengajar, peneliti, pengamat sospol

Saya menerima info bahwa Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH atau disingkat RUU Halal) tidak jadi disahkan oleh DPR RI dalam waktu dekat ini. Kalau tidak jadi disahkan, kemungkinannya hanya dua: 1) ditunda, dalam arti akan bikin rencana berikutnya; 2) dilupakan dan akhirnya berlalu begitu saja.
Kemungkinan mana yang paling mendekati? Rasanya yang pertama. Sebab, ini menyangkut dua hal: 1) proyek politik yang di baliknya tentu ada duit; 2) kepentingan politik kekuatan-kekuatan politik yang pro-syariah.

Sejak lama RUU yang terdiri dari 12 Bab, 44 pasal dan 75 ayat ini menuai kontroversi lantaran pemerintah dianggap tidak selayaknya mengeluarkan sertifikasi halal. Seyogianya yang mengeluarkan sertifikasi halal itu adalah lembaga keumatan atau keulamaan seperti Majelis Umat Islam (MUI). Namun, itu pun harus ditambahi beberapa catatan ini: 1) lembaga tersebut tidak boleh memonopoli semua urusan yang terkait dengan sertifikasi; 2) lembaga tersebut harus diakreditasi oleh pemerintah dan diawasi secara ketat dalam kinerjanya.


Terlepas dari perdebatan soal pemerintah atau MUI yang layak mengeluarkan sertifikasi halal itu, bagaimana sesungguhnya kita patut menyikapi RUU Halal ini? Pertama, RUU ini diskriminatif. Sebab, substansinya meniscayakan adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar keyakinan agamanya. Maksudnya, yang mengenal konsep “halal” dan “tidak halal” (haram) yang terkait dengan segala sesuatu yang dikonsumsi adalah umat Islam. Jadi, mengapa hanya untuk kepentingan satu umat beragama, negara ini harus repot-repot membuat peraturan berskala nasional? Lantas bagaimana dengan umat agama-agama lainnya? “Tenang saja, ini hanya akan diberlakukan bagi kaum muslimin dan muslimat.” Mungkin akan ada yang berdalih begitu. Aneh sekali, mengapa ada sebuah peraturan yang keberlakuannya dibeda-bedakan berdasarkan keyakinan agama seseorang? Bukankah jelas ini diskriminatif? Tidakkah kebijakan diskriminatif seperti ini rawan bahaya segregasi-separasi, yang bukan tidak mungkin berujung disintegrasi pada gilirannya kelak?


Kedua, negara ini adalah negara hukum (rechstaat) dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika (“beranekaragam tetapi satu jua”). Sebagai negara yang bukan teokratis, maka sesungguhnya negara tidak dapat dibenarkan untuk mengintervensi ranah atau urusan agama dan keberagamaan warga negaranya. Kalaupun negara mengatur bidang ini, mestinya itu hanya untuk kepentingan administratif dan statistik. Di luar itu sama sekali tidak boleh. Sedangkan sebagai negara yang mengakui keanekaragaman, itu berarti negara ini tidak mengenal kebijakan penggolong-golongan warganya menjadi “yang mayoritas” dan “yang minoritas” berdasarkan latar belakang SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Dengan membuat RUU Halal, maka negara ini seakan turut merekayasa agar warga negara Indonesia kelak terkotak-kotak menjadi “yang mayoritas” dan “yang minoritas”.


Sungguh, ini patut menjadi suatu keprihatinan kita semua. Sejak dulu negara ini hobi mengintervensi kehidupan beragama warga negaranya, yang sebenarnya merupakan wilayah privat setiap individu. Kalau benar Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), bukankah harus diakui bahwa secara kodrati setiap manusia adalah individu yang bebas: untuk mengarahkan hidupnya sendiri, untuk menentukan pilihannya atas apa pun jika itu dapat membuatnya bahagia, dan untuk mengekspresikan hak-hak dasariahnya sejauh tidak merenggut kebebasan yang lain? Berkeyakinan dan beragama jelas merupakan salah satu hak-hak dasariah itu. Tak ada institusi apa pun yang boleh mengintervensinya.


Namun, itulah uniknya Indonesia, yang oleh teolog Eka Darmaputera (1987) disebut sebagai negara “in-between”: bukan negara agama, bukan pula negara sekuler (kalau diperas menjadi “bukan ini bukan itu”). Di antara kedua negasi itu, agama diberi tempat yang sangat penting. Sehingga, jangan heran jika agama dan aneka persoalan yang terkait dengannya tak pernah luput dari pengelolaan bahkan pengendalian negara. Antropolog Clifford Geertz (1974) pernah mengatakan hal itu berdasarkan pengamatannya. “Kementerian Agama, yang dikepalai oleh seorang anggota penuh dari Kabinet, berpusat di Jakarta, tapi memiliki kantor-kantor yang tersebar luas di seluruh negeri.” Adanya kementerian agama itu dapat dijadikan bukti untuk menyimpulkan Indonesia sebagai negara yang menolak keterpisahan mutlak antara yang profan (negara) dan yang sakral (agama). Itu sebab­nya, melalui kementerian agama pula negara dapat secara aktif melibatkan diri dan bertanggung jawab terhadap keamanan dan perkembangan setiap agama “yang diakui”-nya.


Ketiga, semua produk hukum di negara hukum ini haruslah betul-betul berlandaskan teori hukum sebagai “a tool of social engineering” (Pound, 1965). Teori hukum ini bertolak dari asumsi bahwa hukum harus menjadi dasar untuk mengadakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Pertanyaannya, benarkah semua produk hukum di Indonesia berorientasi ke arah yang lebih baik? Ataukah, dalam beberapa produk hukum, kepentingan politik yang sempit dan primordialistik picik membayang-bayangi di dalamnya? Bagaimana dengan RUU Halal yang kental nuansa agama Islamnya itu? Dalam pasal 6 ayat 1 RUU itu, misalnya, tertulis begini: “Bahan baku yang berasal dari hewan dihalalkan kecuali hewan yang diharamkan berdasarkan syariah”. Siapa pun tahu, hanya Islam yang mengenal istilah “syariah” itu.


Keempat, salah satu butir dalam RUU Halal pasal 8 tentang proses produk halal dengan bahan baku produk hewan, berbunyi: “Hewan yang digunakan sebagai bahan baku produk halal harus disembelih dengan menyebut lafal ‘bismillahhirrahmanirrahim’ dan tuntutan penyembelihan sesuai dengan syariah serta memenuhi kaidah kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Pertanyaannya, bagaimana kita tahu bahwa daging hewan yang dijual di pasaran sudah disembelih dengan mengucapkan lafal tersebut? Adakah pihak yang diberi tugas khusus untuk itu? Kalau ada, maka dengan sendirinya harus ada ongkos ekstra untuk petugas khusus tersebut. Terkait inilah maka akan terjadi inefisiensi atau pemborosan. Belum lagi ongkos untuk mendapatkan sertifikat halal atas sebuah produk yang hendak dijual. Alhasil, banyak produk yang sebelumnya terjangkau harganya akan menjadi mahal. Akibatnya, masyarakat tak mampu membeli, produsen pun merugi. Tak heran jika protes atas RUU ini gencar disuarakan oleh Kadin (Kamar Dagang Indonesia) maupun pihak pengusaha. Ada sinyalemen, untuk mendapatkan sertifikasi halal untuk suatu produk diperlukan biaya jutaan rupiah. Belum lagi proses dan prosedurnya yang lama, juga ruwet. Tidakkah ini dapat menjadi kendala bagi pertumbuhan usaha?

Akhirnya kita bertanya: Apa jadinya bangsa ini jika peraturan soal halal dan soal tidak halal ini disahkan? Di Papua, ada suku-suku tertentu yang terbiasa menggunakan lemak babi untuk mengusir nyamuk. Salahkah mereka? Di Toraja, di Tapanuli, di Manado, pun di daerah-daerah lainnya, masyarakat selalu menyembelih babi untuk dikonsumsi dalam acara-acara atau pesta-pesta adat. Salahkah mereka?

Mau Makan atau Pakai Produk Saja Kok Musti Diatur-atur?

Author: Limantina Sihaloho
Pemikir Kristen progresif


Tidak relevan

UU Jaminan Produk Halal sedang dibahas di Senayan? Apa gunanya? Sudah sejak dahulu kala manusia makan, minum dan mempergunakan berbagai macam produk tanpa harus repot dengan sebuah undang-undang untuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dimakan. Ketentuan-ketentuan soal haram dan halal yang ada dalam agama tertentu tidak perlu diseret-seret atau dipaksakan menjadi ketentuan yang musti diundangkan dan berlaku apalagi kalau penduduk suatu negeri plural dalam hal keberagamaan. Pula, dengan sendirinya, selama jutaan tahun, manusia sudah tahu apa yang pantas dan tidak pantas untuk dimakan, untuk dikomsumsi atau dipakai. Untuk apa diatur-atur dalam sebuah undang-undang? Mau makan atau pakai produk saja kok harus ada undang-undangnya? Apa maksudnya kalau bukan untuk menghabis-habiskan uang atau bagi-bagi proyek saja di Jakarta situ?

Yang saya prihatinkan dalam proses pembahasan UU JPH antara lain: pemborosan dana oleh para wakil rakyat itu di Senayan. Jika undang-undang semacam ini menjadi undang-undang yang berlaku di Indonesia, dalam pelaksanaannya akan memerlukan dana yang cukup besar. Kan tragis, kalau sebuah negara lalu harus memboroskan sejumlah besar dana hanya untuk membuat label halal (atau label haram) pada makanan dan atau produk. Ini menurut saya kurang kerjaan dan mengada-ngada.

UU PJH tidak bermanfaat bagi mayoritas rakyat Indonesia. Rakyat bisa mengatur dirinya apalagi kalau hanya soal makanan dan produk. Di Sumatra Utara misalnya, yang penduduknya juga heterogen dalam hal keberagamaan, sejak dulu sudah ada aturan tidak tertulis yang mereka biasa praktekkan sampai hari ini. Misal: kalau ada pesta, akan ada makanan khusus bagi yang tidak makan daging yang di kalangan umat Islam atau Parmalim tidak boleh untuk dimakan. Suku-suku Batak yang ada di Sumatra Utara memeluk paling tidak tiga agama: Kristen, Islam dan Ugamo Malim.

Kaum Muslim mirip dengan Parmalim (penganut Ugamo Malim); mereka tidak makan daging babi, anjing, ular, etc. Orang Kristen sendiripun, tidak semua boleh makan daging babi atau anjing atau ular atau lele. Sebagian saudara/i saya yang Kristen tidak makan daging babi atau anjing atau darah hewan; mereka Kristen (Advent). Jadi salah kalau ada anggapan Kristen itu homogen, artinya boleh makan hewan apa saja.

Yang saya tolak dari rencana pemberlakukan UU JPH itu bukan soal halal-haram-nya tapi soal tidak relevannya undang-undang macam itu bagi rakyat Indonesia. Undang-undang macam itu hanya relevan bagi segelintir orang pencari-untung yang mengambil kesempatan dalam kesempitan: para anggota dewan dan para pelaku bisnis halal-haram. Itu pasti pekerjaan "besar" dan "basah" apalagi kalau musti melabeli semua jenis produk impor yang masuk ke Indonesia. Masyarakat justru rugi sebab mereka juga yang harus membiayai semua itu —mulai dari proses pembahasannya di Senayan sampai pada operasionalisasinya nanti kalau jadi diundangkan —lewat pajak yang harus mereka serahkan kepada negara.

Konteks masa kini: kerusakan lingkungan hidup

Saya juga tidak setuju dengan pihak-pihak yang melekat-kaku pada teks-teks kitab suci untuk mengetahui dan memutuskan apa yang halal dan yang haram terutama kalau kita bicara pada konteks masa kini. Di zaman Yesus atau Nabi Muhammad kan belum terjadi penggundulan hutan besar-besaran sebagaimana berlangsung dalam satu abad terakhir ini. Sebagian penggundulan hutan itu adalah demi perluasan peternakan sapi dan hewan lainnya untuk dimakan manusia. Chico Mendes, aktivis lingkungan di Brazil berakhir hidupnya di ujung senapan karena dia memperjuangkan agar hutan di Brazil tidak dilibas terus oleh para pemilik peternakan sapi yang terus-menerus memperluas wilayah peternakan mereka.

Degradasi lingkungan seperti di Brazil itu terjadi di banyak tempat termasuk di kampung halaman saya sendiri. Di bawah Gunung Simarjarunjung, di sebelah timur Danau Toba, ada peternakan babi paling besar di Asia Tenggara, PT Allegrindo Nusantara. PT ini mempergunakan air jernih dari mata-mata air yang ada di Simarjarunjung dengan gratis. Persoalan yang ditimbulkannya menjadi begitu kompleks dari segi sosial, ekonomi dan lingkungan. Di sisi barat PT Allegrindo ini ada Danau Toba yang indah dan terkenal itu yang justru belakangan ini semakin rentan karena berbagai macam proses perusakan lingkungan seperti penggundulan hutan di sekitar danau dan limbah yang masuk ke dalam danau. Pemandangan di daerah wisata seperti Parapat juga menjadi tidak-sedap dengan kehadiran PT Aquafarm Nusantara yang membudidayakan ikan nila secara besar-besaran. Sama seperti di PT Allegrindo Nusantara, penduduk lokal hanya menjadi buruh di PT Aquafarm ini. Yang dapat untung besar adalah pemilik modal yang adalah orang luar.

Pelet pakan ikan nila milik PT Aquafarm Nusantara di tengah-tengah Danau Toba menjadi salah satu penyebab polusi yang merusak danau dan keindahan serta mengancam masa depan generasi yang akan datang. (Foto oleh: Limantina Sihaloho).

Secara pribadi, saya akan mengatakan, “haram makan daging entah sapi atau babi”, "haram makan ikan yang dibudidayakan dengan cara merusak lingkungan", apalagi kalau daging atau ikan itu atau produk lainnya berasal dari sebuah proses ketidakadilan seperti yang antara lain sudah dijelaskan oleh GJ Aditjondro dalam tulisannya: Halal dan Haram: Berdasarkan Teks atau Konteks? Tentu saja saya tidak memaksa tidak makan daging dan atau ikan. Adalah bijak mengetahui bagaimana sejarah sepiring makanan yang ada di hadapan kita. Soal makan adalah pilihan merdeka setiap orang dan tak perlu diundang-undangkan. Belum pernah saya temukan orang yang makan agar dia sengsara tetapi sebaliknya. Yang perlu kita bangun adalah kesadaran dan pengetahuan bukan memproduksi semakin banyak undang-undang yang ternyata pun hanyalah undang-undang yang impoten.

Saya vegetarian dalam 12 tahun terakhir ini, tak makan daging dan ikan sama sekali. Yesus benar ketika mengatakan bahwa yang haram itu adalah apa yang keluar dari mulut bukan apa yang masuk ke dalam mulut tetapi saya tidak harus mengadopsi itu sebagai kebenaran mutlak dua ribu tahun kemudian sebab kalau begitu saya membutakan diri saya sendiri terhadap konteks di mana saya sedang hidup. Konteks pada zaman Yesus itu sendiri ketika itu bukan an sich soal makanan tapi soal prilaku. Seorang muridnya bernama Petrus memperoleh penglihatan: semacam karpet turun dari langit dan di dalamnya ada jenis-jenis hewan yang haram bagi Yahudi. Orang Kristen lalu salah kaprah dengan terutama hanya memakai peristiwa penglihatan itu sebagai sebuah pembenaran untuk bisa makan semua daging hewan. Bagi saya tidak begitu; ada konteks sebelumnya soal bagaimana musti memperlakukan orang non-Yahudi sebagai sesama yang setara. Jadi salah kalau hanya mempergunakan peristiwa itu untuk membenarkan pandangan bahwa semua hewan boleh dimakan. Itu namanya memanipulasi teks.

Salah satu tantangan paling serius belakangan ini adalah bagaimana berbagi secara adil berbagai sumber daya yang kita miliki termasuk sumber daya pangan. Di seluruh dunia termasuk di Indonesia semakin banyak yang kekurangan gizi dan tidak cukup makan. Ada sebagian orang yang kegemukan karena kelebihan makan tapi ada yang tinggal kerangka dan busung lapar karena tidak punya makanan. Lebih baik kita mengarahkan perhatian bersama terhadap bagaimana berbagi secara adil sumber-sumber yang ada daripada mengerjakan hal yang tidak begitu berguna seperti mengundangkan UU JPH.

Belum ada jaminan bahwa keadaan lingkungan kita akan semakin membaik, justru sebaliknya. Situasi ini akan memaksa semakin banyak manusia yang terancam kelaparan di seantero dunia. Justru haram membicarakan halal-haram makanan ketika semakin banyak orang justru tidak punya makanan atau teramcam kurang gizi dan kelaparan. Soal haram-halal itu hanya kerjaan orang yang kelebihan makanan, jadi mereka ada waktu untuk memilih-milih mana yang haram, mana yang halal menurut selera mereka dengan mengatasnamakan kitab suci. Yang haram bagi saya justru: wakil rakyat di Senayan itu atau siapa saja yang hidup dari uang rakyat dan pakai uang rakyat makan enak-enak dan bersisa-sisa pula itu, plus masih dapat uang gono-gini; sementara di berbagai tempat banyak dari antara rakyat di negeri ini yang masih kurang gizi, busung lapar dan makan hanya bisa sekali sehari.. ***