Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal
Karena tak mendapatkan izin dan jaminan keamanan dari pihak Polda Jatim dan Polwiltabes Surabaya, dan juga karena ditolak sejumlah kalangan seperti Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, Pengurus Wilayah Muhamadiyah Jawa Timur, Front Pembela Islam Surabaya, Pemkot Surabaya, akhirnya kegiatan Konferensi Regional International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA) yang sedianya digelar di Surabaya, 26-28 Maret 2010, dan dihadiri 100 peserta dari 20 negara Asia, dibatalkan. ILGA adalah bagian dari banyak ragam gerakan yang memperjuangkan dan membela hak-hak sipil, hukum, sosial, kebudayaan, pekerjaan dan politik kalangan LGBTIQ dan para pendukung mereka.
LGBTIQ adalah sebuah deretan huruf besar yang sudah mulai dikenal banyak orang dewasa ini di Indonesia, singkatan dari Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender-Intersexed-Questioning. Gerakan mereka dan para pendukung mereka sebenarnya sudah lama berdiri di luar Indonesia mula-mula sebagai “gerakan homofili” (=gerakan mencintai pasangan yang ber-sex sama) yang diadakan oleh dan bagi kalangan lesbian dan gay pada tahun 1952 dengan didirikannya Mattachine Society di Amerika Serikat. Karena terjadi konflik antara kalangan lesbian dan kalangan gay atas isu-isu politis strategis dan prioritas, sekelompok lesbian membentuk Daughters of Bilitis di San Francisco, Amerika Serikat, 1955.
Di Indonesia, seperti telah dicontohkan oleh kasus di atas, kalangan LGBTIQ hingga sekarang ini masih rentan terhadap perlakuan keras dan tidak adil dari sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat keagamaan yang masih berpikiran tradisional skriptural. Menurut pemikiran ini, kalangan LGBTIQ adalah kalangan yang dimurkai dan dikutuk Tuhan karena dosa-dosa nenek moyang atau dosa orangtua mereka atau karena moralitas seksual mereka yang bobrok, yang melawan nilai-nilai moral seksual yang sehat dan benar yang sudah ditetapkan Tuhan untuk masyarakat. Dosa nenek moyang atau dosa orangtua menyebabkan mereka, menurut pandangan ini, lahir dengan bentuk anatomis alat kelamin yang tidak normal, atau memiliki orientasi seksual yang menyimpang dari kewajaran. Benarkah penilaian ini?
Hemat saya sama sekali tidak benar! Memang perilaku seksual yang menyimpang bisa terbentuk karena lingkungan kehidupan dan pergaulan yang bermoral bobrok. Tetapi ada sangat banyak insan LGBTIQ di dunia ini yang tidak hidup di lingkungan kehidupan dan pergaulan yang bobrok; tetapi karena faktor genetik, mereka memiliki kromosom seksual yang berbeda dari orang lain yang memiliki orientasi seksual tunggal, sebagai laki-laki biasa atau sebagai perempuan biasa. Orientasi seksual yang biasa, wajar dan umum ini, sebagai laki-laki atau sebagai perempuan, tidak boleh dipakai untuk menilai kalangan LGBTIQ sebagai kalangan yang tidak normal, tidak sehat, atau sebagai kalangan yang dimurkai Tuhan. Posisi mereka yang umumnya sudah tersudut dalam masyarakat, akan dibuat makin tersudut jika masyarakat memakai pandangan keagamaan tradisional untuk menilai moral dan keadaan jasmaniah dan psikis mereka. Ilmu genetika, kedokteran modern dan psikologi belum ada ketika Kitab Suci manapun ditulis pada zaman pramodern. Karena itu sangatlah anakronistik dan tidak adil jika pandangan-pandangan Kitab Suci apapun dipakai untuk menilai kalangan LGBTIQ sebagai kalangan yang memiliki orientasi dan perilaku seksual tidak normal bahkan bejat.
Dalam negara Indonesia yang bukan negara agama, seharusnya pemerintah, aparat keamanan, politikus, praktisi hukum dan masyarakat sipil bisa berempati dengan keadaan kehidupan kalangan LGBTIQ. Kalangan ini adalah juga saudara-saudara kita yang perlu kita terima dan cintai, dan perlu kita dorong terus untuk mereka bersemangat membangun kehidupan mereka sendiri dalam masyarakat bersama. Lain kali, kalau kalangan ini mau berkonferensi di Indonesia ya janganlah dihambat lagi. Kalau pemerintah belum bisa memberi dukungan keuangan, ya dukunglah mereka secara moril. Kalau umat beragama belum bisa memberi suatu pembenaran teologis kepada kalangan LGBTIQ, ya janganlah memakai teologi atau keyakinan keagamaan untuk memasung hak-hak berkumpul dan berserikat mereka.