Author: Peter Suwarno
Pengajar pada Arizona State University, USA
Pada hari Senin, 19 April, 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB). Keputusan tersebut (klik di sini) tidak menimbulkan huru-hara, yel-yel, atau protes yang merusak, karena yang dikalahkan adalah mereka yang biasa berargumentasi dengan memakai pikiran jernih nan damai dengan tujuan luhur pemberdayaan untuk perdamaian, kerukunan, dan persatuan bagi bangsa Indonesia yang majemuk dalam jangka panjang.
Banyak dampak dari keputusan tersebut untuk masa depan bangsa Indonesia dan saya hanya akan menyebut tiga ramifikasi yang bisa ditarik dari keputusan tersebut.
Yang pertama, keputusan MK tersebut menunjukkan kemenangan status quo berbagai kelompok yang sering mendiskriminasikan, mengafirkan, mengkriminalkan, me-neraka-kan, dan bahkan yang melakukan tindak kekerasan terhadap umat beragama minoritas, penganut sekte agama pinggiran, serta pemeluk keyakinan dan aliran yang dianggap tidak lazim. Ini terjadi di tengah-tengah semakin disebarluaskannya konotasi negatif dari makna kata “kebebasan” yang sering diasosiasikan dengan “kebebasan beragama.” Tentu MK tidak akan mengakui bahwa keputusannya telah membenarkan diskriminasi apalagi tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Tetapi kalau kita berbicara mengenai ramifikasi sebuah keputusan, pesan yang diterima oleh mereka yang tidak senang dengan keberadaan kelompok agama dan aliran minoritas (dan mereka inilah yang sudah menunggu-nunggu keputusan MK yang memihak mereka) adalah bahwa mereka telah dilegitimasi sebagai kalangan yang paling tahu dan punya kebenaran mutlak atas pokok-pokok firman Allah mereka yang harus diikuti aliran minoritas. Peristiwa judicial review UU No 1/PNPS/1965 bisa menimbulkan kesadaran bagi mereka yang belum pernah mendengar keberadaan undang-undang tersebut dan menjadi mengerti akan makna keputusan MK tersebut. Ini sangat berbahaya, karena keputusan MK ini sangat mungkin akan diikuti peningkatan marginalisasi, diskriminasi, pemaksaan, atau bahkan tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas yang memang sudah sering terjadi.
Kedua, keputusan MK ini menggarisbawahi bahwa ada pokok-pokok ajaran agama yang mutlak benar dan tidak bisa diganggu gugat. Yang belum dijawab secara jelas oleh MK adalah pertanyaan TAKB mengenai ajaran yang mana yang dianggap pokok-pokok ajaran agama dan menurut interpretasi siapa; interpretasi siapa pula yang dianggap melenceng menurut ukuran siapa. Pesan yang dimunculkan oleh keputusan ini adalah adanya satu interpretasi yang paling benar mengenai pokok-pokok ajaran agama yang sudah baku dan yang tidak boleh direinterpretasikan, tanpa menyadari bahwa tafsiran yang dianggap benar dan baku itu pun hasil interpretasi manusia. Kalau interpretasi yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman dianggap menodai agama karena bisa menyimpang dari pokok-pokok yang dianggap baku, maka yang paling mungkin adalah bahwa yang disebut sebagai ajaran pokok dan baku adalah ajaran yang paling dekat dengan bunyi literal/harfiah firman Allah. Kalau mengikuti istilah pembeda yang sering dipakai pada umat Islam Indonesia, yakni kelompok literalis versus substansialis, maka pandangan kelompok literalis-lah yang dianggap baku dan benar dan yang akan dipakai sebagai ukuran untuk menentukan siapa yang mempunyai interpretasi kurang tepat dan dianggap menodai agama. Apakah keputusan MK sejelas itu, tentu tidak; tetapi ramifikasinya mengarah ke marginalisasi kelompok substansialis dan pembenaran kelompok literalis.
Ini menyedihkan, bukan hanya karena kebebasan menginterpretasikan ajaran agama sesuai dengan tuntutan zaman bakal dipasung, tetapi juga karena agama dengan dalil-dalil dan hukum-hukumnya yang dipahami harfiah akan semakin banyak menentukan arti dan makna kebebasan beragama di Indonesia. Undang-undang semakin tidak bergigi lagi dalam memaknai kebebasan beragama. Hal ini jelas terlihat ketika MK ditanya oleh TAKB mengenai mana yang akan menjadi acuan nilai kebebasan beragama atau penodaan agama: negara berdasarkan hukum negara atau negara berdasar hukum agama. Jawaban MK adalah bahwa Indonesia berdasar pada hukum negara yang menekankan pentingnya prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan nilai-nilai agama.
Ramifikasinya adalah hukum agama akan lebih penting dalam menentukan hukum negara, dan ini tentu sangat menyenangkan kaum literalis yang memang sudah yakin bahwa hukum dan kebenaran yang diinovasi manusia bersifat relatif dan gampang salah, sedangkan kebenaran dan hukum dari Tuhan bersifat langgeng dan mutlak benar. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila keputusan MK ini ditangkap oleh sebagian besar rakyat Indonesia sebagai anjuran agar bangsa kita semakin mengacu pada hukum Tuhan sebagaimana diinterpretasikan kaum literalis dan semakin tidak menghiraukan hukum buatan manusia yang selalu berubah karena harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan tidak mutlak benar sepanjang masa.
Kalau ini benar diadopsi dan dijalankan, interpretasi kreatif untuk menerjemahkan ayat-ayat suci dan ajaran sebuah agama akan berhenti, sedangkan interpretasi yang lebih literal bakal berjaya. Konsekwensinya adalah bahwa norma, aturan, dan undang-undang yang sudah diyakini sangat sesuai dengan kebutuhan negara demokratispun bisa sewaktu-waktu diubah karena tidak sesuai dengan interpretasi baku sekelompok orang beragama yang dominan. Bukan hanya gagasan-gagasan seperti kesetaraan gender dan HAM yang akan dihapuskan, tetapi juga, misalnya, undang-undang anti KDRT, larangan menikah dibawah umur, bahkan prinsip demokrasi itu sendiri.
Keputusan MK ini juga menegaskan bahwa hukum Tuhan yang lebih banyak menyangkut iman pribadi (yang seharusnya dikumandangkan di tempat ibadah) dijadikan sebagai hukum publik yang tentu sangat berbahaya, karena bisa menuju ke totalitarianisme, yakni: negara mengatur semua aspek kehidupan, tidak hanya kehidupan publik, tetapi juga kehidupan pribadi termasuk ihwal bagaimana seseorang harus beriman. Orang tidak lagi bisa beriman sesuai dengan keyakinan pribadinya sendiri, melainkan harus beriman sesuai dengan dalil dan hukum Tuhan yang dianggap baku, yang diakui dan diterapkan oleh negara. Negara bisa saja akan lebih disibukkan untuk mengurusi iman seseorang sesuai dengan dalil agama tertentu, daripada mengurusi masalah negara dan bangsa yang lebih penting yaitu kesejahteraan dan perdamaian dalam masyarakat yang tidak bisa dipungkiri memang majemuk. Dengan keputusan MK ini, orang Indonesia yang baik dan cinta damai tapi punya iman dan keyakinan teguh yang tidak lazim/melenceng akan menderita diskriminasi atau bahkan dihukum, sedangkan orang yang tidak cinta damai atau bahkan suka berbuat onar, tapi mengikuti dalil agama yang baku, akan merasa lebih memiliki kekuasaan dan tidak akan dihukum.
Yang ketiga, keputusan MK menegaskan kembali berlakunya ketidakadilan negosiasi dan perang wacana yang penting bagi pembentukan norma, peraturan, dan undang-undang yang seharusnya partisipatif, konvensional, dan adil, serta kematian “civil discourse” yang mengampanyekan pemberdayaan kebebasan berbeda keyakinan dan pendapat. Kenapa perlu ada negosiasi dan perang wacana? Setiap kelompok manusia atau bangsa merdeka dan demokratis punya norma kehidupan dan aturan yang merupakan hasil negosiasi dan perdebatan (langsung maupun tidak langsung) dari pihak-pihak yang merepresentasikan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. UU No 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama juga adalah hasil negosiasi pada zaman Soekarno, dan negosiasi serta perdebatan dalam setiap masyarakat selalu diperlukan karena hidup manusia berubah dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan baru untuk bisa mencapai hidup yang lebih nyaman, damai, dan sejahtera.
Dalam setiap negosiasi atau perang wacana, seharusnya semua pihak mempunyai hak yang setara, di mana masing-masing pihak bisa mengajukan pendapat dan argumentasi, rasionalisasi, dan justifikasi tanpa rasa takut atau tekanan dari pihak manapun. Tetapi kenyataannya, banyak kecenderungan negosiasi dan perang wacana ini menjadi tidak setara, terutama kalau yang terlibat dalam proses negosiasi memakai dalil agama tanpa rasionalisasi dan tanpa penggunaan “common sense”, di mana argumentasi rasional sering dikalahkan.
Argumentasi rasional adalah argumentasi berdasarkan penelitian, diskusi demokratis, pengamatan di lapangan, yang sama sekali memikirkan kepentingan manusia dan lingkungannya di masa kini dan di masa yang akan datang. Sedangkan argumentasi agamawi adalah argumentasi berdasarkan keyakinan yang didukung oleh ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam ayat-ayat kitab suci yang dianggap suci dan baku. Walaupun kedua argumentasi bisa bernegosiasi bahkan digabungkan, dalam kenyataan argumentasi agamawi tidak harus merasa perlu menjustifikasi argumennya secara rasional apalagi dengan bukti atau data lapangan, tetapi cukup dengan dalil agama. Sehingga selama ini argumentasi agamawi bisa dengan mudah mendominasi dalam setiap jalur komunikasi, karena mempunyai kekuasaan khusus, yaitu kekuasaan untuk mengatasnamakan Tuhan yang tidak mungkin disalahkan. Selama ini orang sudah takut mengkritik pendapat yang katanya dibangun berdasarkan dalil atau ayat suci agama, dan orang sudah dengan gampang memaki gagasan (sedamai dan semulia apapun) yang tidak berdasarkan dalil agama.
Keputusan MK atas “judicial review” ini secara tidak langsung memberikan “approval” bahwa pembahasan wacana dan dalil agama tidak harus berhenti di tempat ibadah, melainkan didorong untuk semakin merambah ke ranah publik berhadapan dengan argumentasi publik. Keputusan MK menambah ketidakadilan perang wacana, karena orang yang beargumen dengan membawa akal sehat , “common sense”, dan memikirkan nilai-nilai luhur di luar agama, serta memperjuangkan semua kelompok, sudah dikalahkan; sedangkan kalangan yang berargumen dengan mendasarkan diri pada dalil-dalil agama sudah dimenangkan. Keputusan MK yang menegaskan pentingnya hukum agama dan pokok-pokok ajaran agama yang baku jelas menambah kekuatan dan dominasi argumentasi agamawi atas argumentasi rasional, serta mengenyampingkan “civil discourse”, yakni wacana yang menekankan argumentasi yang damai, rasional berbasis data, analisa, dan justifikasi demi kepentingan umum.
Ringkas kata, keputusan MK yang menolak judicial review atas UU No 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama mendorong orang yang sudah takut mengkritik dalil-dalil agama untuk semakin lebih takut dan lebuh tunduk lagi. Matinya “civil discourse” yang diganti dengan dominasi “religious discourse”, ditambah ketakutan akan wacana dan hukum agamawi, jelas akan membawa Indonesia bukan hanya menjadi suatu negara agama, tetapi juga akan menyebabkan matinya demokrasi. Demokrasi akan mati karena norma dan aturan yang dimunculkan tidak partisipatif dan konvensional, melainkan koersif dan intimidatif. Semoga “civil discourse” dan umat beragama dan para pemimpin Indonesia yang masih bisa sadar bahwa sistem demokrasi adalah yang terbaik, masih boleh hidup di Indonesia di masa-masa yang akan datang.