Thursday, October 8, 2009

RUU Halal di Negara “Bukan-bukan”

Author: Victor Silaen
Pengajar, peneliti, pengamat sospol

Saya menerima info bahwa Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH atau disingkat RUU Halal) tidak jadi disahkan oleh DPR RI dalam waktu dekat ini. Kalau tidak jadi disahkan, kemungkinannya hanya dua: 1) ditunda, dalam arti akan bikin rencana berikutnya; 2) dilupakan dan akhirnya berlalu begitu saja.
Kemungkinan mana yang paling mendekati? Rasanya yang pertama. Sebab, ini menyangkut dua hal: 1) proyek politik yang di baliknya tentu ada duit; 2) kepentingan politik kekuatan-kekuatan politik yang pro-syariah.

Sejak lama RUU yang terdiri dari 12 Bab, 44 pasal dan 75 ayat ini menuai kontroversi lantaran pemerintah dianggap tidak selayaknya mengeluarkan sertifikasi halal. Seyogianya yang mengeluarkan sertifikasi halal itu adalah lembaga keumatan atau keulamaan seperti Majelis Umat Islam (MUI). Namun, itu pun harus ditambahi beberapa catatan ini: 1) lembaga tersebut tidak boleh memonopoli semua urusan yang terkait dengan sertifikasi; 2) lembaga tersebut harus diakreditasi oleh pemerintah dan diawasi secara ketat dalam kinerjanya.


Terlepas dari perdebatan soal pemerintah atau MUI yang layak mengeluarkan sertifikasi halal itu, bagaimana sesungguhnya kita patut menyikapi RUU Halal ini? Pertama, RUU ini diskriminatif. Sebab, substansinya meniscayakan adanya perlakuan berbeda terhadap warga negara atas dasar keyakinan agamanya. Maksudnya, yang mengenal konsep “halal” dan “tidak halal” (haram) yang terkait dengan segala sesuatu yang dikonsumsi adalah umat Islam. Jadi, mengapa hanya untuk kepentingan satu umat beragama, negara ini harus repot-repot membuat peraturan berskala nasional? Lantas bagaimana dengan umat agama-agama lainnya? “Tenang saja, ini hanya akan diberlakukan bagi kaum muslimin dan muslimat.” Mungkin akan ada yang berdalih begitu. Aneh sekali, mengapa ada sebuah peraturan yang keberlakuannya dibeda-bedakan berdasarkan keyakinan agama seseorang? Bukankah jelas ini diskriminatif? Tidakkah kebijakan diskriminatif seperti ini rawan bahaya segregasi-separasi, yang bukan tidak mungkin berujung disintegrasi pada gilirannya kelak?


Kedua, negara ini adalah negara hukum (rechstaat) dan bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika (“beranekaragam tetapi satu jua”). Sebagai negara yang bukan teokratis, maka sesungguhnya negara tidak dapat dibenarkan untuk mengintervensi ranah atau urusan agama dan keberagamaan warga negaranya. Kalaupun negara mengatur bidang ini, mestinya itu hanya untuk kepentingan administratif dan statistik. Di luar itu sama sekali tidak boleh. Sedangkan sebagai negara yang mengakui keanekaragaman, itu berarti negara ini tidak mengenal kebijakan penggolong-golongan warganya menjadi “yang mayoritas” dan “yang minoritas” berdasarkan latar belakang SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Dengan membuat RUU Halal, maka negara ini seakan turut merekayasa agar warga negara Indonesia kelak terkotak-kotak menjadi “yang mayoritas” dan “yang minoritas”.


Sungguh, ini patut menjadi suatu keprihatinan kita semua. Sejak dulu negara ini hobi mengintervensi kehidupan beragama warga negaranya, yang sebenarnya merupakan wilayah privat setiap individu. Kalau benar Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), bukankah harus diakui bahwa secara kodrati setiap manusia adalah individu yang bebas: untuk mengarahkan hidupnya sendiri, untuk menentukan pilihannya atas apa pun jika itu dapat membuatnya bahagia, dan untuk mengekspresikan hak-hak dasariahnya sejauh tidak merenggut kebebasan yang lain? Berkeyakinan dan beragama jelas merupakan salah satu hak-hak dasariah itu. Tak ada institusi apa pun yang boleh mengintervensinya.


Namun, itulah uniknya Indonesia, yang oleh teolog Eka Darmaputera (1987) disebut sebagai negara “in-between”: bukan negara agama, bukan pula negara sekuler (kalau diperas menjadi “bukan ini bukan itu”). Di antara kedua negasi itu, agama diberi tempat yang sangat penting. Sehingga, jangan heran jika agama dan aneka persoalan yang terkait dengannya tak pernah luput dari pengelolaan bahkan pengendalian negara. Antropolog Clifford Geertz (1974) pernah mengatakan hal itu berdasarkan pengamatannya. “Kementerian Agama, yang dikepalai oleh seorang anggota penuh dari Kabinet, berpusat di Jakarta, tapi memiliki kantor-kantor yang tersebar luas di seluruh negeri.” Adanya kementerian agama itu dapat dijadikan bukti untuk menyimpulkan Indonesia sebagai negara yang menolak keterpisahan mutlak antara yang profan (negara) dan yang sakral (agama). Itu sebab­nya, melalui kementerian agama pula negara dapat secara aktif melibatkan diri dan bertanggung jawab terhadap keamanan dan perkembangan setiap agama “yang diakui”-nya.


Ketiga, semua produk hukum di negara hukum ini haruslah betul-betul berlandaskan teori hukum sebagai “a tool of social engineering” (Pound, 1965). Teori hukum ini bertolak dari asumsi bahwa hukum harus menjadi dasar untuk mengadakan perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Pertanyaannya, benarkah semua produk hukum di Indonesia berorientasi ke arah yang lebih baik? Ataukah, dalam beberapa produk hukum, kepentingan politik yang sempit dan primordialistik picik membayang-bayangi di dalamnya? Bagaimana dengan RUU Halal yang kental nuansa agama Islamnya itu? Dalam pasal 6 ayat 1 RUU itu, misalnya, tertulis begini: “Bahan baku yang berasal dari hewan dihalalkan kecuali hewan yang diharamkan berdasarkan syariah”. Siapa pun tahu, hanya Islam yang mengenal istilah “syariah” itu.


Keempat, salah satu butir dalam RUU Halal pasal 8 tentang proses produk halal dengan bahan baku produk hewan, berbunyi: “Hewan yang digunakan sebagai bahan baku produk halal harus disembelih dengan menyebut lafal ‘bismillahhirrahmanirrahim’ dan tuntutan penyembelihan sesuai dengan syariah serta memenuhi kaidah kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
Pertanyaannya, bagaimana kita tahu bahwa daging hewan yang dijual di pasaran sudah disembelih dengan mengucapkan lafal tersebut? Adakah pihak yang diberi tugas khusus untuk itu? Kalau ada, maka dengan sendirinya harus ada ongkos ekstra untuk petugas khusus tersebut. Terkait inilah maka akan terjadi inefisiensi atau pemborosan. Belum lagi ongkos untuk mendapatkan sertifikat halal atas sebuah produk yang hendak dijual. Alhasil, banyak produk yang sebelumnya terjangkau harganya akan menjadi mahal. Akibatnya, masyarakat tak mampu membeli, produsen pun merugi. Tak heran jika protes atas RUU ini gencar disuarakan oleh Kadin (Kamar Dagang Indonesia) maupun pihak pengusaha. Ada sinyalemen, untuk mendapatkan sertifikasi halal untuk suatu produk diperlukan biaya jutaan rupiah. Belum lagi proses dan prosedurnya yang lama, juga ruwet. Tidakkah ini dapat menjadi kendala bagi pertumbuhan usaha?

Akhirnya kita bertanya: Apa jadinya bangsa ini jika peraturan soal halal dan soal tidak halal ini disahkan? Di Papua, ada suku-suku tertentu yang terbiasa menggunakan lemak babi untuk mengusir nyamuk. Salahkah mereka? Di Toraja, di Tapanuli, di Manado, pun di daerah-daerah lainnya, masyarakat selalu menyembelih babi untuk dikonsumsi dalam acara-acara atau pesta-pesta adat. Salahkah mereka?