Friday, October 2, 2009

Halal dan Haram: Berdasarkan Teks atau Konteks?

Author: George Junus Aditjondro
Kritikus bidang sosial-politik, ekonomi, bisnis dan militer di Indonesia


RUU Jam
inan Produk Halal masih sedang dibahas di DPR-RI sekarang ini. Ada dua dimensi yang menarik perhatian saya pada RUU itu. Pertama, sebagaimana yang kini akan banyak disoroti para kontributor di blog ini, pengesahan undang-undang itu oleh parlemen akan semakin mengukuhkan dominasi satu kelompok agama di Indonesia, sebab sudah dapat diduga, ketentuan haram dan halal dari kelompok agama mana yang akan dijadikan patokan.

Jelas ketentuan ini bukan datang dari agama Nasrani, sebab seperti dikatakan Yesus Kristus, “Apapun dari luar yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Markus 7:15). Dengan pesannya ini, Yesus Kristus ingin menegaskan bahwa “semua makanan halal” (Markus 7:19b); sekaligus dia juga ingin menarik sebuah garis demarkasi antara iman orang Yahudi yang masih sangat terikat pada Taurat atau syariat agama Yahudi, dengan iman baru, iman para pengikutnya, yang bersumber dari dalam diri mereka, dari hati (hē kardia) dan pikiran (ho dialogismos). Sekaligus dengan ini, Yesus Kristus ingin mengajarkan orang-orang yang menjadi para pengikutnya bahwa kata-kata yang keluar dari mulut kita sangat penting dikendalikan, sebab kata-kata kita, sebagai ungkapan pikiran dan hati kita, dapat membuat orang bersahabat, atau membuat orang bermusuhan, dapat membuat orang bergembira, atau membuat mereka sedih, dapat membuat orang menjadi bersemangat, atau membuat mereka malah patah hati.
Jadi, bagi Yesus dan bagi orang Nasrani, hati dan pikiran kitalah yang dapat membuat kita najis, bukan makanan yang masuk ke dalam mulut kita.

Kalau begitu, sudah dapat diduga, rujukan untuk menentukan sesuatu makanan itu halal atau bukan, diambil dari ajaran satu agama saja, yakni agama Islam. Berarti, semakin mengukuhkan kedudukan ajaran agama ini sebagai undang-undang negeri ini, yang merupakan ciri-ciri khas teokrasi, yang sebenarnya, secara historis, bukan ciri NKRI.

Namun sesungguhnya, buat umat Islam, penetapan undang-undang yang memberikan kekuatan hukum pada salah satu lembaga buatan manusia, MUI sekalipun, untuk menentukan apa yang halal atau apa yang haram untuk dimakan, dapat menyempitkan pengertian haram dan halal itu sendiri. Maksudnya, menyempitkan makna ajaran Islam itu sendiri bagi pemeluknya.

Padahal, pengertian haram dan halal tidak dapat dibatasi pada teks-teks agama yang diturunkan 14 abad yang lalu di Saudi Arabia, yang sifatnya sangat spesifik. Misalnya, yang dianggap haram hanyalah binatang tertentu, atau ludah binatang tertentu, atau darah binatang, atau bahkan daging binatang yang tidak disembelih menurut aturan Islam. Makanya di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Kristiani pun, seperti Eropa dan Australia, sudah banyak toko daging halal untuk konsumsi penduduk yang beragama Islam.

Dengan ijtihad (eksegese atau, lebih tepat, hermeneutik) yang lebih berorientasi pada konteks, namun tetap berpijak pada teks, perlu juga dipertanyakan, apakah produk-produk makanan dan minuman yang dibuat oleh buruh-buruh yang tidak diperlakukan secara adil, bersifat halal, atau haram? Ada tertulis dalam sebuah hadis, “Bayarlah buruhmu sebelum keringatnya kering.” Jadi daging ayam, kambing, sapi dan kerbau, hasil peternakan yang diproduksi dengan mengeksploitir para buruh selayaknya juga diharamkan.

Kesimpulannya, biarlah umat sendiri yang menentukan, baik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kesehatan, maupun berdasarkan pertimbangan keadilan (yang didukung oleh semua agama Ibrahimiyah), apakah ikan, daging, buah, atau sayuran yang mau dimakan mereka haram atau halal. Sebab memberikan hak itu kepada sebuah lembaga buatan manusia, yakni MUI dalam kasus Islam, yang hanya didasarkan pada ajaran satu agama saja, selain tidak adil bagi mereka yang tidak seiman, sesungguhnya juga tidak adil bagi pemeluk agama itu sendiri, sebab membuat mereka terkerangkeng dalam sebuah interpretasi yang sangat harfiah tekstual, tanpa mengindahkan interpretasi yang lebih kontekstual dinamis, sehingga memaksa umatnya tetap terbelenggu dalam kebekuan Abad Pertengahan.

Makanya, sudah saatnya para wakil rakyat hasil Pemilu lalu (2009), yang terpilih melalui pemilu yang penuh pelanggaran hukum maupun etika, menebus dosa mereka dengan memperhatikan RUU lain yang lebih menyangkut kemaslahatan orang banyak, tanpa mendahulukan kepentingan kelompok suatu agama tertentu saja.

Yogyakarta, 02 Oktober 2009