Tuesday, December 7, 2010

Kebangkitan Erotika Islam: Lukisan-lukisan Nudis Seniman Muslim

by Betwa Sharma* (25 Maret 2010)

(*Artikel Betwa Sharma ini telah terpasang di Internet sejak 25 Maret 2010, dalam situs http://www.thedailybeast.com/blogs-and-stories/2010-03-25/the-rise-of-islamo-erotica/full/. Diterjemahkan seluruhnya untuk dapat dibaca oleh teman-teman Indonesia sehingga kita semua mendapatkan sebuah gambaran tentang apa yang tengah berlangsung dalam dunia kesenian Muslim belakangan ini di Barat khususnya, dan tentu saja mampu melakukan penilaian dari berbagai sudut pandang. Dalam post ini hanya 1 lukisan yang ditampilkan. Bagi mereka yang ingin melihat banyak lukisan dan potret karya para seniman Muslim kontemporer, dipersilakan melihat langsung ke situs Betwa Sharma di atas.)

Salah satu gambar yang paling provokatif yang dilukis Hanan Tabbara adalah sebuah lukisan dari pastel dan arang yang menggambarkan darah berceceran, yang mengalir keluar dari vagina seorang perempuan. Tabbara melukis gambar ini setelah seorang sahabat dekatnya diperkosa, kemudian dia memasang lukisan ini pada gambar profil di Facebook-nya. Kini sudah dua tahun mahasiswi ilmu politik yang berusia 20 tahun dari Brooklyn ini melukis gambar-gambar telanjang. “Aku sadari bahwa hal ini dilarang, tetapi aku tidak mau pusing,” kata Tabbara.


Sementara Alquran sendiri tidak secara khusus melarang seni telanjang, namun pendapat yang hampir umum di kalangan para pemuka agama Islam adalah bahwa Islam melarangnya. Akan tetapi, sejumlah seniman Muslim telah dengan berani melukis gambar-gambar telanjang. “Hal ini menimbulkan konsekwensi-konsekwensi moral yang melawan Islam,” kata Imam Shamsi Ali, pemimpin Islamic Cultural Center of New York. “Tidak ada pembenarannya untuk mengatakan bahwa melukis gambar telanjang diperbolehkan atas nama seni.”


Larangan ini pada dasarnya berasal dari tabu yang tidak memperbolehkan orang memikirkan hal-hal seksual ketika memandang gambar-gambar tubuh telanjang. Dilihat dari sudut ini, Imam Ali juga menjelaskan bahwa “tidaklah diinginkan” jika kaum Muslim memandang lukisan-lukisan telanjang, bahkan jika lukisan-lukisan ini dipandang sebagai karya-karya besar. “Islam melihat bahaya yang ditimbulkan dari lukisan-lukisan semacam itu jauh lebih besar ketimbang manfaatnya,” tegasnya. “Seorang artis dapat menyampaikan suatu pesan penting di dalam karyanya tanpa harus menggambar orang telanjang.”

Tabbara, yang keluarganya berasal dari Lebanon, berusaha menempatkan Allah secara seimbang dengan gelora seninya untuk melukis. “Ada sangat banyak aturan, sosial dan politis, yang dapat melemahkan dan menghalangi kreativitas artis manapun,” katanya, seraya mengaku dengan terbuka bahwa dia telah melukis dengan memakai model-model telanjang.

Banyak mahasiswi Muslim mengikuti kuliah di sekolah-sekolah seni yang mengharuskan mereka menggambar model-model telanjang. Seorang ulama keagamaan Muslim Syi’ah, Mushin Alidina, menasihati kaum Muslim untuk menolak mata kuliah ini sebab, di bawah Islam, kaum perempuan hanya dapat memperlihatkan wajah, pergelangan tangan, lengan dan kaki, sementara kaum pria perlu membuat bagian-bagian di antara pinggang dan lutut mereka tertutup. “Gagasan ini dipertahankan untuk mencegah bangkitnya syahwat dasariah manusia,” katanya menjelaskan.

Bagaimanapun juga, memakai model telanjang di Barat, hanyalah suatu fenomena yang belum lama muncul. Seorang sejarawan seni di Barnard College, Anne Higonnet, menjelaskan bahwa praktek ini berkurang setelah kejatuhan Imperium Romawi, lalu muncul kembali sebentar selama masa Renesans, lalu bangkit kembali di akademi-akademi kesenian Eropa abad ke-17 di mana kebanyakan pose dilakukan oleh kaum perempuan kelas pekerja atau oleh para pelacur. Debat mengenai apakah para seniman perempuan dapat bekerja dengan model-model telanjang terus berlangsung sampai akhir abad ke-19.

Miss Liberty (karya Makan Emadi)

Higonnet menunjukkan bahwa stigma terhadap ketelanjangan bahkan berlangsung hingga abad ke-20 ketika para kritikus seni memperdebatkan gambaran Picasso mengenai lima orang pelacur di dalam karyanya yang dibuat tahun 1907, yang kini sudah menjadi sebuah karya klasik, yang diberi judul Les Demoiselles d'Avignon. “Lima pelacur ini dianggap menggambarkan bahaya seksualitas,” katanya.

Tetapi seorang seniman kelahiran Lebanon, Hala Shoukair, 53 tahun, tidak merasa ada masalah ketika dia menggambar model-model telanjang di Sorbonne, Paris, selama tahun 1970-an. “Satu-satunya koneksi adalah antara aku dan pinsil…. Aku tidak memikirkan apakah Allah memandang ke arahku dan berkata, ‘Hala, jangan lakukan itu,” katanya menjelaskan.

Shoukair yang sekarang berdiam di New York menegaskan bahwa tabu yang melarang Muslim membuat lukisan telanjang berasal dari suatu masyarakay yang konservatif, bukan dari agama Islam itu sendiri. “Kami sekarang ini hidup pada zaman Abad Pertengahan, di mana segala sesuatu dilarang, tetapi hal ini tidak akan selamanya demikian, dan suatu hari akan ada perubahan lagi.”

Ms Nada Shabout, seorang professor kesenian Islam di Universitas Texas Utara, sependapat bahwa Islam tidak pernah mengambil suatu posisi formal sehubungan dengan lukisan telanjang, dan apa yang dipersepsi sebagai suatu larangan keagamaan sebenarnya adalah suatu tabu kultural yang dibebankan oleh suatu masyarakat konservatif. “Islam perlu dikeluarkan dari wacana semacam ini; kenyataannya adalah orang yang berbeda mengatakan hal-hal berbeda pada waktu-waktu yang berbeda,” katanya, sambil memperingatkan bahwa sebuah tabu yang disamarkan sebagai suatu larangan suci telah menciptakan suatu kesalahpahaman sangat besar dalam masyarakat. Sang professor menjelaskan bahwa tidak ada larangan tersurat yang sungguh-sungguh diperlukan karena para pemuka keagamaan, sejak dini, sudah melarang orang Islam melukis gambar-gambar yang seperti manusia hidup, karena mereka takut pada pemujaan berhala, dan kontroversi sekarang ini muncul hanya dalam abad ke-20 ketika sekolah-sekolah seni gaya Eropa bermunculan di Timur Tengah.


Seorang seniman yang berusia 40 tahun, Khalid Al Tahmazi, yang berbasis di Bahrain, yang telah membuat sedikit lukisan setengah telanjang, menginginkan para pemuka keagamaan untuk tidak lagi hanya terpusat pada subjek lukisan, melainkan hendaknya hanya fokus pada pesannya. “Kami tidak membuat lukisan-lukisan itu untuk disembah; kami hanya membuat lukisan-lukisan itu mengekspresikan pikiran dan perasaan kami,” tandasnya.

Bagaimanapun juga, lukisan-lukisan telanjang telah muncul di sepanjang sejarah Islam, menurut pendapat seorang sejarawan seni, Zainab Bahrani di Universitas Columbia, khususnya di dalam dekorasi-dekorasi sampul manuskrip-manuskrip. “Tidak umum memang, tetapi ada,” katanya, sementara menjelaskan bahwa ketelanjangan demi ketelanjangan tidak diizinkan. “Dalam konteks suatu narasi atau suatu kisah, lukisan telanjang dimungkinkan dibuat.”

Bahkan pada masa kini, adanya sedikit contoh seni dan fotografi telanjang hanya menimbulkan sedikit sakit kepala pada kaum imam, yang lebih tersedot pada masalah pengaruh kuat pornografi pada kaum muda. Imam Ali meragukan kalau di masa depan akan terjadi perubahan pada peraturan agama yang sudah ada. “Islam menjaga umatnya untuk tidak terjatuh ke jalan yang salah,” tegasnya.

Alasan menolak ketelanjangan di Barat, yang berlangsung sudah demikian lama, juga lebih bersifat kultural ketimbang religius, menurut Higonnet. “Hal ini terutama adalah suatu keresahan sosial yang diwarnai oleh suatu penolakan Kristen yang sudah lama ada terhadap kesenangan tubuh,” katanya. “Semua kebudayaan di seluruh dunia, di sepanjang bagian terbesar sejarah mereka, telah merasa sangat cemas mengenai hal ini. Bukan hanya dalam Islam.”

Empat tahun lalu, seorang seniman India, Maqbool Fida, seorang Muslim, terpaksa meninggalkan negaranya karena adanya ancaman pembunuhan dari kalangan fundamentalis Hindu dan ratusan kasus hukum yang menuduhnya telah melukai perasaan publik karena telah melukiskan dewi-dewi Hindu dalam pose telanjang. “Ketelanjangan dalam kebudayaan Hindu adalah sebuah metafora kemurnian dan kesucian,” kata Husain dalam suatu wawancara baru-baru ini dengan Tehelka, sebuah majalah mingguan India. Tetapi pendapat publik di negeri itu tetap terpecah sehingga membuat sang seniman yang sudah berusia 95 tahun itu terpaksa menyerahkan paspor Indianya lalu menjadi seorang warga negara Qatar.

Dewasa ini para seniman yang melukis gambar telanjang membuat diri mereka rentan pada ancaman dan sensor dari komunitas yang lebih besar. Hal ini membuat keluarga-keluarga mereka merasa sangat cemas. Tabbara, yang berencana mengadakan pameran umum pertamanya, telah mengabaikan himbauan ibunya untuk “melembutkan lukisan-lukisan telanjangnya.” “Ibu mengharapkan aku untuk tidak melukis demikian, tetapi dia menerimanya,” kata Tabbara. “Ayahku selalu menopang aku.”

Pada pihak lainnya, bunda Amir Normandie yang berusia 67 tahun, di Tehran, dengan kekeh menentang fotografi telanjangnya. “Kamu tidak akan dapat mengubah dunia, jadi mengapa kamu menciptakan permusuhan dan menimbulkan banyak musuh,” kata bundanya mengkritik puteranya. Fotografer yang berbasis di Chicago ini telah terpaksa menutup pamerannya karena protes yang sangat kuat dari mahasiswa-mahasiswa Muslim di Harper College di Illinois. “Anda percaya bahwa karya-karya anda dilindungi oleh kebebasan berbicara,” kata Normandie. “Tetapi karya-karya saya disingkirkan dengan cara yang sama seperti kalau pamerannya diadakan di Iran atau di Timur Tengah.”

Satu seri potret Hijab yang dibuatnya menggambarkan pemimpin besar Iran, Ayatollah Sayyed Ali Khamenei, sedang menarikan tango bersama dengan seorang perempuan setengah telanjang bercadar. “Para imam di Iran memaksa Iran dan kaum perempuan Iran menarikan tango,” kata Normandie, yang memakai karya-karyanya untuk mengkritik rezim Iran atas apa yang dilihatnya sebagai penaklukan perempuan secara menyeluruh.

Seorang seniman Iran lainnya, Makan Emadi, telah menggunakan karya-karya lukisannya untuk menertawakan pengobjekan perempuan baik di Barat maupun penindasan mereka di Timur. Serangkaian lukisannya yang dinamakan Islamo-erotica menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang memakai baju hitam panjang untuk menyingkapkan pose-pose mereka sebagai para bintang dan hero. Lukisan-lukisannya ini mencakup lukisan seorang perempuan yang memamerkan pantat, paha dan betisnya sementara duduk di dalam sebuah gelas Martini, lukisan seorang perempuan sedang memangku sebuah senjata laras panjang, dan lukisan seorang perempuan lainnya sedang memakai rok yang terhembus ke atas, gaya Marilyn Monroe. “Ini adalah seksisme di mana-mana,” kata Emadi, yang berdiam di Los Angeles. “Pada satu sisi dunia ini, seksualitas adalah suatu produk yang menarik untuk dijual kepada umum, dan pada sisi lainnya, seksualitas disangkal.”

Kedua seniman Iran-Amerika ini telah mempertimbangkan kemungkinan adanya sebuah fatwa yang akan dikeluarkan terhadap mereka, tetapi sejauh ini mereka hanya dibanjiri oleh email yang berisi kebencian.

Al Tahmazi, yang berada di Timur Tengah, telah berhasil menghindari kemarahan semacam yang dialami teman-temannya di Amerika. “Di Bahrain, para penonton yang mengunjungi pameran-pameran adalah orang-orang yang sudah dibebaskan dan mereka tidak memiliki keberatan-keberatan,” katanya. “Para pemuka keagamaan tidak mau menyaksikan lukisan-lukisan ini, dan jika mereka melihatnya, maka mungkin mereka akan menimbulkan persoalan.”

Sementara Normandie telah meminta polisi Chicago melindungi dirinya, Emadi bergantung pada penyamarannya yang terjaga dan ditata dengan seksama, tetapi dia bukanlah tidak menyadari bahaya yang bisa menimpa dirinya. “Apakah aku ingin menjadi Salman Rushdie berikutnya, tentu saja tidak… sejauh ini baik-baik saja,” katanya.


Sumber:
http://www.thedailybeast.com/blogs-and-stories/2010-03-25/the-rise-of-islamo-erotica/full/
dan http://www.thedailybeast.com/galleries/1406/1/?redirectURL=http://www.thedailybeast.com/blogs-and-stories/2010-03-25/the-rise-of-islamo-erotica/
 

----------------
* Betwa Sharma adalah seorang wartawan New York dan PBB untuk Press Trust of India, seorang jurnalis freelance, mengelola blog untuk Huffington Post. Karya-karya tulisnya telah muncul di beberapa publikasi, termasuk Time.com, The Global Post, The Indian Express, The Hindustan Times, Frontline, and Columbia Journalism Review.