Author: Peter Suwarno
Pengajar di Universitas Negara Arizona,
Amerika Serikat
Kalau anda mampir ke kampus almamater saya, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Indonesia, di salah satu dinding gedung (Gedung G) tempat program pasca sarjana, terpampang tulisan: “Takut akan Tuhan adalah permulaan segala pengetahuan.” Sebuah motto yang diambil dari kitab suci, yang interpretasinya tentu bisa berbeda-beda. Bisa dimaksudkan supaya dalam menimba ilmu kita tetap ingat pada Tuhan dengan segala kuasa dan ajaran-Nya dan ilmu apapun yang kita dapat kita tetap dapat beriman hanya pada-Nya; bisa juga diinterpretasikan bahwa ilmu apapun yang kita dapat harus sesuai dengan hukum dan ajaran Tuhan; yang tidak sesuai harus kita buang jauh-jauh.
Walaupun masih banyak kemungkinan interpretasi lain, dalam banyak teori modern apalagi pasca-modern, yang ditekankan justru bukan “takut akan Tuhan” sebagai awal ilmu pengetahuan, melainkan “keragu-raguan,” karena keragu-raguan dan skeptisismelah yang mendorong manusia untuk bertanya, mencari jawab, memperdebatkan, mengetes, mencari bukti, meneliti dan menganalisa sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Jadi kalau mau betul-betul mencari, menambah, dan mendalami ilmu pengetahuan, mottonya seharusnya berbunyi: “Keragu-raguan adalah awal dari segala ilmu pengetahuan.”
Bukankah keragu-raguan ini biang kelunturan iman umat beragama, sehingga merupakan awal hilangnya agama? Menurut Peter Berger dan Anton Zijderveld dalam buku In Praise of Doubt: How to Have Convictions without Becoming a Fanatic, justru agama yang hidup dan berkembang, penuh toleransi, dan menarik simpati banyak orang, bersumber dari adanya sebercik keragu-raguan. Ini bukan berarti meragukan segala yang ada dalam ajaran agama, tetapi mempertanyakan kemungkinan penerapan dan interpretasi ajaran yang bisa kurang luhur. Menurut para penulis ini, iman seharusnya bukan percaya dan yakin saja atas semua ajaran agama yang dianggap mutlak benar dan sempurna, tetapi iman yang hidup akan terus mencari dan menggali apa yang mulia dan berguna bagi kedamaian dan kesejahteraan seluruh umat manusia. Dan untuk itu diperlukan sebercik keragu-raguan.
Memang, berdasarkan pengalaman saya belajar, dibesarkan, dan hidup di Indonesia, “takut” atau “ketakutan” kelihatannya lebih penting daripada “keragu-raguan” atau “mempertanyakan.” Saya ingat bahwa sejak kecil rasa takut itu ditanamkan oleh pihak-pihak yang berkuasa, mulai dari polisi dan kepala desa sampai pada orangtua, guru, dan pemimpin agama. Sebagai anak, saya merasa takut dan harus tunduk pada orangtua dan guru, karena mereka yang sering memarahi dan menghukum baik dengan tindakan maupun dengan kata-kata dan sindiran. Kalau toh mereka sebenarnya salah, anak-anak zaman saya tidak berani mempertanyakan, apalagi mengkritik mereka. Pemimpin dan guru agama menakutkan juga, karena mereka diposisikan sebagai wakil Tuhan, dan kalau mereka sudah berbicara tentang neraka, siapa tidak takut. Kepala desa dan polisi apalagi. Bapak saya sendiri dulu selalu kelihatan takut waktu didatangi kepala desa dan polisi, apalagi kakek saya pernah dituduh tersangkut PKI.
Tidak kurang kreatif para penguasa level bawah sampai level atas. Dalam menciptakan ketakutan, yang menurut mereka penting adalah membuat anak-anak dan pengikut mereka punya rasa takut terhadap mereka sehingga mereka dapat menampakkan kepatuhan dan loyalitas yang tinggi. Seringkali sumber ketakutan yang dieksploitasi adalah hantu serta apa yang dianggap dosa atau tabu. Misalnya: “Jangan bermain di luar malam-malam, nanti digondol wewe,” atau “Kalau dikasih tahu orangtua tidak boleh menjawab, itu dosa.” Barangkali memang beralasan kalau bangsa kita dipenuhi orang-orang yang takut, bukan hanya karena banyaknya cerita menakutkan sejak kecil, sinetron-sinetron hantu dan kuburan, dan gambaran kehidupan sesudah kematian, namun juga semua yang menakutkan itu sering dibenarkan atau disinspirasi oleh banyaknya khotbah dan ayat suci mengenai hukuman di neraka yang wacananya memenuhi banyak saluran komunikasi di Indonesia.
Exploitasi para penguasa atas rasa takut rakyat di Indonesia sudah lama efektif dilakukan dalam pengalaman sejarah bangsa yang memang menakutkan. Pada zaman raja-raja, rakyat harus patuh dan takut sehingga kekuasaan kerajaan bisa berlangsung; pada zaman penjajahan kita dituntut takut akan penjajah, sehingga kita tunduk dan ikut perintah penjajah walaupun kita sadar itu salah; pada zaman PKI kita juga dipenuhi ketakutan luar biasa dan berserah pada apapun maunya penguasa asal aman, walaupun jelas banyak kemauan mereka yang tidak manusiawi; dan pada zaman Soeharto, kita juga dibuat takut sehingga menerima saja kehendak pemerintah dan tak berani mengkritik sedikitpun (kalau kita tidak mau “dihilangkan”), walaupun kita tahu banyak hal yang tidak beradab.
Nah pada zaman reformasi ini tentunya seharusnya tidak ada alasan untuk takut lagi. Benarkah kita tidak punya rasa takut lagi? Bukankah rakyat bisa protes pemimpin kita kapan saja? Bukankah setiap hari ada demonstrasi? Bukankah masyarakat dan media massa bisa mengkritik penguasa termasuk SBY? Tentu kita punya rasa takut, seperti takut akan bencana alam, takut tidak berhasil, takut terkena penyakit, dan takut terkena PHK. Dalam kehidupan politik dan sosial kemasyarakatan, kita tidak terlalu takut pada penguasa, anak-anak juga tidak terlalu takut pada orangtua dan guru. Satu-satunya ketakutan yang secara pelan-pelan tapi pasti merambah semakin dalam adalah ketakutan akan agama dan ajaran kitab suci yang dieksploitasi manusia beragama untuk mengembangkan pengaruh dan kuasa serta mempertahankan status quo. Kita telah ditekan bertubi-tubi dengan berbagai wacana untuk takut pada prinsip-prinsip dari kitab suci yang dianggap mutlak sempurna, luar biasa suci, dan begitu maha mulia, sampai pengikut agamapun rela mengorbankan apapun untuk mempertahankannya.
Ketakutan akan Tuhan itu sudah dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga ketakutan pada ajaran agama, yang wacananya semakin dominan dalam masarakat, sudah berkembang menjadi takut pada suatu kelompok agama tertentu. Bukan hanya rakyat biasa yang takut pada kelompok agama tertentu, sampai aparat keamanan pun takut. Contohnya, pada waktu terjadi tindak kekerasan dan pengrusakan, seharusnya kelompok yang merusak dan melukai tersebut bisa ditangkap langsung; tetapi yang terjadi adalah aparat keamanan takut dan diam saja. Bukan hanya itu, kelompok masyarakat dan pemimpin agamapun harus hati-hati mengkritik apalagi mengecam kelompok lain yang membawa bendera agama dalam melakukan kekerasan. Sungguh mencengangkan bahwa pelanggar aturan negara dan aturan publik tidak bisa ditindak hanya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada interpretasi mereka mengenai ajaran agama.
Ketakutan pada agama juga merambah ke politisi dan pejabat. Mereka sering ditakut-takuti bahwa konstituen yang agamawi tidak akan mendukung mereka, dan mereka memang takut sehingga mereka pura-pura menjadi sangat beragama dan tidak berani membuat kebijakan tegas atau bertindak tegas menghukum siapa saja, termasuk kelompok beragama yang melanggar hukum. Jangankan politisi, calon pemimpin agama yang kritis dan liberalpun perlu menunjukkan kekonservatifannya yang lebih kuat dan harus mau menanggalkan pikiran kritis dan keliberalannya kalau mau menjadi pemimpin kelompok keagamaan tertentu; kalau tidak, jangan harap dirinya bisa terpilih menjadi pemimpin. Tidak berhenti di situ, media massa dan wartawan pun harus takut, atau minimal hati-hati, kalau memberitakan masalah agama; masih ingat protes dan ancaman KISDI terhadap KOMPAS, atau pembredelan majalah Monitor, atau ancaman terhadap Indopos? Lebih jauh lagi, ilmuwan modernpun harus dibuat takut oleh agama. Bisa dilihat sikap mereka yang sangat hati-hati dalam menelaah dan memublikasikan hasil riset mereka mengenai agama. Kalau tidak takut dan terlalu berani dalam mengkritik agama, mereka takut akan di-SalmanRushdi-kan.
Ketakutan pada ajaran agama dan pada pengikut garis-kerasnya ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan di Amerika Serikat, di negara yang sudah ratusan tahun meyakini kebebasan berpendapat pun, orang harus hati-hati kalau mau kritis terhadap agama. Contoh yang gamblang, Random House, calon penerbit buku The Jewel of Medina, karangan Sherry Jones, terpaksa membatalkan penerbitannya karena mendapat peringatan dari pemimpin suatu agama tertentu. Padahal setelah diterbitkan penerbit lain, isi bukunya tidak ada yang menodai agama. Asisten saya yang gemar mengikuti konferensi agama, mencatat contoh-contoh sikap sangat hati-hati para presenter kalau mau mengkritik ajaran agama. Semester lalu, beberapa mahasiswa Arizona State melaporkan saya karena saya terlalu kritis pada ajaran agama waktu mengajar, sehingga direkturnya menegur saya; padahal di kelas saya, mahasiswa merasa bebas membuat argumentasi apa saja asal ada justifikasinya.
Kekuasaan berdasarkan agama memang bisa dilanggengkan, hanya kalau banyak orang takut akan Tuhan dan ajarannya (tidak peduli ajarannya mulia atau tidak, relevan dengan kehidupan sekarang atau tidak). Dan kalau orang masih tidak takut, harus dipaksa takut dengan undang-undang seperti Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1965. Umat beragama (garis keras, terutama) harus mati-matian mempertahankan undang-undang tersebut, karena undang-undang ini membantu menyebarkan rasa takut pada orang yang berniat mengkritik ajaran agama. Selain rasa takut yang kita tanamkan, undang-undang inilah yang melindungi ajaran agama (meskipun ajarannya ada yang bisa saja kurang mulia) dan mengatur penerapan ajaran tersebut dalam kehidupan bermasyarakat umum.
Prinsip, dogma, atau ajaran keagamaan apapun tidak akan menjadi benar dan sempurna, apabila penerapan dan penyebarannya didasarkan pada eksploitasi rasa takut. Ajaran apapun yang diterapkan dalam kehidupan manusia akan menjadi benar, sahih, dihormati, dan dipatuhi dengan sukarela apabila ajaran tersebut dapat dikritisi dan diperdebatkan dan selalu terbuka pada kemungkinan dimodifikasi, paling tidak dari sisi interpretasi dan penerapannya. Namun, para agamawan dan umat beragama, terutama yang garis keras, sudah terlanjur bergantung pada rasa takut untuk melanggengkan penerapan ajaran agama.
Hal ini juga tampak pada usaha penguasa di negara-negara beragama yang sudah lama memanfaatkan eksploitasi atas ketakutan akan Tuhan ini. Akhir-akhir ini mereka gerah dengan banyaknya kritik pada ajaran agama. Kekuatiran mereka mendorong mereka untuk melindungi dan melestarikan rasa takut pada dogma dan Tuhan dengan mengusulkan sebuah resolusi PBB yang berlabel “anti-blasphemy” (anti-penodaan agama). Yang disebut dengan “blasphemy” ini juga bisa diartikan bermacam-macam dan bisa dengan mudah diterapkan pada orang yang mengkritik ajaran agama, mirip dengan UU anti-penodaan agama di Indonesia. Yang jelas tidak adil dari UU anti-penodaan agama ini bukan hanya larangan untuk mengkritik ajaran agama secara umum oleh siapa saja. Yang dapat terjadi adalah agama-agama utama (mainstream) bisa saja menodai, menghina, serta mengutuk keyakinan atau aliran lain yang dianggap sesat atau bahkan merusak dengan kekerasan aliran yang dianggap sesat dan kafir ini; tetapi aliran lain yang bukan mainstream, termasuk orang yang dianggap kafir, tidak boleh mengkritik apalagi menodai agama yang dominan. Jadi ada standard ganda yang sangat menakutkan.
UU anti-penodaan agama ini penting sekali bagi masyarakat beragama, terutama yang sangat konservatif, karena sadar bahwa dogma agama di masa depan banyak yang semakin sulit dipertahankan penerapannya apalagi secara literal. Kita yang beragama memang semakin risih dan gampang tersinggung kalau iman kita yang dalam dan kuat atas ajaran agama yang kita anggap paling suci dan mutlak benar selalu diperdebatkan dan dipertarungkan dengan prinsip-prinsip modern. Apalagi kalau prinsip modern tersebut terus berusaha mencari nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luhur, seperti anti-perbudakan, anti-KDRT, kesetaraan gender, demokrasi, HAM, dll, yang sering berbenturan dengan ayat-ayat kitab suci.
Jadi tidak terlalu meleset untuk berpendapat bahwa exploitasi ide “takut akan Tuhan” bisa menjadi permulaan teokrasi. Teokrasi adalah sistem pemerintahan yang sepenuhnya bergantung pada ketakutan pada pemerintah yang dianggap sebagai wakil Tuhan dan pada aturan yang didasarkan pada ajaran satu agama yang tidak boleh dikritik apalagi disalahkan. Walaupun kemungkinan teokrasi di Indonesia dianggap suatu ilusi, kita sudah dibawa sedikit demi sedikit untuk tidak berani dan untuk takut mengkritik, apalagi menyangkal, aturan, norma, nilai, dan kebudayaan bahkan hukum yang didasarkan hanya pada satu agama tertentu yang menguntungkan suatu kelompok atau suatu aliran tertentu dan yang belum tentu membawa kedamaian, kesejahteraan, dan kemanusiaan yang adil bagi seluruh warga negara Indonesia.
Penerapan peraturan keagamaan semakin kita anggap normal; politisi dan pemerintahpun tidak berbuat apa-apa atas penerapan peraturan-peraturan daerah yang bersifat keagamaan tapi bertentangan dengan UUD 45. Semakin kita tidak kritis pada penerapan ajaran agama tertentu sebagai hukum publik dan aturan umum, semakin kita secara tidak sadar dibawa untuk menerima teokrasi. Tambahan lagi UU penodaan agama bisa menjadi pelindung agama dari segala kritik, sekaligus pelindung penerapan ajaran suatu agama pada masyarakat umum. Tidak ada salahnya takut pada Tuhan, tapi sebaiknya kita sama sekali tidak perlu takut pada ancaman dan kekuasaan pembawa bendara agama tertentu. Kita juga tidak perlu takut untuk melancarkan kritik kita pada hukum, undang-undang, aturan, dan norma yang hanya dilandaskan pada ajaran suatu aliran keagamaan yang belum tentu luhur, adil, manusiawi, memberdayakan, menyejahterakan, dan mendamaikan.
Yang sering ditanyakan adalah: Apa yang lebih luhur dan mulia, hukum Tuhan atau hukum manusia? Jawabnya jelas bukan hukum Tuhan yang diambil langsung secara literal dari kitab suci yang cenderung sektarian; melainkan segala hukum (termasuk yang dianggap dari Tuhan tentunya) yang diinterpretasikan, diperdebatkan, diuji dengan segala kritik berdasarkan pada nurani kemanusiaan dan rasio manusia yang bermotif luhur, yakni untuk menyejahterakan dan mendamaikan seluruh umat manusia tanpa pandang bulu. Untuk itu, kita tidak boleh takut mengkritik ajaran agama, dan untuk itu pula undang-undang penodaan agama harus dihapuskan.
A collective blog founded on Oct 2, 2009, to spread progressive ideas concerning religion, democracy and the future of Indonesia
Saturday, February 27, 2010
Monday, February 8, 2010
KUA Versus KCS
Jurnalis dan kritikus agama dan kebudayaan
Dalam banyak perbincangan dan gurauan bersama teman-teman, seringkali saya menyebut KUA, Kantor Urusan Agama. Biasanya untuk meledek teman-teman yang tidak segera menikah. “Tuh KUA deket, tinggal nikah aja apa susahnya,” begitu biasanya.
Belakangan, saya paling sering mendapat ledekan semacam itu. Saya dituduh tidak peduli dengan pernikahan, padahal urusan nikah begitu sederhana. Tinggal datang ke KUA, akad nikah, sah sudah. Urusan pesta, itu belakangan.
Apa benar semudah itu? Atas rekomendasi seorang teman, saya membaca sebuah buku. Judulnya inspiratif. Kado Cinta untuk Pasangan Nikah Beda Agama. Ya, sesuai dengan keadaan saya. Buku itu memberi sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya selama ini. Betulkah menikah itu sesulit yang saya bayangkan, atau malah semudah yang banyak orang bilang?
Kali ini, saya tak ingin membahas dalil agama soal menikah beda agama. Saya hanya ingin berbicara soal pencatatan nikah oleh negara kita tercinta, Indonesia. Dari buku itu, saya baru tahu kalau Kantor Urusan Agama (KUA) hanya untuk mencatat pernikahan Islam. Sementara pernikahan para pemeluk agama lain dicatat di Kantor Catatan Sipil, sekarang namanya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS).
Ini yang kemudian menjadi kendala setiap pasangan nikah beda agama tidak bisa mencatatkan pernikahannya. Di KUA mereka ditolak, karena salah satunya tidak beragama Islam. Sementara di DKCS mereka juga ditolak, karena salah satunya beragama Islam. Saya ingat bagaimana seorang teman saya yang beragama Katolik menikahi seorang perempuan muslim: dia harus bersusah payah membuat KTP baru yang bertuliskan Islam dalam kolom agama sebagai agamanya. Salah? Ya salah. Tapi dia hanya mencari suatu cara sederhana supaya negara mengakui pernikahan ini. Apalagi tidak ada masalah dari keluarga, dan mereka hanya tinggal menjalani prosesi pernikahan sesuai persyaratan agama masing-masing.
Terlepas dari itu semua, saya tergelitik untuk mempersoalkan nama dua lembaga itu. Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. Dua lembaga yang sebetulnya mempunyai tugas yang sama, yaitu mencatat pernikahan warga negara Indonesia, tetapi diberi label berbeda. Dasar pendirian kedua lembaga ini adalah agama yang dianut pasangan yang akan menikah, Islam atau non-Islam.
Saya bertanya: Mengapa negara harus repot-repot membentuk dua lembaga yang tugasnya sama? Sederhananya, negara harus buang biaya untuk menggaji orang lebih banyak dan untuk menyediakan perangkat yang lebih banyak. Padahal yang diurusi sama.
Kenapa dua lembaga itu tidak digabung jadi satu saja. Khawatir tidak kompeten? Ya cari saja para pegawai yang menguasai soal pernikahan ala Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME.
Selain itu, istilah dua lembaga tersebut saya nilai tidak tepat. Mengapa? Kenapa namanya Kantor Urusan Agama kalau pada kenyataannya hanya mengurusi pernikahan secara Islam. Apa urusan agama hanya mencatat pernikahan Islam? Apa selain Islam, agama lain tidak dianggap sebagai agama?
Lalu, mengapa mereka yang non-Islam pernikahannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil? Apa yang beragama Islam itu berarti bukan orang sipil?
Bagi saya itu suatu keanehan. Dan cenderung diskriminatif. Menurut saya, negara seharusnya hanya bertanggung jawab soal pencatatan nikahnya. Mau menikah dengan cara apa, itu terserah pada pasangan yang menikah. Negara hanya wajib mencatatnya. Dan hanya ada satu catatan. Ibaratnya, hanya ada satu folder yang berisi catatan pernikahan seluruh warga negara Indonesia.
Tidak heran kalau banyak pasangan terpaksa membuat KTP dadakan hanya untuk memudahkan pencatatan nikah. Seperti bermain kucing-kucingan. Bagi yang punya uang banyak, akhirnya memilih menikah di luar negeri. Seperti anak yang coba mempecundangi bapaknya yang sangat galak dan kolot. Bukankah seharusnya negara itu melayani warganya? Bukannya malah membuat suatu sistem yang merepotkan, yang akhirnya membuat warganya semakin tidak tertib dan menghindar dari aturan.
Sering saya berharap, seharusnya negara tak mencantumkan agama di KTP. Gara-gara pencantuman itu, semua urusan administratif jadi sulit. Anda boleh tak sependapat, tapi bagi saya menikah di negeri Indonesia betul-betul susah dan rumit! Ini gara-gara urusan yang sebenarnya sipil, dijadikan urusan agama, padahal negeri kita ini bukan negara agama apapun!
Dalam banyak perbincangan dan gurauan bersama teman-teman, seringkali saya menyebut KUA, Kantor Urusan Agama. Biasanya untuk meledek teman-teman yang tidak segera menikah. “Tuh KUA deket, tinggal nikah aja apa susahnya,” begitu biasanya.
Belakangan, saya paling sering mendapat ledekan semacam itu. Saya dituduh tidak peduli dengan pernikahan, padahal urusan nikah begitu sederhana. Tinggal datang ke KUA, akad nikah, sah sudah. Urusan pesta, itu belakangan.
Apa benar semudah itu? Atas rekomendasi seorang teman, saya membaca sebuah buku. Judulnya inspiratif. Kado Cinta untuk Pasangan Nikah Beda Agama. Ya, sesuai dengan keadaan saya. Buku itu memberi sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya selama ini. Betulkah menikah itu sesulit yang saya bayangkan, atau malah semudah yang banyak orang bilang?
Kali ini, saya tak ingin membahas dalil agama soal menikah beda agama. Saya hanya ingin berbicara soal pencatatan nikah oleh negara kita tercinta, Indonesia. Dari buku itu, saya baru tahu kalau Kantor Urusan Agama (KUA) hanya untuk mencatat pernikahan Islam. Sementara pernikahan para pemeluk agama lain dicatat di Kantor Catatan Sipil, sekarang namanya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS).
Ini yang kemudian menjadi kendala setiap pasangan nikah beda agama tidak bisa mencatatkan pernikahannya. Di KUA mereka ditolak, karena salah satunya tidak beragama Islam. Sementara di DKCS mereka juga ditolak, karena salah satunya beragama Islam. Saya ingat bagaimana seorang teman saya yang beragama Katolik menikahi seorang perempuan muslim: dia harus bersusah payah membuat KTP baru yang bertuliskan Islam dalam kolom agama sebagai agamanya. Salah? Ya salah. Tapi dia hanya mencari suatu cara sederhana supaya negara mengakui pernikahan ini. Apalagi tidak ada masalah dari keluarga, dan mereka hanya tinggal menjalani prosesi pernikahan sesuai persyaratan agama masing-masing.
Terlepas dari itu semua, saya tergelitik untuk mempersoalkan nama dua lembaga itu. Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. Dua lembaga yang sebetulnya mempunyai tugas yang sama, yaitu mencatat pernikahan warga negara Indonesia, tetapi diberi label berbeda. Dasar pendirian kedua lembaga ini adalah agama yang dianut pasangan yang akan menikah, Islam atau non-Islam.
Saya bertanya: Mengapa negara harus repot-repot membentuk dua lembaga yang tugasnya sama? Sederhananya, negara harus buang biaya untuk menggaji orang lebih banyak dan untuk menyediakan perangkat yang lebih banyak. Padahal yang diurusi sama.
Kenapa dua lembaga itu tidak digabung jadi satu saja. Khawatir tidak kompeten? Ya cari saja para pegawai yang menguasai soal pernikahan ala Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME.
Selain itu, istilah dua lembaga tersebut saya nilai tidak tepat. Mengapa? Kenapa namanya Kantor Urusan Agama kalau pada kenyataannya hanya mengurusi pernikahan secara Islam. Apa urusan agama hanya mencatat pernikahan Islam? Apa selain Islam, agama lain tidak dianggap sebagai agama?
Lalu, mengapa mereka yang non-Islam pernikahannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil? Apa yang beragama Islam itu berarti bukan orang sipil?
Bagi saya itu suatu keanehan. Dan cenderung diskriminatif. Menurut saya, negara seharusnya hanya bertanggung jawab soal pencatatan nikahnya. Mau menikah dengan cara apa, itu terserah pada pasangan yang menikah. Negara hanya wajib mencatatnya. Dan hanya ada satu catatan. Ibaratnya, hanya ada satu folder yang berisi catatan pernikahan seluruh warga negara Indonesia.
Tidak heran kalau banyak pasangan terpaksa membuat KTP dadakan hanya untuk memudahkan pencatatan nikah. Seperti bermain kucing-kucingan. Bagi yang punya uang banyak, akhirnya memilih menikah di luar negeri. Seperti anak yang coba mempecundangi bapaknya yang sangat galak dan kolot. Bukankah seharusnya negara itu melayani warganya? Bukannya malah membuat suatu sistem yang merepotkan, yang akhirnya membuat warganya semakin tidak tertib dan menghindar dari aturan.
Sering saya berharap, seharusnya negara tak mencantumkan agama di KTP. Gara-gara pencantuman itu, semua urusan administratif jadi sulit. Anda boleh tak sependapat, tapi bagi saya menikah di negeri Indonesia betul-betul susah dan rumit! Ini gara-gara urusan yang sebenarnya sipil, dijadikan urusan agama, padahal negeri kita ini bukan negara agama apapun!
Labels:
Catur Ratna Wulandari,
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,
Kantor Urusan Agama,
Menikah di Indonesia Sulit
Friday, February 5, 2010
Negara Berlandaskan Agama, Tidak Punya Masa Depan!
Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal
Jika Anda diminta untuk menyatakan negara mana yang akan memiliki masa depan, negara yang berdasar pada sebuah agama dalam segala bidang kehidupan, suatu negara yang teokratis total, atau negara yang berdasar sains, apa jawab Anda. Kalau Anda menjawab bahwa negara yang memiliki masa depan adalah negara teokratis, maka jawaban Anda ini salah total. Sebaliknya, kalau Anda memandang bahwa negara yang mempunyai masa depan adalah negara yang berlandaskan sains, pandangan Anda ini benar, berdasarkan sejumlah alasan berikut.
Agama mengasalkan segala sesuatu di dalam alam ini pada satu (atau lebih) figur adikodrati yang oleh orang beragama di Indonesia dinamakan “tuhan” atau “allah” atau “dewa” yang tidak kelihatan. Figur ini dibayangkan berdiam di kawasan adikodrati yang dinamakan surga, langit atau kayangan, dan dipercaya kerap berintervensi ke dalam alam (nature) dengan melanggar hukum alam (the laws of nature, atau natural laws) dan menghasilkan apa yang dinamakan mukjizat.
Sains sebaliknya mengasalkan segala sesuatu dalam alam ini pada diri alam itu sendiri. Sains menolak keberadaan dunia adikodrati (supernatural world) dan hanya menerima keberadaan dunia kodrati (natural world). Sains menjelaskan segala sesuatu berdasarkan hukum sebab-akibat alamiah yang bisa diobservasi, diselidiki, dijelaskan dengan rasional dan sistematis dan diperlihatkan dengan empiris dan objektif. Sains memandang hukum alam sebagai hukum yang abadi dan kerja hukum alam ini dipandang tidak bisa diintervensi secara alamiah oleh makhluk apapun. Teknologi tidak bisa membatalkan hukum alam, sebab teknologi dibangun dengan mengikuti kerja hukum alam dan banyak di antaranya ditemukan karena manusia mau belajar dari alam dan hukum-hukumnya. Teknologi rekayasa genetik yang sekarang sudah dioperasionalisasikan juga tidak melanggar hukum alam.
Agama dibangun di atas sebuah (atau lebih) dogma keagamaan yang diformulasikan bukan dengan cara ilmiah melainkan berdasarkan kepercayaan atau iman saja. Isi iman keagamaan tidak bisa dibuktikan secara empiris objektif tetapi diterima begitu saja sebagai kebenaran. Jika seseorang mau diterima ke dalam suatu komunitas keagamaan, orang ini harus bersedia memutuskan dalam dirinya sendiri (keputusan subjektif) bahwa apa yang diajarkan dan dipegang komunitas ini sebagai dogma adalah suatu kebenaran, tanpa boleh mempertanyakannya.
Sains sebaliknya tidak bekerja berdasarkan suatu dogma keagamaan apa pun, melainkan berdasarkan postulat-postulat atau teori-teori yang dibangun secara rasional dan dilahirkan dari sekian upaya observasi, penelitian, sistematisasi, pembuktian dan ujicoba yang empiris. Observasi dan ujicoba ini terus-menerus berlangsung sehingga suatu teori atau suatu postulat bisa digugurkan, lalu akan disusun teori dan postulat baru, demikian seterusnya. Kebenaran sains harus objektif, tidak bisa subjektif menurut selera si ilmuwan, terlepas dari bukti empiris.
Agama tidak memerlukan laboratorium uji coba, observasi dan eksperimentasi, karena agama dibangun hanya berdasarkan kepercayaan pada wahyu ilahi yang dulu diterima dan disebarkan si pendiri agama. Wahyu ini hanya tinggal diterima oleh umat dengan kepercayaan penuh sebagai sesuatu yang autoritatif untuk seluruh bidang kehidupan. Dari wahyu primordial ini diturunkanlah berbagai akidah keagamaan yang harus dipercaya dan ritual religius yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari umat.
Sains sebaliknya memerlukan laboratorium untuk observasi, penyelidikan, uji coba dan eksperimentasi. Kepercayaan membuta tidak mendapat tempat dalam pengembangan sains. Sains modern sudah sangat terspesifikasi sehingga tidak ada satu cabang ilmu modern pun yang dapat mengklaim bisa menjelaskan atau berkuasa atas seluruh bidang kehidupan. Para ilmuwan moden sekarang harus bisa bekerja secara interdisipliner dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban.
Agama tidak memberi tempat pada keraguan terhadap dogma-dogma yang dibangun dalam sejarah umat dan khususnya terhadap wahyu ilahi yang diterima sang pendiri agama dulu, yang dipercaya terekam dalam Kitab Suci. Jika seorang anggota suatu komunitas keagamaan meragukan otoritas wahyu ilahi atau suatu dogma keagamaan, orang ini akhirnya akan dinyatakan sebagai bidah lalu diekskomunikasi. Dialog dengan para bidah sama sekali tidak dimungkinkan.
Sains sebaliknya justru bisa dikembangkan dari waktu ke waktu karena sains menerima dan mendialogkan dengan serius keraguan terhadap teori-teori atau postulat-postulat yang sudah diterima secara luas sebelumnya (received theories). Keraguan ini tentu saja harus dibeberkan secara ilmiah sebelum dibahas. Dalam sains, keraguan adalah ibu kandung temuan-temuan keilmuwan baru.
Agama kuat berorientasi ke masa lalu karena umat beragama percaya bahwa ketika agama mereka dibangun dan disebarkan oleh sang pendiri beserta para murid perdananya dulu segala sesuatu yang diperlukan untuk membimbing kehidupan sudah diwahyukan atau digariskan. Keraguan terhadap zaman keemasan agama di masa lalu dan terhadap pandangan-pandangan yang dilahirkan di dalamnya dipandang sebagai bahaya dan karena itu harus diberantas.
Sains sebaliknya berorientasi ke masa depan, dengan terus-menerus mengkaji teori-teori dan postulat-postulat lama untuk digantikan dengan teori-teori dan postulat-postulat baru yang dilihat akan lebih dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini. Ketidaktepatan suatu teori atau postulat sains adalah sesuatu yang diterima dengan wajar dan malah mendorong upaya ilmiah untuk menemukan teori dan postulat baru.
Agama memerlukan suatu figur tunggal karismatis yang tidak boleh digugat dan yang dipercaya memiliki akses langsung ke rahasia-rahasia ilahi yang diungkapkan oleh suatu allah hanya kepadanya. Melawan sang tokoh karismatis ini sama dengan melawan allah dan akibatnya si pelawan akan terkena kutuk dan penghukuman ilahi.
Sains sebaliknya menolak satu figur tunggal karismatis yang tidak bisa digugat. Sains malah mengundang semua orang tanpa pilih bulu untuk menyumbangkan pandangan-pandangan ilmiah mereka, jika mereka mampu dan qualified, demi pengembangan sains dan kebaikan umat manusia. Sains tidak boleh merahasiakan sesuatu, melainkan justru harus menyibak semua rahasia alam dan membuka rahasia-rahasia ini kepada publik untuk diketahui dan dijadikan pengetahuan bersama. Inilah public ethics dan public responsibility dari setiap ilmuwan.
Ketika para agamawan menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh sains modern dan tertinggal sebagai “gaps” dalam dunia sains, mereka akan langsung mengisi “gaps” ini dengan suatu figur adikodrati yang dinamakan allah (god). God para agamawan ini dikenal sebagai “god of the gaps” yang tidak disukai para saintis.
Sebaliknya, jika para ilmuwan menemukan sesuatu yang tidak dapat mereka jelaskan menurut perspektif sains sekarang, sehingga ada “missing links” atau “gaps” dalam rantai atau bingkai ilmu pengetahuan mereka, mereka tidak akan pernah menunjuk suatu oknum adikodrati yang dinamakan allah sebagai pengisi links atau gaps ini. Mereka hanya akan menyatakan bahwa mereka belum bisa mengisi missing links atau gaps ini sekarang, dan membiarkannya untuk suatu saat dapat dijelaskan oleh sains. Inilah posisi para ilmuwan ketika berhadapan dengan fenomena alam yang disebut para agamawan sebagai mukjizat.
Nah, tujuh wilayah pertentangan tajam antara sains dan agama yang telah disebut di atas mengharuskan setiap orang yang menginginkan negaranya memiliki masa depan yang cerah memilih untuk sekuat mungkin mengupayakan negaranya dibangun berlandaskan sains, dan bukan berlandaskan agama apapun. Seandainya agama masih ingin dilibatkan dalam pengaturan suatu negara, agama harus bisa menyesuaikan dirinya dengan semua sifat sains yang telah dikemukakan di atas, menjadi agama yang rasional. Untuk bisa menjadikan agama sebagai suatu pranata kultural yang rasional, setiap insan beragama harus menjadi makhluk yang rasional terlebih dulu. Untuk bisa sampai ke tujuan ini, kegiatan pendidikan di segala jenjang usia dan ragam profesi perlu dijalankan untuk menghasilkan kaum terpelajar yang mampu berpikir rasional dan konsisten berpikir rasional.
Subscribe to:
Posts (Atom)