Monday, February 8, 2010

KUA Versus KCS

getting married in Indonesia for both of them is very complicated!

Author: Catur Ratna Wulandari
Jurnalis dan kritikus agama dan kebudayaan

Dalam banyak perbincangan dan gurauan bersama teman-teman, seringkali saya menyebut KUA, Kantor Urusan Agama. Biasanya untuk meledek teman-teman yang tidak segera menikah. “Tuh KUA deket, tinggal nikah aja apa susahnya,” begitu biasanya.

Belakangan, saya paling sering mendapat ledekan semacam itu. Saya dituduh tidak peduli dengan pernikahan, padahal urusan nikah begitu sederhana. Tinggal datang ke KUA, akad nikah, sah sudah. Urusan pesta, itu belakangan.

Apa benar semudah itu? Atas rekomendasi seorang teman, saya membaca sebuah buku. Judulnya inspiratif. Kado Cinta untuk Pasangan Nikah Beda Agama. Ya, sesuai dengan keadaan saya. Buku itu memberi sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya selama ini. Betulkah menikah itu sesulit yang saya bayangkan, atau malah semudah yang banyak orang bilang?

Kali ini, saya tak ingin membahas dalil agama soal menikah beda agama. Saya hanya ingin berbicara soal pencatatan nikah oleh negara kita tercinta, Indonesia. Dari buku itu, saya baru tahu kalau Kantor Urusan Agama (KUA) hanya untuk mencatat pernikahan Islam. Sementara pernikahan para pemeluk agama lain dicatat di Kantor Catatan Sipil, sekarang namanya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS).

Ini yang kemudian menjadi kendala setiap pasangan nikah beda agama tidak bisa mencatatkan pernikahannya. Di KUA mereka ditolak, karena salah satunya tidak beragama Islam. Sementara di DKCS mereka juga ditolak, karena salah satunya beragama Islam. Saya ingat bagaimana seorang teman saya yang beragama Katolik menikahi seorang perempuan muslim: dia harus bersusah payah membuat KTP baru yang bertuliskan Islam dalam kolom agama sebagai agamanya. Salah? Ya salah. Tapi dia hanya mencari suatu cara sederhana supaya negara mengakui pernikahan ini. Apalagi tidak ada masalah dari keluarga, dan mereka hanya tinggal menjalani prosesi pernikahan sesuai persyaratan agama masing-masing.

Terlepas dari itu semua, saya tergelitik untuk mempersoalkan nama dua lembaga itu. Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. Dua lembaga yang sebetulnya mempunyai tugas yang sama, yaitu mencatat pernikahan warga negara Indonesia, tetapi diberi label berbeda. Dasar pendirian kedua lembaga ini adalah agama yang dianut pasangan yang akan menikah, Islam atau non-Islam.

Saya bertanya: Mengapa negara harus repot-repot membentuk dua lembaga yang tugasnya sama? Sederhananya, negara harus buang biaya untuk menggaji orang lebih banyak dan untuk menyediakan perangkat yang lebih banyak. Padahal yang diurusi sama.

Kenapa dua lembaga itu tidak digabung jadi satu saja. Khawatir tidak kompeten? Ya cari saja para pegawai yang menguasai soal pernikahan ala Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME.

Selain itu, istilah dua lembaga tersebut saya nilai tidak tepat. Mengapa? Kenapa namanya Kantor Urusan Agama kalau pada kenyataannya hanya mengurusi pernikahan secara Islam. Apa urusan agama hanya mencatat pernikahan Islam? Apa selain Islam, agama lain tidak dianggap sebagai agama?

Lalu, mengapa mereka yang non-Islam pernikahannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil? Apa yang beragama Islam itu berarti bukan orang sipil?

Bagi saya itu suatu keanehan. Dan cenderung diskriminatif. Menurut saya, negara seharusnya hanya bertanggung jawab soal pencatatan nikahnya. Mau menikah dengan cara apa, itu terserah pada pasangan yang menikah. Negara hanya wajib mencatatnya. Dan hanya ada satu catatan. Ibaratnya, hanya ada satu fold
er yang berisi catatan pernikahan seluruh warga negara Indonesia.

Tidak heran kalau banyak pasangan terpaksa membuat KTP dadakan hanya untuk memudahkan pencatatan nikah. Seperti bermain kucing-kucingan. Bagi yang punya uang banyak, akhirnya memilih menikah di luar negeri. Seperti anak yang coba mempecundangi bapaknya yang sangat galak dan kolot. Bukankah seharusnya negara itu melayani warganya? Bukannya malah membuat suatu sistem yang merepotkan, yang akhirnya membuat warganya semakin tidak tertib dan menghindar dari aturan.

Sering saya berharap, seharusnya negara tak mencantumkan agama di KTP. Gara-gara pencantuman itu, semua urusan administratif jadi sulit. Anda boleh tak sependapat, tapi bagi saya menikah di negeri Indonesia betul-betul susah dan rumit! Ini gara-gara urusan yang sebenarnya sipil, dijadikan urusan agama, padahal negeri kita ini bukan negara agama apapun!