Wednesday, August 18, 2010

Media, Negara dan Seks

Seks tampaknya telah menjadi sebuah momok karena ulah agama dan negara. Sebab mereka menghadapi seks dengan kedunguan dan bukan dengan kecerdasan. Dalam mengatur seksualitas perempuan, sejarah Indonesia membuktikan kedunguan tersebut, mulai dari zaman Orde Lama, zaman Orde Baru hingga zaman Reformasi. Padahal seksualitas perempuan tidak dilahirkan oleh agama atau negara. Oleh sebab itu, seksualitas perempuan tak patut diatur oleh mereka yang bukan perempuan. Seksualitas perempuan lahir dari alam, dari rahim perempuan itu sendiri.
Menkominfo tampaknya perlu mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai batasan-batasan negara untuk tidak mencampuri ranah pribadi individu. Dia tidak dapat membedakan mana urusan publik dan mana urusan privat. Soal pribadi seperti kasus Ariel-Luna Maya-Cut Tari dieksploitasi oleh negara menjadi soal publik, menunggangi fundamentalisme untuk kepentingan politik. Sementara soal negara seperti penggelapan pajak dan kartel direduksi menjadi soal personal elit politik.


Author: Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan
dan
Pengajar tetap di Departemen Filsafat, FIB,
Universitas Indonesia


 

MEDIA

Limabelas tahun yang lalu ketika Yayasan Jurnal Perempuan menggagas Jurnal Perempuan sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia, banyak kalangan umum bingung menyikapi apa sebenarnya “binatang” ini? Seingat saya ada dua respons yang cukup dominan; yang pertama, mereka menganggap Jurnal Perempuan pasti majalah tentang masak-memasak sehingga penawaran toko buku adalah menempatkan jurnal ini di tempat rak-rak topik memasak. Respons kedua, terutama datang dari lapak majalah di kawasan Senin, adalah anggapan bahwa majalah ini pasti memuat pose-pose perempuan yang “syur”, si penjaja majalah menebak sambil nyengir. Cukup melelahkan memang menjelaskan kepada mereka apa itu Jurnal Perempuan, apalagi belum ada bentuk jurnalnya karena hanya baru sebatas ide. Ide ini hendak diuji coba di lapangan penjualan majalah-majalah. Tapi gagal total. Karena, sulit untuk menjelaskan majalah feminisme kalau spektrum yang ditawarkan adalah antara masak-memasak hingga hal yang “syur”. Begitulah cara berpikir dikotomik yang ada di masyarakat. Perempuan didefinisikan masuk dalam dua spektrum tersebut. Tidak ada ruang lain bagi perempuan.


Ini sebenarnya bukan kesalahan interpretasi sepenuhnya dari masyarakat. Sebab masyarakat memang dididik oleh media untuk berpikir secara dikotomik. Representasi perempuan dibentuk dan dimaknai oleh media populer yang merambah jutaan pembaca. Bagaimana perempuan harus berpenampilan, bersikap dan bertindak, semua ditentukan oleh media yang memuat sampul majalah mengkilat dan berwarna-warni.

Pencitraan perempuan tentu membentuk juga peran gender di dalam masyarakat. UNESCO dalam laporannya tentang representasi perempuan di media, mengungkapkan bahwa “sistem representasi yang diciptakan media berkontribusi membentuk proses ideologi masyarakat” (Steeves, 1989:89). Media di sini bisa diartikan sebagai media massa yang luas seperti literatur, novel, buku-buku teks, film, iklan, media cetak, dan sebagainya. Oleh sebab itu, kita perlu membongkar gambaran-gambaran perempuan Indonesia sepanjang sejarah untuk melihat bagaimana perempuan Indonesia dibentuk oleh media, politik dan negara.

Thamrin Amal Tomagola adalah nama yang tidak asing lagi dalam merujuk referensi tentang representasi perempuan dalam media. Dia melakukan penelitian atas empat majalah wanita yaitu Kartini, Femina, Sarinah dan Pertiwi dalam kurun waktu 1985-1989. Tujuan penelitiannya adalah untuk melihat bagaimana perempuan urban Indonesia direpresentasikan. Dari 150 edisi yang dia teliti, dia menyimpulkan bahwa perempuan Indonesia direpresentasikan dalam 5 image: (1) Sebagai “pigura”, (2) sebagai “pilar”, (3) sebagai “peraduan” (tempat tidur), (4) sebagai “pinggan”. Dia menambahkan bahwa perempuan Indonesia terkesan homogen dan selalu terestriksi pada peranan mereka sebagai istri dan ibu (1990: 8,9). Tentu Prof. Tomagola melakukan penelitian ini di zaman Orde Baru yang lebih mengutamakan image perempuan sebagai istri yang setia menunjang karier suami dan ibu-ibu sejati.

Sedangkan gambaran perempuan di masa kolonial dilakukan antara lain oleh seorang peneliti Belanda bernama Peter Carey dan Vincent Houben yang meneliti representasi perempuan Jawa di zaman kolonial. Menurut mereka, dari literatur-literatur yang mereka temukan, perempuan Jawa terutama yang tergolong priyayi digambarkan sebagai “boneka-boneka yang anggun tapi tidak berotak” (1987: 13). Mereka juga digambarkan sebagai perempuan-perempuan yang memiliki keindahan tubuh, objek seks dan fantasi liar baik bagi pria pribumi maupun pria Belanda. Gambaran-gambaran perempuan di masa penjajahan juga kerap ditulis di dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer, meskipun ada gambaran perempuan cerdas seperti Nyai Ontosoroh, namun ia adalah seorang nyai. Sedangkan Elsbeth Locher-Scholten menggambarkan bahwa perempuan-perempuan biasa di zaman kolonial sebagian besar adalah pengasuh anak-anak keluarga Belanda atau disebut babu. Foto-foto perempuan Jawa di zaman kolonial banyak ditemukan oleh para peneliti, dengan keterangan misalnya, “Jantje en Agnes diasuh oleh babu Mina, Surabaya, 1915” (2000:9). Tidak ada bedanya memang dengan keadaan sekarang, hanya perempuan Indonesia yang menjadi pengasuh anak lebih banyak di luar negeri dan bila ditempatkan di Arab Saudi keterangan menjadi “Keni binti Carda disetrika oleh majikannya, 2008”.

Bila dibandingkan penggambaran perempuan di media yang mengalami kekerasan dan yang memakai baju seksi atau bahkan pakaian sangat minimal seperti di majalah Playboy edisi Indonesia perdana, tanggal 6 April 2006, yang memuat pose model Andhara Early, tentu sangat berbeda. Yang satu, menunjukkan wajah penderitaan, dan yang satu lagi menunjukkan wajah ceria. Majalah Playboy Indonesia ketika terbit pertama kali sangat ramai dibicarakan dan diprotes sangat keras oleh berbagai ormas Islam seperti KAPMI (Kesatuan Aksi Pemudi Muslim Indonesia), MAPPI (Masyarakat Anti Pembajakan dan Pornografi di Indonesia) dan FPI (Front Pembela Islam); namun organisasi-organisasi tersebut tidak menunjukkan batang hidungnya ketika Nirmala Bonat atau Keni binti Carda dianiaya dan disiksa oleh majikannya di Arab Saudi. Heboh majalah Playboy sangat terasa di media massa. Hampir semua media memuat pemberitaan majalah Playboy Indonesia dan mengulas dengan rinci kontroversi-kontroversi yang terjadi seperti di Liputan 6 SCTV (13 April 2006), Trans TV (14 April 2006), RCTI Nuansa Pagi (15 April 2006) dan sederet surat kabar terkemuka di Indonesia. Lalu, bagaimana dengan pemberitaan kekerasan terhadap perempuan? Sepi.

Apa yang menjadi persoalan adalah representasi perempuan di media tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan negara yang dihasilkan. Bila negara memiliki fiksasi pada pengontrolan tubuh perempuan, maka, media dan masyarakat akan mencandu pada tema-tema seks dangkal, tanpa pengetahuan memadai dan penghargaan pada seks dan seksualitas perempuan.


NEGARA


Apakah media tidak tertarik pada persoalan kekerasan yang dialami oleh perempuan? Reportase tentang kekerasan yang dialami perempuan jauh lebih sedikit dibandingkan berita-berita tentang skandal seks yang terjadi di dalam masyarakat. Persoalannya terletak pada banyak hal. Pemberitaan kekerasan yang dialami perempuan menuntut pembongkaran nilai-nilai patriarki, sebuah penulisan yang mendalam tentang apa yang salah di dalam sistim masyarakat dan negara yang membiarkan terus menerus perempuan teraniaya. Sedangkan skandal seks tidak memerlukan banyak latihan otak, cukup memberikan bumbu-bumbu kejadian (kalau perlu dilebih-lebihkan) sehingga masyarakat terbius oleh aluran “cerita” yang mengasyikkan. Cara pandang yang dangkal tentang seks dipupuk dalam masyarakat yang patriarkis dan disuburkan oleh negara dengan kebijakan-kebijakan yang mengekang perempuan.

Juliet Mitchell menyebutkan di dalam bukunya yang berjudul Woman’s Estate, bahwa masyarakat patriarkis melihat kunci struktur situasi perempuan sebagai berikut: Produksi, Reproduksi, Seksualitas dan Sosialisasi Anak (1971:101). Mitchell menjelaskan bahwa perbedaan jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki dijadikan alasan untuk membedakan pula pekerjaan yang berlangsung berabad-abad lamanya. Perempuan yang memiliki anatomi lebih lemah dan lebih kecil dari pria masuk dalam bursa tenaga kerja yang lebih ringan. Sedangkan laki-laki mendapatkan pekerjaan yang lebih berat. Pekerjaan perempuan yang “ringan” tersebut kemudian diartikan sebagai pekerjaan yang sepele, sedangkan pekerjaan yang “berat” diartikan sebagai pekerjaan yang penting. Ketika pekerjaan ringan disamakan maknanya dengan pekerjaan sepele, maka, menurut interpretasi Marx, Engels dan De Beauvoir, masyarakat serta-merta menganggap perempuan juga makhluk sepele atau makhluk tidak penting (1971: 102). Sebaliknya, laki-laki di dalam simbolisasi masyarakat menjadi penting dan bernilai. Padahal, bila mau hitung-hitungan jam kerja, pekerjaan domestik perempuan melebihi pekerjaan kantoran laki-laki. Misalnya di Swedia, telah dihitung bahwa mereka yang bekerja di rumah bekerja sebanyak 2340 juta jam per tahun, sedangkan mereka yang bekerja di kantor hanya sebanyak 1290 juta jam per tahun (1971:102). Belum dihitung bila perempuan bekerja di kantor seringkali juga harus memikul beban bekerja di rumah lebih banyak daripada laki-laki.

Konsep patriarkis yang menyepelekan pekerjaan perempuan dengan demikian menyepelekan jenis kelamin perempuan, dan hal ini berakibat fatal di dalam kebijakan perlindungan ketenagakerjaan perempuan. Pelecehan seksual di tempat kerja bukan hal yang asing bagi perempuan, apakah dia bekerja kantoran atau bekerja sebagai pekerja domestik. Di negara Indonesia, pekerja domestik tidak dilindungi hak-haknya sebagai pekerja. Hingga hari ini sebanyak 2,6 juta perempuan dan anak perempuan yang bekerja sebagai pekerja domestik tidak dilindungi secara hukum, misalnya tidak ada aturan mengenai lama jam kerja, renumerasi yang pantas, hak cuti dan asuransi kesehatan. Faktanya, begitu banyak perempuan dan anak perempuan yang bekerja sebagai pekerja domestik hidup dalam keadaan tanpa kepastian hukum dan kadang teraniaya. Berulang kali, Amnesty Internasional meminta negara Indonesia agar segera mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Domestik; Komisi IX seharusnya segera memerhatikan soal ini.

Penyepelean terhadap pekerjaan perempuan bahkan perempuan yang bekerja (karena hanya dianggap sebagai suplemen uang rumah tangga dan bukan tuntutan karier) menyebabkan sektor produksi oleh kalangan perempuan menjadi kritis; dan hal ini berakibat pula pada peranan perempuan dalam reproduksi. Kebutuhan maternal mengakibatkan perempuan harus berhenti atau menunda kariernya bahkan merasa bersalah bila meninggalkan anak-anaknya untuk bekerja. Pengutamaan peranan reproduksi pada perempuan dan bukan produksi dikuatkan oleh berbagai kebijakan-kebijakan negara; contohnya yang paling berhasil adalah sosok Dharma Wanita, instrumen yang dipakai negara ketika zaman Orde Baru untuk menguatkan gambaran perempuan yang maternal dan mengutamakan karier suami dan bukan karier dirinya.

Tidakkah teman-teman ingat masa itu? Mungkin bagi generasi saya masa itu ditandai oleh simbol rambut sasak ibu-ibu yang tinggi dan berkacamata hitam. Ibu-ibu Dharma Wanita bagi masyarakat kebanyakan adalah ibu-ibu pejabat yang memiliki banyak program amal (bukan memberdayakan) dan yayasan-yayasan yang tak terhitung jumlahnya. Fase ibu-ibu Dharma Wanita di zaman Orde Baru merupakan fase intervensi negara terhadap definisi perempuan Indonesia. Tiada hari tanpa berita tentang ibu-ibu Dharma Wanita, istri-istri pejabat yang rajin berkebaya dan berkacamata hitam, yang tentu juga menikmati sebagian besar hasil korupsi para pejabat negara kala itu karena, seperti dikatakan oleh James Wolfenson, mantan presiden Bank Dunia, bahwa 30% dari hasil pinjaman dari negara Indonesia dikorupsi oleh para penyelenggara negara (Bank Dunia, dalam laporan Walhi, 2000).

Sosok “ibu-ibu” yang diunggulkan oleh rezim Orde Baru bukanlah tanpa desain atau ideologi yang mendasarinya. Sosok ini merupakan sosok yang dianggap ideal kala itu untuk menghapus memori publik tentang sosok perempuan yang lebih radikal, berdaya dan aktif di dalam pergerakan masyarakat. Misalnya Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang merupakan sebuah organisasi perempuan terbesar sebelum masa Orde Baru. Gerwani memainkan peranan yang penting di dalam pemberdayaan perempuan di era Orde Lama dan juga salah satu organisasi yang berjuang untuk membangun apa yang disebut dengan negara Indonesia. Gerwani memiliki garis ideologi yang jelas dan berafiliasi dengan partai Komunis. Ketika terjadi pemberantasan Partai Komunis Indonesia dan mereka yang bersimpati dengan komunisme, Gerwani ikut diberantas, apalagi Gerwani dituduh ikut membunuh para jenderal Republik Indonesia. Baik tokoh-tokoh maupun anggota Gerwani yang tidak tahu menahu tentang afiliasi Gerwani dengan Partai Komunis Indonesia, diburu dan dipenjara. Sosok Gerwani bukan saja digambarkan sebagai sosok pergerakan yang diselimuti oleh komunisme, namun juga sosok yang ditelanjangi dengan moralitas yang buruk, tubuh murahan yang doyan menari “genjer-genjer”, doyan merayu dan memperdayakan para jenderal. Gambaran ini terus-menerus dipatri ke dalam benak masyarakat setiap hari peringatan G-30 S PKI (lihat film Lubang Buaya dan tulisan Saskia Wieringa). Pada akhirnya, simbol Gerwani yang memberdayakan perempuan pupus dan terhapus, apalagi afiliasi terhadap komunisme di Indonesia berbahaya, karena dapat menyengsarakan seluruh keturunan.

Dua organisasi perempuan yang berbeda, Gerwani dan Dharma Wanita atau PKK (di tingkat lokal), mempunyai ciri organisasi yang sangat berbeda dan definisi seksualitas yang berbeda pula. Pada Dharma Wanita dan PKK peranannya ditunjang kuat oleh negara atau sebagai suatu perpanjangan tangan negara. Struktur organisasi Dharma Wanita sangat tersentralisasi dan memiliki struktur yang dimulai dari komando dari atas, yakni Presiden Republik Indonesia, dan turun kepada istri-istri pegawai negeri. Struktur ini mengikuti pangkat suami.

Begitu besarnya intervensi negara pada pendefinisian peranan perempuan, dan hal ini berakibat pula pada kegatalan negara untuk mendefinisikan seksualitas perempuan. Regulasi tentang kehidupan keluarga dan pola seksual pegawai negeri ditentukan oleh negara. Misalnya, dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 jelas tertera bahwa suami adalah kepala rumah tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga. Tentu dengan predikat “kepala” itu, lebih banyak benefit yang diterima oleh suami daripada istri termasuk dibolehkannya laki-laki berpoligami meskipun dengan pembatasan-pembatasan. PP 10/1983 misalnya dianggap sebagai peraturan yang melindungi istri-istri pegawai negeri dari kelakuan para suami yang doyan berpoligami. Dengan aturan ini, para istri dapat melapor pada atasan suami. Namun realitasnya, tidak banyak istri pegawai negeri yang menggunakan PP 10/1983 karena melaporkan kepada atasan suami dianggap memalukan keluarga dan dapat memengaruhi jabatan suami, dan dengan demikian memengaruhi sumber penghasilan keluarga, atau masa depan dia dan anak-anaknya tak akan terjamin lagi. Dengan demikian para istri memilih menderita dalam diam. (Julia Suryakusuma, 2004:204).

Begitu banyak kebijakan negara yang mengatur seksualitas perempuan dengan semena-mena. Tubuh perempuan tidak lagi milik perempuan; berulangkali kebijakan-kebijakan negara menghasilkan undang-undang yang menunjukkan nilai tubuh perempuan ditentukan oleh negara. Hak-hak reproduksi perempuan dibatasi sedemikian rupa termasuk rahimnya. Contohnya adalah Undang-Undang kesehatan yang baru, yang merupakan hasil revisi dari undang-undang nomer 23 tahun 2002. Undang-undang ini mengalami kemajuan di sana-sini, seperti alokasi anggaran kesehatan yang lebih memadai; namun dalam hal menentukan siapa yang paling berotoritas dalam menentukan rahim perempuan, tetap perempuan tidak diberikan hak memilih. Dua fraksi, Fraksi Partai Damai Sejahtera dan Fraksi Partai Bulan Bintang memberikan catatan terhadap undang-undang ini khususnya mengenai aborsi (Tempo Interaktif, 14 September 2009).

Tidak jelas apakah kedua fraksi tersebut membaca laporan-laporan penelitian yang dihasilkan oleh berbagai lembaga yang memiliki kredibilitas, seperti hasil penelitian Pusat Penelitian Kesehatan, Universitas Indonesia, yang menyatakan bahwa pada tahun 2000 di Indonesia diperkirakan sekitar dua juta aborsi terjadi, dengan sampel diambil dari 6 wilayah. Estimasi aborsi berdasarkan penelitian ini adalah: angka tahunan aborsi sebesar 37 aborsi untuk setiap 1,000 perempuan usia reproduktif (15-49 tahun). Perkiraan ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia: dalam skala regional sekitar 29 aborsi terjadi untuk setiap 1,000 perempuan usia reproduktif.

Lalu, apakah kedua fraksi ini mengetahui bahwa ternyata aborsi di Indonesia lebih banyak dilakukan bukan oleh remaja tetapi oleh ibu-ibu atau oleh mereka yang sudah menikah, bahwa duapertiga dari klien yang melakukan aborsi sudah menikah, dan bahwa hampir dua-pertiga sudah pernah duduk di bangku sekolah menengah dan telah memiliki minimal dua anak (lihat lebih jauh laporan Guttmacher Institute, Seri 2008, No.2). Artinya apa? Artinya adalah para anggota Dewan yang terhormat salah besar bila mengartikan bahwa seks berkaitan dengan unsur moral bejad, remaja perempuan jalang yang mencari mangsa laki-laki lalu hamil. Saran saya: lebih banyaklah merujuk pada laporan penelitian bila menjadi anggota Dewan ketimbang merujuk pada “ayat-ayat” yang tak jelas, kedepankanlah argumen moral, sementara fakta sosial sudah sedemikian parahnya dan akibat aborsi yang tidak aman ini memengaruhi angka kematian ibu yang tinggi pula di negara ini.

SEKS


Mengapa seks dan moralitas selalu dikaitkan bila menyangkut seksualitas perempuan? Lebih parah lagi penyusunan kebijakan-kebijakan yang mengatur seksualitas perempuan tidak ditunjang oleh kajian-kajian sosial mendalam tetapi lebih bertumpu pada hasil pengajian-pengajian di ruang tamu para ulama atau siaran pernyataan fatwa-fatwa majelis yang sepihak. Mulai dari Undang-Undang Perkawinan tahun 1974, Undang-Undang Pornografi hingga Undang-Undang Kesehatan dan terakhir fenomena Perda-Perda yang ikut mengatur pula cara berpakaian dan cara bertingkah laku perempuan, dan di beberapa tempat diberlakukan “jam malam” untuk perempuan. Sudah dibeberkan berbagai penelitian baik di Jurnal Perempuan maupun dalam pernyataan-pernyataan Komnas Perempuan yang menyatakan bahwa perda-perda terkait pengaturan seksualitas perempuan (pakaian dan perilaku) merugikan perempuan, dan dengan demikian merugikan bangsa dan memundurkan peradaban manusia.

Apa yang sedang terjadi di Aceh seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita semua. Berapa banyak korban anak-anak perempuan yang dijaring oleh polisi Syariah karena dianggap tidak berpakaian layak? Berapa banyak korban anak-anak perempuan yang diarak dan dipermalukan karena menikmati hari bersama kekasihnya? Berapa banyak korban ibu-ibu yang diancam dirajam karena dituduh berzinah? Berapa banyak homoseksual yang hidup ketakutan dan mengalami kebrutalan setiap harinya? Bahkan anak-anak perempuan yang dirazia pakaiannya juga diperkosa oleh perazia yang berotoritas, yang katanya lebih beragama daripada anak-anak perempuan ini. Laporan-laporan ini sangat transparan, media memuatnya secara luas, namun tidak ada tindakan apapun terhadap kekerasan yang berlangsung di Aceh dan di berbagai provinsi yang menerapkan perda-perda diskriminatif terhadap perempuan. Negara membiarkan, dan kekerasan terus berlangsung hingga hari ini.

Seks tampaknya telah menjadi sebuah momok karena ulah agama dan negara. Sebab mereka menghadapi seks dengan kedunguan dan bukan dengan kecerdasan. Dalam mengatur seksualitas perempuan, sejarah Indonesia membuktikan kedunguan tersebut, mulai dari zaman Orde Lama, zaman Orde Baru hingga zaman Reformasi. Padahal seksualitas perempuan tidak dilahirkan oleh agama atau negara. Oleh sebab itu, seksualitas perempuan tak patut diatur oleh mereka yang bukan perempuan. Seksualitas perempuan lahir dari alam, dari rahim perempuan itu sendiri.

Selama berabad-abad, kebanyakan perempuan memandang seksualitasnya sebagai anugerah dari alam. Salah satu teman saya mengatakan bahwa dia pernah tersentak suatu hari ketika setelah sholat merasakan matahari pagi menerpa muka dan tubuhnya, angin meniup ujung-ujung rambutnya, membuatnya bergairah dan sensual. Hal ini tidaklah mengherankan karena gairah dan seks merupakan naluri alamiah yang ditransmisikan oleh otak lewat rasa dan penciuman.

Festival Pagan merayakan seksualitas manusia dan fertilitas bersama-sama dengan gambaran perempuan dan laki-laki yang menikmati kegairahan cinta dari alunan ombak di laut. Kisah kasih yang terjalin di antara dua manusia selama ribuan tahun digambarkan oleh alam seperti matahari, bulan, gunung, suara burung berkicau, ombak, dan sebagainya. Orgasme bagi kebanyakan perempuan tidak semata-mata berhubungan dengan alat kelamin akan tetapi dengan rasa, mood, hubungan dengan alam sekitarnya dan ketenangan batin mereka. Di dalam praktek Tao, energi seksual sama dengan energi hidup. Oleh sebab itu, energi seksual merupakan bagian dari kesehatan. Dengan menggunakan energi seksual, maka tubuh mencapai sumber vitalitas (Northrup, 1989: 252). 



vagina perempuan, pengendali kehidupan di Planet Bumi

Dalam sejarah paganisme (sebelum budaya patriarki mendominasi), vagina dianggap sebagai bagian dari alam, dengan demikian dimuliakan. Budaya patriarki mencap vagina sebagai organ “kotor”, sedangkan budaya perempuan menganggap vagina sebagai sumber kehidupan di mana kelahiran, menstruasi dan seksualitas menyatu, atau sebagai “gerbang menuju kehidupan.” Oleh sebab itu, berbagai ritual dilakukan di dalam budaya tradisional di Indonesia untuk menjaga gerbang kehidupan ini.

Di dalam masa pra-sejarah, vagina digambarkan di gua-gua di sudut yang sakral sebagai simbol kekuasaan alam. Sebab bagi orang-orang gua, kelangsungan kehidupan hanya bisa dilakukan oleh perempuan dan ditandai oleh menstruasi. Mereka mengerti sekali bahwa “menstruasi”, dan bukan “berburu”, menciptakan keturunan. Perempuanlah di kala itu yang memiliki konsep “kalender” karena dapat menghitung hari-hari melalui siklus menstruasi. Menurut Rosalind Miles dalam bukunya The Women’s History of the World, para peneliti telah menemukan bahwa hubungan seksual sebenarnya ditemukan oleh perempuan lewat pembelajaran dari binatang primata. Binatang primata, yang besarnya seperti King Kong misalnya, memiliki penis yang besar dan bergandul ke sana ke mari tanpa mengetahui harus melakukan apa. Para betinalah yang memiliki kecerdasan untuk “memanfaatkan” penis tersebut dan mengatur kemana penis tersebut harus dimasukkan dan sekaligus ritme yang harus dilakukan (Miles, 1989:26).

Selama lebih dari 25000 tahun perempuan memegang kendali karena berkuasa atas reproduksi dan produksi (menyediakan makanan lewat tubuhnya dengan air susu). Selama masa ini, spesies perempuan dianggap sebagai “tuhan” yang mampu memberikan kehidupan dan penuh keajaiban (Miles, 1989:38). Arkeolog Perancis, Leroi-Gourhan, menemukan bahwa gambaran “dua mata” di gua-gua sebenarnya adalah gambaran vagina sebab terdapat organ seksual perempuan yang jelas terlihat dan selalu direpresentasikan dengan status terhormat. Bahkan ada relief yang menggambarkan vagina sebagai entitas yang maha kuasa (lihat Elaine Morgan, 1972 dan Miles, 1989).

Gambaran kekuatan seksualitas perempuan di era awal hidup manusia, membebaskan perempuan dalam menentukan perilaku seksualnya. “Her sex was hers, the enjoyment of it hers, and as all these early accounts of her emphasized, when she had sex, like any other sensible female, she had it for herself.” (Miles, 1989:41). Para dewi ketika itu mengagungkan seks karena menganggap seks menjauhkan kekerasan. Memberikan ciuman, sentuhan sayang, bisikan mesra, memeluk dan bersenggama, menjauhkan diri dari perusakan, pemukulan, muka angker, teriak-teriak tak karuan dan kesan seram.

Para dewi, alam dan ciri berada perempuan yang mementingkan sentuhan dan kelembutan mengakibatkan perempuan menjadi cerdas menghadapi seks. Hal ini berbeda dari Undang-Undang Pornografi yang melahirkan kedunguan tentang seks. Definisi yang luas dan kabur dalam sebuah undang-undang tidak akan menghasilkan ketertiban melainkan kekacauan. Kekacauan ini telah terlihat sejak munculnya kasus video pribadi Ariel-Luna-Cut Tari. Kasus video pribadi yang dilakukan oleh tiga orang dewasa yang seharusnya bukan persoalan pidana (bagi negara yang matang pikirannya) dijadikan objek kriminal, dan polisi sibuk menghabiskan uang pajak rakyat untuk berkutat di sekitar “masalah porno” ini. Di dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa pelaku dan penyebar video porno masuk dalam jeratan Undang-Undang Pornografi. Pertanyaan saya, berapa banyak audience yang telah mendownload video itu dan berapa banyak yang telah melihat video porno itu? Apakah kita semua akan masuk penjara menemani Ariel? Meskipun kita semua sudah dewasa, paham dan sering melakukan hubungan seks.

Undang-Undang yang didasari oleh kedunguan pengetahuan seks dan bukan kecerdasan, melahirkan kekeruhan berpikir. Undang-Undang yang tidak membatasi definisi pornografi (yaitu pelarangan terhadap usia anak-anak, bentuk hard core dan penyebaran untuk publik atau transaksi penjualan), tidak akan efektif. Sebab definisi tidak didasari oleh suatu penelitian dan suatu kajian yang membentuk masyarakat yang cerdas terhadap seks, masyarakat yang mengutamakan pendidikan tentang seks dan bukan mengandalkan mitos-mitos atau tabu dan takut terhadap seks. Masyarakat yang dikekang pengetahuan seksnya akan menjadi suatu masyarakat yang salah memahami seks. Masyarakat yang diajarkan untuk membenci seks melahirkan masyarakat yang munafik. Survei Google pada tahun 2007 menunjukkan bahwa sepuluh negara yang paling banyak mencari situs seks adalah negara-negara yang mayoritas Muslim seperti Indonesia, Pakistan dan Iran (lihat Google trend tahun 2007). Sedangkan negara Denmark yang membebaskan pornografi untuk orang dewasa mengalami penurunan minat pornografi baik di kalangan orang dewasa maupun di kalangan anak-anak.

Kesimpulan


Kearifan tubuh perempuan hanya bisa dicerna dengan kecerdasan. Seks telah ada dan telah lahir ribuan tahun lamanya sebelum ada agama dan negara, apalagi teknologi media. Kearifan tubuh perempuan telah disikapi dengan kecerdasan ribuan tahun lamanya oleh manusia purba, dimaknai dengan penuh hormat dan penuh kuasa yang diatur oleh perempuan sendiri. Kearifan perempuan membuat kaum ini menanggapi seks dengan “biasa-biasa” saja, dan tidak overacting dengan melarang situs pornografi bagi orang dewasa di Internet. Karena, setiap orang dewasa memiliki sensornya sendiri dan bila tidak dapat menahan diri, itu adalah persoalan personal atau pribadi dan bukan persoalan negara atau Menkominfo sekalipun.

Menkominfo tampaknya perlu mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai batasan-batasan negara untuk tidak mencampuri ranah pribadi individu. Dia tidak dapat membedakan mana urusan publik dan mana urusan privat. Soal pribadi seperti kasus Ariel-Luna Maya-Cut Tari dieksploitasi oleh negara menjadi soal publik, menunggangi fundamentalisme untuk kepentingan politik. Sementara soal negara seperti penggelapan pajak dan kartel direduksi menjadi soal personal elit politik.

Pertanyaan yang mendasar sekarang adalah bagaimanakah kita mendidik negara untuk cerdas terhadap seks? Negara yang cerdas terhadap seks melahirkan masyarakat yang cerdas pula. Ini adalah PR yang perlu kita pikirkan bersama. Sebab terbukti sudah, kedunguan terhadap pengetahuan seks menyebabkan kebijakan-kebijakan yang tidak efektif, masyarakat yang fobia terhadap tubuh perempuan, dan mengakibatkan anak-anak salah memahami seks dan lahirnya kelompok-kelompok radikal yang menakutkan, merusak dan hanya bisa marah-marah. Kemarahan ini telah memakan begitu banyak korban, seperti Sophia Latjuba, Inneke Koesherawaty dan Sarah Azhari yang diinterogasi karena penampilan mereka di tabloid (1999), Inul Daratista dengan goyang “ngebornya” (2003 ), pameran seniman Agus Suwage atas Anjasmara di Museum Nasional (2005), tarian Jaipong yang dipermasalahkan gubernur Jawa Barat (2009), Artika Sari Devi yang memakai bikini di acara Miss Universe (2005), Enno Lerian dengan penampilannya berbikini di film terbarunya (2010) dan baru-baru ini terakhir ciuman “dahsyat” Krisdayanti dan Raul Lemos. Masih banyak lagi dan semua ini gara-gara tubuh perempuan, entah itu bagian paha, pantat atau payudara yang sama sekali tidak mematikan manusia sebab tidak ada suatu berita media selama ini yang menyatakan bahwa “rudal” payudara telah membinasakan populasi Indonesia.

Namun, di lain pihak, adakah yang memprotes kebrutalan dan kekerasan kelompok-kelompok tertentu seperti FPI? Adakah polisi menahan dan menginterogasi mereka? Apakah presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut memberikan pernyataan yang mengutuk tindakan mereka? Sekilas nampaknya FPI, polisi dan negarawan telah berkolusi menentang seksualitas perempuan dan mengambil jalan “aman” dengan mengkriminalkan tubuh perempuan.

Akhir kata, saya ingin menutup dengan pepatah dari Audre Lorde, seorang feminis lesbian namun menikah dan memiliki anak. Dia mengatakan:

When I speak of the erotic, I speak of it as an assertion of the lifeforce of women; of that creative energy empowered, the knowledge and use of which we are now reclaiming in our language, our history, our dancing, our loving, our work, our lives…
(*Makalah ini disampaikan pada acara ulang tahun Yayasan Jurnal Perempuan yang ke-15, 29 Juli 2010, di Wisma Antara, Jakarta, Indonesia. Dimuat di blog ini atas izin Saudara Aquino Hayunta, manajer program Yayasan Jurnal Perempuan.)


Daftar Pustaka


Carey, Peter and Vincent Hoeben, ‘Spirited Srikandhis and Sly Sambaras: The Social, political and economic role of women at the Central Javanese courts in the 18th and early 19th centuries’, dalam Elsbeth Locher-Scholten dan Anke Niehof, Indonesian Women in Focus (Dordrecht: Foris Publication, 1987).

Guttmacher Institute, Seri 2008, No. 2.

Hill, David T, The Press in New Order Indonesia (University of Western Australia Press and Asia Research Center paper, 1991).

Jurnal Perempuan
, No. 60, Awas Perda Diskriminatif (Jakarta: YJP, 2008).

Jurnal Perempuan
, No. 38, Pornografi (Jakarta: YJP, 2004).

Mitchell, Juliet, Woman’s Estate (New York: Penguin Books, 1971).

Price, Janet dan Shildrick, Margrit, Feminist Theory and the Body (New York: Routledge, 1999).

Scholten, Elisbeth Locher, Women and the Colonial State (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2000).

Steeves, Leslie H, ‘Gender and Mass Communication in a Global Context’, in Pamela J Creedon, Women in Mass Communication: Challenging Gender Values (London: Sage Publications, 1989).

Miles, Rosalind, Women’s History of the World (London: Paladin, 1989).

Northrup, Christine, Women’s Bodies, Women’s Wisdom (New York: Bantam Books, 1989).

Suryakusuma, Julia, Sex, Power and Nation (Jakarta: Metafor, 2004).

Tempo Interaktif
, 14 September 2009.

Tomagola, Tamrin Amal, Indonesian Women’s Magazine as an Ideological Medium, Laporan penelitian (Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1990).

Utomo B dkk, Insiden dan AspekSosial-Psikologis dari Aborsi di Indonesia: Survei Komunitas di 10 Kota dan 6 Kabupaten, Tahun 2000 (Insidence and Social-Psychological Aspects of Abortion in Indonesia: A Community-Based Survey in 10 Major Cities and 6 Districts, Year 2000) (Jakarta Indonesia: Pusat Penelitian Kesehataan, Universitas Indonesia, 2001).


Walhi, Laporan tentang Lingkungan, 2000.