Author: Ade Armando
Pemimpin redaksi Madina Online
Terangkatnya kabar tentang Dewan Revolusi Islam (DRI) menunjukkan bahwa tujuan gerakan radikal anti-Ahmadiyah bukan untuk meluruskan akidah. Di belakang itu ada politik kekuasaan. Kabar tentang Dewan Revolusi itu semula nampak seperti sebuah dagelan. Itu berawal dari kabar yang beredar di media sosial, awal pekan ketiga Maret ini, tentang berdirinya sebuah Dewan Revolusi Islam yang maklumatnya bisa diakses di sebuah situs di Internet.
Kalau dibaca, format DRI mendekati struktur sebuah pemerintahan. Di situ ada Kepala Negara (bukan Presiden) yang akan diisi oleh Habib Rizieq Shihab. Wakilnya adalah Wakil Amir Majelis Mujahiddin, Abu Jibril. Di atasnya ada Dewan Fuqaha, yang antara lain diisi: KH Abu Bakar Ba’asyir, KH Makruf Amin (Ketua MUI), dan KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua PBNU).
Dalam DRI, juga terdapat nama sejumlah menteri, antara lain: Munarman SH (sebagai Menhankam), KH Cholil Ridwan (sebagai Menteri Agama), Ridwan Saidi (Menteri Kebudayaan), Ahmad Sumargono (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal). Selain itu ada dua tokoh partai politik Islam: Ali Mochtar Ngabalin (sebagai Menteri Luar Negeri) dan MS Kaban (Menteri Dalam Negeri). Sebagai Menkopolkam adalah Tyasno Sudarto.
Di bagian akhir maklumat, tertulis pernyataan tegas: “Jika pasca pansus ini keadaan vacuum, DRI siap ambil alih kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan Indonesia dengan syariat Islam….” Selain itu ada pula undangan bagi pembaca: “Siapa mau ikhlas gabung untuk menjadi para garda revolusi Islam silakan daftar.”
Penandatangan maklumat ini adalah M. Al Khaththath. Tokoh yang berperan besar dalam konsolidasi kelompok-kelompok radikal ini adalah salah seorang pimpinan Hizbut Tahrir Indonesia, selain berposisi sebagai Sekjen Forum Umat Islam.
Informasi semacam ini memang banyak dibuat dan beredar di berbagai milis. Lazimnya sekadar untuk lelucon. Tapi untuk soal DRI, ternyata lain. Ketika berita ini mencuat, Al Khaththath mengakui bahwa Dewan tersebut memang sempat dibentuk Maret tahun lalu. Pembentukan DRI dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan kevakuman pemerintahan akibat kekacauan yang ditimbulkan kasus Bank Century. Nyatanya, kata Al Khaththath lagi, kevakuman itu tak terjadi. Karena itu, Dewan Revolusi tak beroperasi.
Kalau cerita selesai di situ, gagasan DRI bisa diabaikan begitu saja. Masalahnya, ada rangkaian fakta yang menunjukkan bahwa ini sebenarnya jauh dari sederhana.
Salah satu fakta penting adalah bahwa kata ‘revolusi’ itu ternyata terus digunakan. Sejak awal tahun, istilah itu nampak sebagai kata kunci gerakan kelompok-kelompok Islam radikal. Saat peringatan Maulid Akbar Nabi Muhammad SAW di bilangan Petamburan yang digelar DPP FPI pertengahan Februari lalu terdapat spanduk besar yang bertuliskan “Bubarkan Ahmadiyah atau Revolusi!”
Dalam orasinya pada unjuk rasa gabungan FPI, FUI, dan sejumlah ormas lain yang mendesak pembubaran Ahmadiyah di Bundaran HI pada awal Maret lalu, Rizieq Shihab juga dengan tegas menyatakan “Presiden, bubarkan Ahmadiyah atau revolusi.” Ketua Front Pembela Islam (FPI) yang juga menjabat sebagai kepala negara DRI itu juga menegaskan bahwa istana adalah tempat setan.
Tabloid Suara Islam edisi 108 (4-18 Maret) yang merupakan media kalangan Islam radikal mengangkat headline ‘Saatnya Revolusi’. Tulisan-tulisan di edisi itu melihat kemungkinan gelombang revolusi yang terjadi di Timur Tengah akan menerpa Indonesia. Dan Ahmadiyah adalah isu utama yang bisa menggulingkan SBY.
Pernyataan-pernyataan para tokoh garis keras dalam edisi itu memang mengindikasikan dorongan agar revolusi Islam berlangsung di Indonesia. Abu Jibril (Wakil Amir Majelis Mujahiddin) meminta MUI bersedia tampil memimpin revolusi. Katanya lagi: “Memang saat ini umat Islam Indonesia masih takut mati. Kita harus banyak belajar dari umat Islam di Mesir, Tunisia, dan Libya yang tak takut lagi terhadap kematian demi perjuangan menegakkan kebenaran.”
Di dalam Rubrik Galeri Opini beragam pandangan serupa tersaji. Sri Bintang Pamungkas menyatakan: “Ahmadiyah bisa menjadi salah satu pemicu revolusi yang akan menyulut kemarahan rakyat yang sudah lama ditahan-tahan.” Rizal Ramli (mantan Menko Perekonomian) menyebut ‘Agustus SBY Lengser’. Alfian Tanjung (Ketua Umum Taruna Muslim) menyatakan, ‘perlu dibentuk pasukan revolusi Islam’. Pemimpin redaksi tabloid tersebut, Aru Syeiff Abdullah, menulis kolom khusus berjudul “Revolusi Saatnya Tiba?”
Dalam edisi berikutnya (18 Maret-1 April), Suara Islam kembali menyuarakan tuntutannya. Gagasannya tetap: ‘Bubarkan Ahmadiyah atau Revolusi!’ Suara Islam menampilkan sebuah maklumat yang menyatakan bahwa bila Presiden tetap enggan membubarkan Ahmadiyah, berarti Presiden akan berhadapan dengan Allah dan Rasul-Nya, dan juga layak dimakzulkan karena telah melanggar sumpah jabatan. Ada pula Ridwan Saidi, mantan aktivis HMI, yang mengatakan: “September SBY Jatuh”.
Wawancara panjang dengan Munarman (Ketua Tim Advokasi FUI) membawa semangat serupa. Menurutnya, isu Ahmadiyah seharusnya menjadi pemersatu umat Islam dalam melihat rezim SBY sebagai ‘reprsentasi kekuatan jaringan zionis internasional’. Dia juga memperkirakan bila dalam dua bulan, setiap hari terus-menerus aksi dilakukan disertai pendudukan gedung DPR/MPR, SBY (seperti Soeharto) bisa mundur. Bila SBY jatuh, katanya, sebuah pemerintahan Islam akan berdiri. “Bukan revolusi Mesir yang pindah ke Indonesia,” katanya, “justru kita akan memulai revolusi untuk menerapkan syariat di Indonesia.”
Apa yang ingin ditunjukkan di sini adalah bahwa gagasan memperoleh kekuasaan politik sebagaimana tercermin dalam pembentukan DRI pada 2010 itu bukan sekadar obrolan di mushalla. Kalau dilihat mereka yang terlibat di dalamnya memang adalah kelompok-kelompok Islam politik yang tersingkir akibat proses demokrasi. Mereka bercita-cita memperoleh bagian dalam tampuk kekuasaan, tapi selama ini tak pernah diberi tempat oleh sang Presiden yang mungkin juga sakit hati dengan isu ‘Kristen’ yang dilekatkan pada istrinya menjelang pemilu 2009. Mereka bahkan tak dilirik oleh partai politik dengan identitas keislaman yang cukup berpengaruh, PKS. Dalam pemilu, suara kalangan garis keras ini sangat tidak berarti.
Dengan demikian, hasrat untuk mendelegitimasi pemerintahan SBY sangat mungkin melatarbelakangi serangan politik mereka yang berkelanjutan. Hanya saja, untuk itu, kalangan ini harus terlihat cukup besar dan memiliki daya tekan dan daya tawar yang kuat. Mereka semula berharap kasus Bank Century dapat dimanfaatkan. Ketika itu ternyata tak berlanjut, mereka memperoleh satu isu baru yang nyatanya mengangkat identitas dan kekohesifan mereka secara lebih menonjol: Ahmadiyah dan mungkin isu-isu sejenis lain.
Dengan mengangkat isu Ahmadiyah, kelompok ini memperoleh daya ungkit yang dibutuhkan. Dengan mencitrakan penyerangan terhadap Ahmadiyah sebagai bagian dari jihad melawan kesesatan, kaum radikal ini memposisikan diri sebagai ‘penyelamat’ Islam dari keburukan rezim pemerintahan yang, menurut mereka, dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing. Dan serangan demi serangan yang mereka lakukan turut membangun kesan kebesaran kekuatan yang mereka miliki. Apalagi, secara berkelanjutan, serangan mereka melibatkan ribuan orang yang bersedia bertempur di jalan untuk membela Islam.
Kalau memang demikian strategi mereka, itu nampaknya menemui sasaran. Kalangan garis keras ini sekarang benar-benar menjadi kelompok penekan yang harus diperhitungkan. Dalam konteks itu, apa yang dikabarkan saluran televisi internasional, Al Jazeera, pada 22 Maret 2011, menjadi tampak sangat masuk akal.
Dalam pemberitaan itu, Al Jazeera memaparkan adanya kerjasama antara kelompok-kelompok Islam garis keras Indonesia dengan pensiunan perwira militer yang ingin menggulingkan Presiden SBY. Tak kurang dari mantan KSAD, Jenderal (purn) Tyasno Sudarto, mengakui bahwa kelompok militer memang menemukan kesamaan tujuan dengan kelompok-kelompok Islam yang ingin agar SBY turun dari tampuk kekuasaan. “Melalui revolusi damai,” ujarnya.
Al Jazeera juga mewawancarai tokoh-tokoh Islam garis keras, termasuk Al Khaththath, yang mengaku didatangi perwira militer. Al Khaththath mengatakan, “Saya hanya bisa mengatakan, bahwa saya memang didekati perwira militer, itu saja.” Namun, narasumber lain, bicara lebih lugas. Menurut pimpinan organisasi Gerakan Reformasi Islam (Garis), Chep Hernawan, dia memang didatangi perwira militer yang menyatakan dukungan atas aksi-aksi kelompok Islam menuntut SBY untuk membubarkan Ahmadiyah.
Satu hari kemudian, Chep bahkan menyatakan pada Tempo Interaktif, rencana mereka untuk menggulingkan SBY didukung beberapa Jenderal bintang tiga. “Sekitar 1-2 bulan lalu bertemu, mereka berikan dukungan moril dan siap membantu,” jelas Chep.
Menurut Chep, para purnawirawan jenderal itu mendekatinya akhir Januari, atau sekitar sebulan sebelum penyerbuan yang menewaskan tiga orang Ahmadiyah di Cikeusik terjadi.
Sang Jenderal, kata Chep, muak dengan kebohongan pemerintahan SBY. “Mereka bertanya, apa yang diangkat untuk menumbangkan Susilo Bambang Yudhoyono. Isunya apa? Kasus Century tidak mampu. Barangkali isu Ahmadiyah,” ujar Chep, sebagaimana dikutip Tempo.
Rangkaian fakta itu menunjukkan bahwa isu tentang upaya membangun kekuatan politik untuk memperoleh bagian kekuasaan oleh kelompok-kelompok Islam radikal sama sekali jauh dari remeh. Ahmadiyah, dalam hal ini, sekadar menjadi korban seperti kaum Yahudi di zaman awal kemunculan Nazi di Jerman sebelum Perang Dunia II. Kehancuran Ahmadiyah akan menjadi sumber tenaga dan kekuatan bagi kelompok Dewan Revolusi Islam untuk menguasai panggung politik. Dan strategi mereka terbukti sukses.