Thursday, September 2, 2010

Filosofi Sipakatau dan Budaya Siri’ na Pesse’ dalam Masyarakat Bugis-Makassar

Pinisi, kapal laut kebanggaan orang Bugis-Makassar


Author: Jenifer Astin S. Ladja
Sarjana teologi, bekerja di Yayasan Oase Intim, Makassar

Bagaimana gambaran yang tepat mengenai wajah Indonesia jika harus dilukis? Dalam imajinasi saya, saya membayangkan sang pelukis akan melukisnya dengan sangat hati-hati, dan dengan menggunakan banyak kombinasi warna serta objek yang kompleks dan hasilnya akan sangat indah bernama “bhineka tunggal ika”. Dengan kata lain bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk (plural) dalam berbagai hal. Bahkan sering kali hal ini menjadi “nilai jual” untuk mempromosikan Indonesia. Walaupun merupakan sebuah lukisan yang indah dengan ideologi yang tampak sempurna, namun realitasnya tidak seindah yang dibayangkan, apalagi jika berkaitan dengan urusan agama.

Terpisah oleh pagar kawat

Hubungan penganut agama yang satu dengan agama yang lain, jika dianalogikan, adalah seperti hubungan sekelompok orang yang hidup dalam satu lokasi (atau satu lapangan) namun terpisah oleh pagar kawat berduri tajam. Pagar kawat berduri tersebut adalah dogma atau doktrin atau akidah masing-masing agama. Doktrin menjadi pemisah antara yang satu dengan yang lainnya dan sekaligus membagi wilayah berpijak. “Hanya orang yang berpijak pada tanah ini yang akan selamat, karena pada tanah inilah keselamatan akan datang. Tuhan hanya ada di lokasi kami, orang yang ada di balik pagar tidak memperoleh keselamatan.” Ya, kira-kira seperti itulah gambaran keberagamaan di Indonesia secara umum. Dari balik pagar kawat berduri, masing-masing komunitas dapat saling memandang tapi tidak dapat saling “menjangkau.”/1/ Siapa yang mencoba untuk melampaui pagar akan terluka dan terasing dari komunitasnya sendiri. Inilah yang disebut oleh Ishak Ngeljeratan hidup bersama tapi tidak bersesama./2/ Semua orang dapat hidup bersama, tapi tidak semua orang dapat hidup “bersesama”. Bersesama berarti memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia yang perlu dihargai dan dilayani.

Perdebatan paling pelik di antara para penganut agama adalah persoalan keselamatan di surga. Semua penganut agama mengklaim bahwa merekalah yang memiliki keselamatan dan itu berarti tidak ada tempat bagi orang lain di surga. Extra ecclesiam nulla sallus (“Di luar gereja tidak ada keselamatan”), atau “Yesus satu-satunya jalan keselamatan”, merupakan doktrin-doktrin kristen yang selama ini menjadi suatu “pagar kawat” yang memisahkan umat Kristen dari umat-umat yang lain. Demikian pun sebaliknya dalam agama-agama lain.


Hidup dalam kemajemukan memiliki tantangan tersendiri yang harus dihadapi. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah strategi khusus atau sebuah sikap khusus dalam menghadapi realitas kemajemukan ini: bukan hanya untuk bertahan dalam kemajemukan tapi juga untuk mempertahankan kemajemukan dan membuatnya bermanfaat bagi semua orang.

Berkaitan dengan hal tersebut, cara pandang yang ditawarkan oleh beberapa teolog atau ilmuwan sosial dalam masyarakat plural adalah pluralisme. Pluralisme memang bukan “makanan” yang baru dalam teori maupun praktik di Indonesia, namun hingga kini masih meninggalkan pro dan kontra/3/, bergantung pada pemahaman orang mengenai pluralisme. Dalam sebuah kamus teologi, definisi pluralisme adalah:

“The idea that reality consists of different kinds of things. The term is used in different fields of study. Social pluralism deals with the many different types of social structure. Cultural pluralism deals with the many different types of culture, etc.”/4/
Dalam pengertian ini jelas bahwa pluralisme merupakan suatu pandangan yang mengakui perbedaan sebagai kenyataan. Dan pluralisme bukan melulu persoalan agama tapi menyangkut berbagai segi kehidupan: kehidupan sosial, kehidupan budaya, dlsb. Ioanes Rakhmat memberikan sebuah definisi pluralisme, sebagai berikut:
“Pluralisme adalah sebuah perspektif, sebuah model relasional, yang memandang semua agama sebagai wahana ilahi yang sah dan unik untuk mendatangkan keselamatan, keselamatan yang mencakup banyak dimensi: spiritual dan material, individual and sosial, antropologis dan ekologis, pembebasan politis dan pencerahan budi, kehidupan di masa kini dan kehidupan di masa yang akan datang, bumi dan surga, sejarah dan keabadian, kesarjanaan dan kesalehan.”/5/
Jika kita memahami makna pluralisme yang sesungguhnya, maka kita akan menemukan bahwa pluralisme bukanlah paham yang menyamakan semua agama seperti disangka oleh orang-orang yang membantah dan menolak pluralisme./6/ Pluralisme mengakui perbedaan dan eksistensi yang lain, dan sama sekali tidak berniat untuk menyamakan semua agama, melainkan memandang semua agama memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing untuk mendatangkan keselamatan yang nyata dalam banyak aspek.

Pemahaman tentang Tuhan dan tentang keselamatan, dan bentuk-bentuk ritual dan peribadahan dalam agama-agama, memang tidak akan pernah sama. Jangankan antara agama yang berbeda, dua orang yang berlainan pun memiliki konsep tentang Tuhan yang berbeda pula. Perbedaan ini muncul karena daya pikir dan pengalaman hidup setiap orang berbeda. Oleh karenanya tidak mengherankan jika setiap orang memiliki konsep tentang Tuhan yang berbeda-beda pula. Hal ini hanya dapat kita mengerti dalam kerangka berpikir bahwa Tuhan adalah plural dalam dirinya yang esa./7/

Oleh karena itu pluralisme menantang kita untuk bersikap lebih rendah hati dan menanggalkan ego masing-masing.

Filosofi sipakatau

Penghargaan terhadap eksistensi orang lain, yang menjadi landasan pluralisme, dalam masyarakat Indonesia yang luas, pada dasarnya bukanlah sesuatu yang datang dari negeri antah berantah, melainkan memiliki akar pada kebudayaan lokal. Salah satu contohnya dapat dijumpai dalam kebudayaan suku Bugis-Makassar di Sulawesi Selatan, yakni filosofi budaya sipakatau.

Sipakatau berarti “saling memanusiakan”. Manusia Bugis-Makassar sangat menyadari dirinya sebagai bagian dari sesamanya manusia, yang hanya dapat mengaktualisasikan dirinya jika ada manusia lain di sisinya. Kesadaran sipakatau lahir dari karakter yang dimiliki oleh manusia Bugis-Makassar, yaitu karakter siri’ na pesse’.

Siri’ na pesse’ merupakan pandangan hidup masyarakat Bugis-Makassar. Siri’ dalam bahasa Bugis, Makassar dan Toraja berarti “malu.” Namun bukan malu dalam pengertian umum, melainkan malu yang mengandung dua makna, yakni malu dan harga diri./8/ Nilai malu dalam sistem budaya siri’ mengandung ungkapan psikis sebagai perasaan malu karena seseorang telah berbuat sesuatu yang tidak baik dan dilarang oleh kaidah adat./9/ Malu karena tidak melakukan hal yang baik; hal ini berarti bahwa malu yang dirasakan seseorang terkait dengan rasa bersalah karena tidak melakukan kebaikan. Nilai kedua yang juga terdapat dalam nilai siri’ adalah harga diri atau martabat. “Nilai harga diri (martabat) merupakan sebuah pranata pertahanan psikis terhadap perbuatan yang tercela serta dilarang oleh kaidah adat.”/10/ Pribadi yang memiliki siri’ memiliki suatu kewajiban moral untuk mengorbankan kepentingan pribadi demi membela siri’ keluarga atau komunitas./11/ Oleh karena itu, siri’ membuat orang tidak hidup dengan dirinya sendiri, melainkan harus berwujud dalam tindakan nyata menurut nilai pesse’.

Pesse’ secara harafiah berarti “pedih atau perih yang dirasakan meresap dalam kalbu seseorang, karena melihat penderitaan orang lain. Ringkasnya, pesse’ adalah bela rasa. Pesse (Bugis) atau pacce (Makassar) berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, pembersamaan serta pemuliaan humanitas./12/ Konsep pesse’ tidak lain adalah suatu pengungkapan empati dan solidaritas terhadap penderitaan orang lain. Pesse’ memotivasi sikap nyata kesetiakawanan sosial suku Bugis-Makassar./13/ Solidaritas yang dimaksud adalah solidaritas yang diterapkan dengan tidak memandang bulu, tidak memandang suku maupun ras bahkan agama. Prinsip ini menjadi pemersatu dan pengikat-erat masyarakat Sulawesi Selatan yang terdiri dari beragam suku, bahasa, adat istiadat dan agama, karena nilai budaya siri’ na pesse’ dipegang teguh oleh semua orang apapun agamanya, selama dia bagian anggota masyarakat Sulawesi Selatan.

Sebagai sebuah nilai budaya, siri’ na pesse’ tidak luput dari penafsiran. Bagai sebuah pedang bermata dua, jika nilai ini disalahartikan, ini akan berakibat buruk bagi masyarakat setempat maupun bagi orang lain di luarnya. Misalnya, sebagai alasan mempertahankan harga diri, karena telah malu, seseorang akan nekad untuk membunuh orang lain yang telah membuat dirinya malu. Meskipun bisa hanya karena suatu perasaan malu yang sepele. Dikatakan salah tafsir, karena siri’ na pesse’ yang seharusnya adalah siri’ na pesse’ yang timbul dari kesadaran yang jernih, yang memakai akal sehat dan tanpa amarah./14/ Kedua nilai ini, siri’ dan pesse’, menyatu dalam kesadaran mengenai makna atau kualitas dari apa yang disebut manusia (tau), yang hanya mungkin mengaktualisasi dirinya karena ada manusia lain. Oleh karena itu kehadiran manusia lain sangat berarti. Kesadaran itu disebut Sipakatau.”/15/


Kesimpulan

Tanpa kaidah moralitas yang jelas, tanpa nilai-nilai luhur yang diterima bersama, tanpa komitmen pada martabat kemanusiaan semua orang, pluralitas bisa berubah menjadi ajang persaingan dan pertikaian antara pihak-pihak yang berbeda, yang bisa mendatangkan kehancuran suatu masyarakat. Pluralitas dalam dunia keagamaan malah bisa lebih potensial lagi menghancurkan kesatuan umat manusia. Tentu agama-agama bisa menyumbangkan kaidah-kaidah moral dan nilai-nilai luhurnya untuk menjadikan pluralisme keagamaan suatu kebaikan buat umat manusia.

Tetapi jangan sekali-kali diabaikan bahwa kebudayaan-kebudayaan lokal juga memiliki kearifan-kearifan lokal yang tak kalah mutu dan kekuatannya dalam menjadikan pluralisme sebagai suatu kebaikan dan peluang untuk umat manusia lebih mampu membangun dunia ini demi kebaikan semua orang di dalamnya. Filosofi sipakatau dan nilai-nilai siri’ na pesse’ telah membuktikan kegunaannya dalam menjadikan kemajemukan masyarakat Bugis-Makassar sebagai suatu kebaikan, dan bukan sebagai suatu keburukan yang akan menghancurkan masyarakat.

Jadi harus ditegaskan bahwa ketimbang Indonesia mau diubah menjadi negara suatu agama, akan lebih baik dan akan lebih kokoh lagi bagi bangsa dan negara ini jika bangsa dan negara ini dibangun di atas nilai-nilai kebudayaan nasional bersama, yang dihasilkan dari pertemuan dan perpaduan dinamis semua nilai dalam semua kebudayaan lokal. Filosofi sipakatau dan nilai-nilai siri’ na pesse’ adalah sumbangan berharga bagi Indonesia dari masyarakat Bugis-Makassar.


Catatan-catatan

/1/ Menjangkau dalam pengertian tulus, bukan karena ada suatu niat tertentu untuk mengajak orang lain pindah agama.

/2/ Ishak Ngeljeratan, Yang Semakin Hilang Diantara kita (Makassar: La Galigo Press, 2008) 99-101.

/3/ Pluralisme oleh golongan tertentu dan oleh MUI dianggap sesat, seperti dinyatakan dalam fatwa MUI No. 7/MUNAS VII/MUI/II/2005 tentang PLURALISME, LIBERALISME DAN SEKULARISME AGAMA.

/4/ Theological Dictionary/a-z-dictionaries.com.

/5/ Ioanes Rakhmat, “Pembaruan Pemikiran dan Kiprah Kristen di Indonesia” dalam Elza Peldi Taher (ed.), Merayakan Kebebasan Beragama: Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Jakarta: ICRP & Kompas, 2009) 573-574 [570-583].

/6/ Salah satu contohnya adalah Syekh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Bantahan Terhadap Paham Pluralisme Agama dalam www.islamhouse.com; juga dalam fatwa MUI tersebut di atas.

/7/ Ioanes Rakhmat, Menguak Kekristenan Yahudi Perdana: Sebuah Pengantar (Jakarta: Jusufroni center, 2009) 6.

/8/ Lihat Leonard Andaya dalam Zakaria Ngelow, “Perspektif Gereja-gereja dalam Budaya Tradisional di Sulawesi Selatan, Indonesia” www.oaseonline.org/artikel/ngelow-perspektif.htm

/9/ Laica Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995) 114-115.

/10/ Ibid, 120-121.

/11/ Lihat Jusuf U. Ladja, “Siri’ dalam Konteks Iman Kristen” dalam Zakaria Ngelow, Seberkas Cahaya di Ufuk Timur—Pemikiran Teologi dari Makassar (Makassar: STT Intim Makassar, 2000) 91.

/12/ Laica Marzuki, Siri’, 132.

/13/ Ibid, 133.

/14/ Rahman Rahim, Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis (Makassar: Lembaga Perbitan Universitas Hasanuddin, 1985) 169.

/15/ Mattulada, Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan (Makassar: Hasanuddin University Press, 1998) 86.