Thursday, February 10, 2011

Mengungguli Para Pendiri Agama Kuno

Author: Ioanes Rakhmat
Pemerhati perkembangan sains

Kondisi kehidupan beragama dan hubungan antar-aliran keagamaan belakangan ini di Indonesia menimbulkan keprihatinan banyak orang. Tak sedikit orang kini bertanya, apa masih ada gunanya jika orang tetap mau beragama, ketika kehidupan beragama di Indonesia sudah demikian rendah mutunya.

Tahukah kita bahwa mutu keberagamaan seseorang akhirnya ditentukan bukan oleh berapa tinggi fanatisme keagamaannya atau oleh baktinya kepada agamanya sendiri, melainkan oleh apa yang dia perbuat dan apa yang dia tidak perbuat terhadap sesamanya? Nilai dan autentisitas iman keagamaan seseorang pada akhirnya diuji pada perbuatan orang itu dalam level praktis. Jika perbuatan seorang beragama menimbulkan kesusahan dan penderitaan pada sesamanya, orang beragama ini tidak dapat disebut sebagai orang beragama. Orang semacam ini lebih pantas disebut sebagai seorang kafir.




Manusia mengungguli Allah 
saat Yakub mengalahkan Malaikat...

 

Jelaslah bahwa untuk dapat beragama dengan bermutu dan autentik, di antara hal-hal lainnya, ajaran-ajaran dan hikmat para pendiri agama-agama kuno menjadi penting dan relevan, dan perlu dijalankan dan diamalkan, lewat perenungan-perenungan kritis, dalam kehidupan seorang beragama di dalam suatu masyarakat.

Ajaran-ajaran dan hikmat para pendiri agama malah sebetulnya jauh lebih penting ketimbang doktrin-doktrin atau dogma-dogma ortodoks keagamaan yang umumnya dibuat pada masa yang lebih kemudian dalam kehidupan komunitas-komunitas keagamaan. Bahkan seringkali doktrin-doktrin ortodoks suatu agama, yang umumnya disusun beberapa abad sesudah si pendiri agama wafat, menyimpang jauh dari ajaran-ajaran dan hikmat asli si pendiri agama. Sebuah contoh saja. Doktrin-doktrin ortodoks gereja yang menyatakan bahwa Yesus itu “Allah seratus persen dan manusia seratus persen”, atau bahwa “Yesus itu Oknum Kedua dari Tritunggal Kristen”, atau bahwa “Yesus itu sang Pencipta segalanya”, adalah doktrin-doktrin ortodoks yang tidak sejalan sama sekali dengan ajaran-ajaran dan hikmat asli Yesus, meskipun sangat dipercaya oleh orang Kristen umumnya. Mustahil membayangkan seorang Yahudi yang bernama Yesus dari Nazaret di abad pertama berkata tentang dirinya sendiri, “Akulah Oknum Kedua Tritunggal ilahi”, atau “Akulah Pantokrator, Allah Yang Maha Kuasa, sang Pencipta segala sesuatunya dalam jagat raya”, atau “Akulah Allah yang sesungguhnya dan manusia yang sesungguhnya.”

Maka jelaslah ajaran-ajaran dan hikmat asli para pendiri agama perlu digali ulang, perlu dihidupkan kembali, dan perlu disegarkan ulang terus-menerus. Ajaran-ajaran dan hikmat asli para pendiri agama ini sangat jauh lebih penting ketimbang dogma-dogma ortodoks suatu agama yang disusun belakangan, berapa dalam pun dogma-dogma ortodoks ini telah dipercaya dan telah membentuk identitas suatu komunitas keagamaan. Tetapi sekalipun halnya demikian, tetap saja sikap very critical harus diperlihatkan dan diberlakukan terhadap ajaran-ajaran dan hikmat asli para pendiri agama, sebab ajaran-ajaran dan hikmat asli mereka bisa tidak relevan lagi buat zaman sekarang. Segala sesuatu apapun dari zaman kuno sangat besar kemungkinannya tak relevan lagi dalam dunia zaman sekarang, karena segala sesuatu di kolong langit ini terus berubah dan berganti, tak ada yang abadi. Jika ada sesuatu yang abadi dalam dunia ini, itu adalah perubahan itu sendiri.

Kita harus senantiasa ingat bahwa para pendiri agama kuno apapun, sesuci apapun mereka dipandang, adalah tetap manusia-manusia kuno, yang hidup dalam suatu dunia kuno, di tempat-tempat lain, di suatu zaman kuno, yang memegang berbagai wisdom, worldview dan ilmu pengetahuan kuno yang sudah ketinggalan zaman. Kalau pun ada hikmat yang kekal dalam ajaran-ajaran mereka, kegunaan dan relevansi hikmat yang semacam ini juga tetap perlu dipikirkan kembali dalam-dalam.

Dengan jujur harus dikatakan bahwa kita yang hidup dalam zaman modern bisa dan harus mampu menghasilkan pandangan, hikmat dan ajaran yang lebih hebat dan lebih kena dibandingkan pandangan, hikmat dan ajaran Ibrahim, Musa, Lao Tsu, Konfusius, Gautama Buddha, Khrisna, Manu, Epikurus, Sokrates, Philo, Yesus, Paulus, Gulam Ahmad, dan lain sebagainya. Gautama Buddha, luar biasa sekali, bahkan meminta para pengikutnya membangun suatu sikap sangat kritis terhadap tradisi apapun bahkan terhadap dirinya sendiri ketika sang Buddha bersabda, “Jangan percaya hal apapun hanya karena kamu telah mendengarnya. Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu telah dibicarakan dan digunjingkan oleh banyak orang. Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu tertulis dalam kitab-kitab keagamaanmu. Jangan percaya hal apapun hanya karena hal itu dikatakan berdasarkan otoritas guru-guru dan sesepuh-sesepuhmu. Jangan percaya tradisi apapun hanya karena tradisi itu telah diwariskan dari satu generasi ke generasi lainnya. Tetapi setelah kamu observasi dan analisis, maka ketika kamu mendapati hal apapun sejalan dengan akal budimu dan menolongmu untuk mendatangkan kebaikan dan manfaat bagi satu dan semua orang, maka terimalah itu dan jalankanlah.”

Sebuah kesalahan besar orang beragama pada umumnya di masa kini adalah mereka tidak berhasil melihat kalau diri mereka sebenarnya bisa lebih hebat dari para pendiri agama-agama kuno. Maka saran saya adalah: Unggulilah para pendiri agama kuno!

Selain itu, bukan hanya ajaran-ajaran dan hikmat para pendiri agama kuno yang penting, melainkan juga pribadi atau persona para pendiri agama itu sendiri, khususnya kalau kita menjadi praktisi meditasi. Dalam meditasi, kita membutuhkan sebuah titik konsentrasi. Nah, ajaran-ajaran atau hikmat yang abstrak mustahil atau sulit untuk dijadikan sebuah titik acuan konsentrasi. Sebaliknya, jika kita memakai suatu figur atau persona yang kongkret sebagai titik konsentrasi, meditasi kita akan jauh lebih mudah dijalankan. Tentu saja persona yang kita jadikan titik konsentrasi tak dapat dipisahkan dari ajaran-ajaran dan hikmat yang mereka pernah ajarkan. Kita bahkan bisa merekonstruksi sendiri dengan bebas bagaimana rupa wajah dan tubuh si persona ini dengan bertolak dari ajaran-ajaran dan hikmat mereka. Nah, seorang Kristen akan mudah bermeditasi jika gambar wajah Yesus (apapun rupa wajah Yesus dalam gambar ini!) dijadikan titik konsentrasinya. Begitu juga, seorang pemeditasi Buddhis akan mudah bermeditasi jika wajah Gautama (bagaimana pun juga gambar wajahnya dibayangkan!) dengan riil menjadi titik konsentrasinya. Atau, seorang Muslim akan mudah bermeditasi jika dia memakai kaligrafi nama Allah sebagai sebuah titik konsentrasinya.

Jadi, adalah perlu juga para pendiri agama kuno dikenali secara pribadi sebagai persona-persona suci zaman lampau. Kita perlu merekonstruksi terus-menerus pribadi para pendiri agama kuno ini, lewat hikmat dan ajaran-ajaran mereka, dalam konteks sejarah kehidupan mereka masing-masing. Kekristenan boleh dikata berada di garis terdepan dalam usaha-usaha ilmiah merekonstruksi wajah dan kepribadian Yesus, dengan memakai sekian metodologi penelitian ilmiah yang andal. Tetapi sayangnya, para pemikir Kristen konservatif terus menerus menyatakan dengan keliru bahwa usaha-usaha merekonstruksi Yesus yang dilakukan para sejarawan kritis adalah usaha-usaha berbahaya yang perlu dihambat. Padahal menemukan kembali persona tokoh-tokoh suci para pendiri agama kuno serta dengan kritis merenungi kembali ajaran-ajaran dan hikmat asli mereka, dapat merevitalisasi agama kita sendiri dalam zaman kita sendiri dan dapat meningkatkan mutu dan autentisitas keberagamaan kita. Yang terpenting bukanlah back to the Holy Scriptures, melainkan back to Holy Figures behind the holy texts!



Tulisan ini terbit juga di
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/01/21/Opini/krn.20110121.224706.id.html