Mahasiswi pasca-sarjana jurusan sosiologi agama
UKSW, Salatiga, Indonesia
Istilah “ekofeminisme” pertama kali diperkenalkan oleh Francoise D'Eaubonne pada tahun 1974 di kota Paris, Perancis, dengan cara menggabungkan ide feminisme dan ekologi kearifan budaya lokal (India khususnya dan budaya Dunia Ketiga secara umum) gerakan hijau (green movement). Hasilnya adalah sebuah wacana alternatif bagi mainstream pemikiran feminis dan sekaligus ekologi./1/ Kajian ekofeminisme ingin memperlihatkan persamaan antara penindasan gender dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh dominasi laki-laki. Pembangunan yang bias gender tidak hanya memarginalkan perempuan tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Ekofeminisme lahir dari sebuah kondisi di mana bumi yang digambarkan sebagai sang ibu telah dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem ekonomi kapitalisme yang berkuasa, dengan melanggengkan budaya patriarki dan feodalisme, yang juga didukung dan dipertahankan oleh agama-agama yang dipertahankan kaum laki-laki dan berbagai kelompok penguasa. Pada pihak lain, bagi kaum perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan oleh berbagai korporasi yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional dan pengurus negara.
Perempuan dalam pandangan dan praktek tradisional adalah tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya alam, karena itulah perempuan kemudian menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap risiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup./2/ Dalam kerangka ekologi, ekofeminisme mengkritik ekosentrisme yang dianggap masih berpusat pada antroposentrisme dan androsentrisme, yang keduanya dipandang sebagai suatu penyebab terjadinya krisis ekologi. Pada akhirnya, kontribusi utama ekofeminisme adalah membantu manusia untuk makin memahami akar permasalahan krisis lingkungan, yang berakar dari sistem dominasi.
Perempuan dan lingkungan hidup
Pembangunan nasional di banyak negara berkembang telah menyebabkan kaum perempuan berada dalam kondisi miskin, semakin dimiskinkan oleh sebuah sistem kebijakan ekonomi dan politik negara maju yang menjajah negara miskin dan berkembang seperti Indonesia dengan menjual jargon globalisasi./3/ Belum lagi tindak kekerasan yang dialami perempuan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan psikis yang dilakukan oleh sebuah sistem yang dikelola oleh kaum lelaki. Nasib lingkungan serupa dengan nasib perempuan.
Lingkungan dan perempuan belum mendapat perhatian, masih terdiskriminasikan. Kaum perempuan dan lingkungan sama-sama dieksploitasi dan selalu dijadikan objek. Perempuan dijual dan diperdagangkan sama seperti komoditi dan bahkan rentan terhadap tindak kekerasan seperti pemukulan, pemerkosaan atau pembunuhan. Lingkungan juga merupakan sumber daya alam yang diperdagangkan, menjadi komoditi, diselundupkan dan dicuri.
Kerusakan lingkungan disebabkan antara lain oleh pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol dan tidak seimbang, sehingga tidak terjadi peningkatan kualitas sumber daya alam. Dalam setiap pembangunan, lahan hijau selalu menjadi korban. Vegetasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan ekosistem. Negara Indonesia yang terdiri atas 70 % air dan laut mulai mengalami pencemaran air di mana-mana. Sebuah contoh saja, air minum sudah tercemar dan sangat membahayakan kehidupan. Kerusakan lingkungan sudah banyak dirasakan negara ini yang dampaknya banyak menimpa perempuan, anak-anak, rakyat kecil atau rakyat golongan ekonomi lemah.
Pada dasarnya masalah lingkungan hidup ini timbul karena kegiatan manusia sendiri yang tidak peduli terhadap lingkungan karena ketamakan mereka. Ketamakan ini bersumber antara lain juga dari suatu kepercayaan keagamaan monoteistik bahwa alam ada untuk dikuasai manusia sebagai makhluk tertinggi di dunia alam di antara makhluk-makhluk hidup lainnya (misalnya tertuang dalam teks Yahudi Kejadian 1:26). Oleh karena itu, hadirnya ekofeminisme menawarkan sebuah perspektif dan gaya hidup yang ramah lingkungan.
Logika Dominasi
Dalam logika dominasi, pihak yang satu selalu dianggap sebagai pihak yang baik (laki-laki, manusia, ras Barat, kulit putih dst.), sedangkan pihak yang lain dianggap sebagai pihak yang buruk (karena berjenis kelamin perempuan, bukan manusia [alam] dan berkulit hitam, dst.). Yang menjadi hal berbahaya adalah ketika logika dominasi dipakai dalam semua bentuk relasi dalam kaitannya dengan etnis, ras, kelompok, agama, gender dan juga alam. Tidak sedikit ajaran agama-agama tradisional yang melanggengkan logika dominasi ini. Inilah yang menjadi akar masalah sosial, termasuk masalah lingkungan yang cenderung membenarkan subordinasi.
Radford Ruether menyatakan ada suatu keterkaitan antara pola dominasi terhadap perempuan dan perilaku dominasi terhadap alam karena dampak globalisasi/4/; dan ajaran keagamaan juga memberi kontribusi negatif terhadap sikap manusia kepada alam. Ross Kinsler dan Gloria Kinsler/5/ melihat pengaruh globalisasi dalam dua segi, yakni dari sudut ekologi dan dari sudut ekofeminisme. Globalisasi, bagi mereka, tidak lain merupakan suatu bentuk kapitalisme, di mana masyarakat patriarkal kelas dominan memanfaatkan perempuan untuk bekerja dengan upah yang minim dan mengeksploitasi alam.
Ekofeminisme versus Revolusi Hijau
Logika dominasi dipraktekkan dalam apa yang dinamakan “revolusi hijau”. Menurut seorang ekofeminis, Vandana Shiva, revolusi hijau merupakan sebuah manifestasi pengetahuan reduksionistik yang berprinsip pada maskulinitas yang bergerak ke sebuah model agraris monokultur, uniformitas, dan homogenitas. Bentuk pertanian monokultur seperti ini mengabaikan pengetahuan lokal dan mengancam keanekaragaman hayati. Lebih lanjut, menurut Shiva, reduksionisme mencabut kemampuan alam dan potensi kaum perempuan untuk bereproduksi dan beregenerasi serta menggantinya dengan teknologi.
Penggunaan bibit varietas unggul dalam revolusi hijau telah juga mengambil alih pekerjaan yang biasanya dilakukan perempuan, sehingga perempuan tidak diberi kesempatan lagi terhadap akses-akses teknik pertanian modern karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan tidak bisa menangani mesin-mesin. Akibatnya peran perempuan dalam pertanian digantikan oleh mesin-mesin yang dioperasikan laki-laki./6/Penggunaan mesin modern di daerah pertanian di Indonesia telah menggeser peran tradisional perempuan sebagai penumbuk padi. Program revolusi hijau ini ternyata dampaknya sangat besar terhadap ekologi, pemiskinan petani, dan merugikan perempuan. Namun lebih daripada itu, program ini secara singkat telah berhasil mengubah gaya hidup, sikap dan prinsip petani sehinga mereka lebih menerima model pertanian kapitalistik. Disini dapat di lihat bahwa model pembangunan yang disponsori oleh Bank Dunia, WTO (World Trade Organization) dan IMF (International Monetary Fund) semakin mengukuhkan status quo dominasi ideologi maskulinitas.
Revolusi hijau bukanlah sekedar sebuah program pertanian, namun merupakan suatu strategi perubahan melawan paradigma agraris tradisional. Revolusi hijau bukan hanya soal ekonomi, tapi proses hegemoni dan kekuasaan budaya yang menggusur ideologi budaya dan politik perempuan lokal. Lembaga keagamaan yang patriarkis, pendidikan dan media massa yang memihak kaum pria, dipakai untuk mempropagandakannya sebagai cara terbaik untuk memecahkan masalah kemiskinan. Di sinilah bermulanya perusakan ekologis dan penindasan perempuan.
Penutup
Ada dua bagian utama yang penting dari ekofeminisme. Pertama, mendobrak cara pandang konseptual, yang menindas, yang berlaku umum dalam era modern yang didukung sistem politik dan sistem ekonomi liberal. Cara pandang ini menurut Vandana Shiva melahirkan pembangunan yang salah yang di dalamnya berlangsung suatu proses eksploitasi dan dominasi terhadap perempuan dan alam. Kedua, ekofeminisme sebagai suatu gerakan aksi nyata untuk mendobrak setiap institusi dan sistem sosial, politik dan ekonomi yang menindas pihak lain (khususnya perempuan dan alam).
Ekofeminisme sayangnya belum banyak diketahui dan dipraktekkan oleh masyarakat Indonesia yang masih dikategorikan masyarakat agraris ketimbang masyarakat industri. Ketidaktahuan ini, atau perasaaan asing terhadap ekofeminisme, tidak sedikit disebabkan oleh ajaran-ajaran agama tradisional yang membela kepentingan kaum lelaki, menindas kaum perempuan, dan mempercayai bahwa Allah menugaskan manusia untuk menguasai alam untuk kepentingan kehidupan mereka saja, tanpa disertai kesadaran kuat bahwa manusia juga perlu memelihara kelestarian alam dan mempertahankan daya dukung alam buat alam itu sendiri dan buat kehidupan manusia di dalamnya dalam jangka panjang.
Ketimbang mempertahankan logika dominasi, sudah saatnya orang Indonesia memikirkan alternatif lain dalam menyikapi alam dan memperlakukan kaum perempuan. Logika rekonsiliasi yang menekankan kepentingan manusia untuk bersahabat dengan alam dan untuk membangun keadaan adil dan damai dan relasi yang seimbang dalam hubungan pria dan wanita, sudah saatnya dipakai./7/ Selain itu, logika penatalayanan (stewardship logic) terhadap alam juga sudah saatnya dihayati dan diperjuangkan oleh semua kalangan dalam masyarakat Indonesia. Dalam logika penatalayanan, manusia adalah sang manajer yang rasional dan ramah terhadap alam yang dikelolanya, bukan sang perampok yang kejam dan jahat.
Agama-agama fundamentalistik yang kerap menyepelekan kaum perempuan dalam masyarakat, dan juga di banyak tempat, khususnya di kalangan Kristen fundamentalis, dapat berhubungan erat dengan kapitalisme internasional, sudah saatnya dinilai secara kritis sehubungan dengan segala upaya dewasa ini untuk mempraktekkan ekofeminisme, logika rekonsiliasi dan logika penatalayanan, dalam pemeliharaan lingkungan hidup dan relasi antar-gender.
Catatan-catatan
/1/Nina Andriana, “Ekofeminisme” dalam http://www.korantempo.com/news/2004/6/20/Ide/57.html. Diakses pada 2 Desember 2009.
/2/ Husnul Khatimah, Perempuan dan Penyelamatan Lingkungan (Jakarta: Rahima, 2008) 28-29.
/3/John Galtung dalam segitiga kekerasan menjelaskan bahwa kekerasan langsung, baik fisik dan atau verbal (kata-kata), terlihat dalam tingkah laku yang ada penyebabnya. Ada dua sumber kekerasan yang tidak kelihatan yakni budaya kekerasan (ideologi, agama, identitas, patriotik, sistem patriarki) dan kekerasan struktur oleh sistem penguasa dengan melakukan penindasan, pemerasan atau perebutan. Lihat I Marsana Windhu, Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung (Jogjakarta : Kanisius, 1992) 67-72.
/4/Lihat Intan Darmawati dalam M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran HAM (Jakarta, Walhi, 2005) 85-86.
/5/Ross Kinsler dan Gloria Kinsler, The Biblical Jubilee and the Struggle for Life (Maryknoll: Orbis Book, 1999) 1-43.
/6/Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism (Australia: Fernwood publishing, 1993) 1-115.
/7/Nency Heydemans, “Ada Apa dengan Global Warming dan Climate Change?,” Majalah Inspirator, September-November, 2007. (Tomohon: UKIT Press) 30.
UKSW, Salatiga, Indonesia
Istilah “ekofeminisme” pertama kali diperkenalkan oleh Francoise D'Eaubonne pada tahun 1974 di kota Paris, Perancis, dengan cara menggabungkan ide feminisme dan ekologi kearifan budaya lokal (India khususnya dan budaya Dunia Ketiga secara umum) gerakan hijau (green movement). Hasilnya adalah sebuah wacana alternatif bagi mainstream pemikiran feminis dan sekaligus ekologi./1/ Kajian ekofeminisme ingin memperlihatkan persamaan antara penindasan gender dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh dominasi laki-laki. Pembangunan yang bias gender tidak hanya memarginalkan perempuan tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Ekofeminisme lahir dari sebuah kondisi di mana bumi yang digambarkan sebagai sang ibu telah dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem ekonomi kapitalisme yang berkuasa, dengan melanggengkan budaya patriarki dan feodalisme, yang juga didukung dan dipertahankan oleh agama-agama yang dipertahankan kaum laki-laki dan berbagai kelompok penguasa. Pada pihak lain, bagi kaum perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan oleh berbagai korporasi yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional dan pengurus negara.
Perempuan dalam pandangan dan praktek tradisional adalah tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya alam, karena itulah perempuan kemudian menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap risiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup./2/ Dalam kerangka ekologi, ekofeminisme mengkritik ekosentrisme yang dianggap masih berpusat pada antroposentrisme dan androsentrisme, yang keduanya dipandang sebagai suatu penyebab terjadinya krisis ekologi. Pada akhirnya, kontribusi utama ekofeminisme adalah membantu manusia untuk makin memahami akar permasalahan krisis lingkungan, yang berakar dari sistem dominasi.
Perempuan dan lingkungan hidup
Pembangunan nasional di banyak negara berkembang telah menyebabkan kaum perempuan berada dalam kondisi miskin, semakin dimiskinkan oleh sebuah sistem kebijakan ekonomi dan politik negara maju yang menjajah negara miskin dan berkembang seperti Indonesia dengan menjual jargon globalisasi./3/ Belum lagi tindak kekerasan yang dialami perempuan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan psikis yang dilakukan oleh sebuah sistem yang dikelola oleh kaum lelaki. Nasib lingkungan serupa dengan nasib perempuan.
Lingkungan dan perempuan belum mendapat perhatian, masih terdiskriminasikan. Kaum perempuan dan lingkungan sama-sama dieksploitasi dan selalu dijadikan objek. Perempuan dijual dan diperdagangkan sama seperti komoditi dan bahkan rentan terhadap tindak kekerasan seperti pemukulan, pemerkosaan atau pembunuhan. Lingkungan juga merupakan sumber daya alam yang diperdagangkan, menjadi komoditi, diselundupkan dan dicuri.
Kerusakan lingkungan disebabkan antara lain oleh pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkontrol dan tidak seimbang, sehingga tidak terjadi peningkatan kualitas sumber daya alam. Dalam setiap pembangunan, lahan hijau selalu menjadi korban. Vegetasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan ekosistem. Negara Indonesia yang terdiri atas 70 % air dan laut mulai mengalami pencemaran air di mana-mana. Sebuah contoh saja, air minum sudah tercemar dan sangat membahayakan kehidupan. Kerusakan lingkungan sudah banyak dirasakan negara ini yang dampaknya banyak menimpa perempuan, anak-anak, rakyat kecil atau rakyat golongan ekonomi lemah.
Pada dasarnya masalah lingkungan hidup ini timbul karena kegiatan manusia sendiri yang tidak peduli terhadap lingkungan karena ketamakan mereka. Ketamakan ini bersumber antara lain juga dari suatu kepercayaan keagamaan monoteistik bahwa alam ada untuk dikuasai manusia sebagai makhluk tertinggi di dunia alam di antara makhluk-makhluk hidup lainnya (misalnya tertuang dalam teks Yahudi Kejadian 1:26). Oleh karena itu, hadirnya ekofeminisme menawarkan sebuah perspektif dan gaya hidup yang ramah lingkungan.
Logika Dominasi
Dalam logika dominasi, pihak yang satu selalu dianggap sebagai pihak yang baik (laki-laki, manusia, ras Barat, kulit putih dst.), sedangkan pihak yang lain dianggap sebagai pihak yang buruk (karena berjenis kelamin perempuan, bukan manusia [alam] dan berkulit hitam, dst.). Yang menjadi hal berbahaya adalah ketika logika dominasi dipakai dalam semua bentuk relasi dalam kaitannya dengan etnis, ras, kelompok, agama, gender dan juga alam. Tidak sedikit ajaran agama-agama tradisional yang melanggengkan logika dominasi ini. Inilah yang menjadi akar masalah sosial, termasuk masalah lingkungan yang cenderung membenarkan subordinasi.
Radford Ruether menyatakan ada suatu keterkaitan antara pola dominasi terhadap perempuan dan perilaku dominasi terhadap alam karena dampak globalisasi/4/; dan ajaran keagamaan juga memberi kontribusi negatif terhadap sikap manusia kepada alam. Ross Kinsler dan Gloria Kinsler/5/ melihat pengaruh globalisasi dalam dua segi, yakni dari sudut ekologi dan dari sudut ekofeminisme. Globalisasi, bagi mereka, tidak lain merupakan suatu bentuk kapitalisme, di mana masyarakat patriarkal kelas dominan memanfaatkan perempuan untuk bekerja dengan upah yang minim dan mengeksploitasi alam.
Ekofeminisme versus Revolusi Hijau
Logika dominasi dipraktekkan dalam apa yang dinamakan “revolusi hijau”. Menurut seorang ekofeminis, Vandana Shiva, revolusi hijau merupakan sebuah manifestasi pengetahuan reduksionistik yang berprinsip pada maskulinitas yang bergerak ke sebuah model agraris monokultur, uniformitas, dan homogenitas. Bentuk pertanian monokultur seperti ini mengabaikan pengetahuan lokal dan mengancam keanekaragaman hayati. Lebih lanjut, menurut Shiva, reduksionisme mencabut kemampuan alam dan potensi kaum perempuan untuk bereproduksi dan beregenerasi serta menggantinya dengan teknologi.
Penggunaan bibit varietas unggul dalam revolusi hijau telah juga mengambil alih pekerjaan yang biasanya dilakukan perempuan, sehingga perempuan tidak diberi kesempatan lagi terhadap akses-akses teknik pertanian modern karena adanya anggapan bahwa kaum perempuan tidak bisa menangani mesin-mesin. Akibatnya peran perempuan dalam pertanian digantikan oleh mesin-mesin yang dioperasikan laki-laki./6/Penggunaan mesin modern di daerah pertanian di Indonesia telah menggeser peran tradisional perempuan sebagai penumbuk padi. Program revolusi hijau ini ternyata dampaknya sangat besar terhadap ekologi, pemiskinan petani, dan merugikan perempuan. Namun lebih daripada itu, program ini secara singkat telah berhasil mengubah gaya hidup, sikap dan prinsip petani sehinga mereka lebih menerima model pertanian kapitalistik. Disini dapat di lihat bahwa model pembangunan yang disponsori oleh Bank Dunia, WTO (World Trade Organization) dan IMF (International Monetary Fund) semakin mengukuhkan status quo dominasi ideologi maskulinitas.
Revolusi hijau bukanlah sekedar sebuah program pertanian, namun merupakan suatu strategi perubahan melawan paradigma agraris tradisional. Revolusi hijau bukan hanya soal ekonomi, tapi proses hegemoni dan kekuasaan budaya yang menggusur ideologi budaya dan politik perempuan lokal. Lembaga keagamaan yang patriarkis, pendidikan dan media massa yang memihak kaum pria, dipakai untuk mempropagandakannya sebagai cara terbaik untuk memecahkan masalah kemiskinan. Di sinilah bermulanya perusakan ekologis dan penindasan perempuan.
Penutup
Ada dua bagian utama yang penting dari ekofeminisme. Pertama, mendobrak cara pandang konseptual, yang menindas, yang berlaku umum dalam era modern yang didukung sistem politik dan sistem ekonomi liberal. Cara pandang ini menurut Vandana Shiva melahirkan pembangunan yang salah yang di dalamnya berlangsung suatu proses eksploitasi dan dominasi terhadap perempuan dan alam. Kedua, ekofeminisme sebagai suatu gerakan aksi nyata untuk mendobrak setiap institusi dan sistem sosial, politik dan ekonomi yang menindas pihak lain (khususnya perempuan dan alam).
Ketimbang mempertahankan logika dominasi, sudah saatnya orang Indonesia memikirkan alternatif lain dalam menyikapi alam dan memperlakukan kaum perempuan. Logika rekonsiliasi yang menekankan kepentingan manusia untuk bersahabat dengan alam dan untuk membangun keadaan adil dan damai dan relasi yang seimbang dalam hubungan pria dan wanita, sudah saatnya dipakai./7/ Selain itu, logika penatalayanan (stewardship logic) terhadap alam juga sudah saatnya dihayati dan diperjuangkan oleh semua kalangan dalam masyarakat Indonesia. Dalam logika penatalayanan, manusia adalah sang manajer yang rasional dan ramah terhadap alam yang dikelolanya, bukan sang perampok yang kejam dan jahat.
Agama-agama fundamentalistik yang kerap menyepelekan kaum perempuan dalam masyarakat, dan juga di banyak tempat, khususnya di kalangan Kristen fundamentalis, dapat berhubungan erat dengan kapitalisme internasional, sudah saatnya dinilai secara kritis sehubungan dengan segala upaya dewasa ini untuk mempraktekkan ekofeminisme, logika rekonsiliasi dan logika penatalayanan, dalam pemeliharaan lingkungan hidup dan relasi antar-gender.
Catatan-catatan
/1/Nina Andriana, “Ekofeminisme” dalam http://www.korantempo.com/news/2004/6/20/Ide/57.html. Diakses pada 2 Desember 2009.
/2/ Husnul Khatimah, Perempuan dan Penyelamatan Lingkungan (Jakarta: Rahima, 2008) 28-29.
/3/John Galtung dalam segitiga kekerasan menjelaskan bahwa kekerasan langsung, baik fisik dan atau verbal (kata-kata), terlihat dalam tingkah laku yang ada penyebabnya. Ada dua sumber kekerasan yang tidak kelihatan yakni budaya kekerasan (ideologi, agama, identitas, patriotik, sistem patriarki) dan kekerasan struktur oleh sistem penguasa dengan melakukan penindasan, pemerasan atau perebutan. Lihat I Marsana Windhu, Kekuasaan & Kekerasan Menurut Johan Galtung (Jogjakarta : Kanisius, 1992) 67-72.
/4/Lihat Intan Darmawati dalam M. Ridha Saleh, Ecoside : Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran HAM (Jakarta, Walhi, 2005) 85-86.
/5/Ross Kinsler dan Gloria Kinsler, The Biblical Jubilee and the Struggle for Life (Maryknoll: Orbis Book, 1999) 1-43.
/6/Vandana Shiva dan Maria Mies, Ecofeminism (Australia: Fernwood publishing, 1993) 1-115.
/7/Nency Heydemans, “Ada Apa dengan Global Warming dan Climate Change?,” Majalah Inspirator, September-November, 2007. (Tomohon: UKIT Press) 30.