Author: Saidiman Ahmad
Aktivis Jaringan Islam Liberal
Debat yang muncul seputar keberadaan sekte Islam Ahmadiyah memasuki babak baru menyusul perlakuan keras yang mereka alami. Kampanye anti-Ahmadiyah yang begitu masif semakin menyudutkan kelompok yang memang marjinal ini. Betapapun kuat argumen bahwa Ahmadiyah hanyalah sekte di dalam Islam, tapi kenyataan bahwa banyak orang yang berpikiran lain tidak bisa diabaikan. Persoalannya, anggapan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam inilah yang dijadikan suatu dalih oleh sekelompok orang untuk terus-menerus menganggu, meneror, bahkan membunuh anggota Ahmadiyah.
Dalam konteks hukum positif, Konstitusi, hak azasi manusia, dan akal sehat, jelas tidak pernah bisa dibenarkan seorang warga melakukan kekerasan kepada orang lain apalagi dengan hanya alasan agama. Persoalannya, para pelaku kekerasan merasa tidak perlu menggunakan hukum positif, Konstitusi, HAM dan akal sehat dalam aksi brutalnya. Mereka menganggap legitimasi agama jauh lebih kuat dan mengatasi argumen apapun.
A collective blog founded on Oct 2, 2009, to spread progressive ideas concerning religion, democracy and the future of Indonesia
Tuesday, April 19, 2011
Thursday, March 31, 2011
Dewan Revolusi Islam sebagai Ancaman bagi Demokrasi
Author: Ade Armando
Pemimpin redaksi Madina Online
Terangkatnya kabar tentang Dewan Revolusi Islam (DRI) menunjukkan bahwa tujuan gerakan radikal anti-Ahmadiyah bukan untuk meluruskan akidah. Di belakang itu ada politik kekuasaan. Kabar tentang Dewan Revolusi itu semula nampak seperti sebuah dagelan. Itu berawal dari kabar yang beredar di media sosial, awal pekan ketiga Maret ini, tentang berdirinya sebuah Dewan Revolusi Islam yang maklumatnya bisa diakses di sebuah situs di Internet.
Kalau dibaca, format DRI mendekati struktur sebuah pemerintahan. Di situ ada Kepala Negara (bukan Presiden) yang akan diisi oleh Habib Rizieq Shihab. Wakilnya adalah Wakil Amir Majelis Mujahiddin, Abu Jibril. Di atasnya ada Dewan Fuqaha, yang antara lain diisi: KH Abu Bakar Ba’asyir, KH Makruf Amin (Ketua MUI), dan KH Hasyim Muzadi (mantan Ketua PBNU).
Dalam DRI, juga terdapat nama sejumlah menteri, antara lain: Munarman SH (sebagai Menhankam), KH Cholil Ridwan (sebagai Menteri Agama), Ridwan Saidi (Menteri Kebudayaan), Ahmad Sumargono (Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal). Selain itu ada dua tokoh partai politik Islam: Ali Mochtar Ngabalin (sebagai Menteri Luar Negeri) dan MS Kaban (Menteri Dalam Negeri). Sebagai Menkopolkam adalah Tyasno Sudarto.
Thursday, February 10, 2011
Mengungguli Para Pendiri Agama Kuno
Author: Ioanes Rakhmat
Pemerhati perkembangan sains
Kondisi kehidupan beragama dan hubungan antar-aliran keagamaan belakangan ini di Indonesia menimbulkan keprihatinan banyak orang. Tak sedikit orang kini bertanya, apa masih ada gunanya jika orang tetap mau beragama, ketika kehidupan beragama di Indonesia sudah demikian rendah mutunya.
Tahukah kita bahwa mutu keberagamaan seseorang akhirnya ditentukan bukan oleh berapa tinggi fanatisme keagamaannya atau oleh baktinya kepada agamanya sendiri, melainkan oleh apa yang dia perbuat dan apa yang dia tidak perbuat terhadap sesamanya? Nilai dan autentisitas iman keagamaan seseorang pada akhirnya diuji pada perbuatan orang itu dalam level praktis. Jika perbuatan seorang beragama menimbulkan kesusahan dan penderitaan pada sesamanya, orang beragama ini tidak dapat disebut sebagai orang beragama. Orang semacam ini lebih pantas disebut sebagai seorang kafir.
Jelaslah bahwa untuk dapat beragama dengan bermutu dan autentik, di antara hal-hal lainnya, ajaran-ajaran dan hikmat para pendiri agama-agama kuno menjadi penting dan relevan, dan perlu dijalankan dan diamalkan, lewat perenungan-perenungan kritis, dalam kehidupan seorang beragama di dalam suatu masyarakat.
Pemerhati perkembangan sains
Kondisi kehidupan beragama dan hubungan antar-aliran keagamaan belakangan ini di Indonesia menimbulkan keprihatinan banyak orang. Tak sedikit orang kini bertanya, apa masih ada gunanya jika orang tetap mau beragama, ketika kehidupan beragama di Indonesia sudah demikian rendah mutunya.
Tahukah kita bahwa mutu keberagamaan seseorang akhirnya ditentukan bukan oleh berapa tinggi fanatisme keagamaannya atau oleh baktinya kepada agamanya sendiri, melainkan oleh apa yang dia perbuat dan apa yang dia tidak perbuat terhadap sesamanya? Nilai dan autentisitas iman keagamaan seseorang pada akhirnya diuji pada perbuatan orang itu dalam level praktis. Jika perbuatan seorang beragama menimbulkan kesusahan dan penderitaan pada sesamanya, orang beragama ini tidak dapat disebut sebagai orang beragama. Orang semacam ini lebih pantas disebut sebagai seorang kafir.
Jelaslah bahwa untuk dapat beragama dengan bermutu dan autentik, di antara hal-hal lainnya, ajaran-ajaran dan hikmat para pendiri agama-agama kuno menjadi penting dan relevan, dan perlu dijalankan dan diamalkan, lewat perenungan-perenungan kritis, dalam kehidupan seorang beragama di dalam suatu masyarakat.
Sunday, January 9, 2011
Global Islam Between Images and Reality
Author: Muhamad Ali
The writer, author of Bridging Islam and the West: An Indonesian View (2009),
is an assistant professor in religious studies, University of California, Riverside
http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/20/global-islam-between-images-and-reality.html
Globalization has made the world of Islam more heterogeneous than homogeneous. It continues to shape Islam identities and moralities, imagined or real, at both global and local levels. What is conceptually homogenous is Islam itself, but what it means differs.
Globalization in its broadest sense is not new, and early Islam normatively preached trans-racial, trans-ethnic solidarity of the community of the believers, although information technology today has made them even more aware of the world.
Islam emerged as a local path of Prophet Muhammad and his followers, but with the power of the Koran and Arabic, Islam has ever since become increasingly global, crossing non-Arabic Europe, Africa, Asia, Australia and the Americas. From early times, Muslims have been politically divided into the Shiite and the Sunni, the Khawarij, the Murji’a, the Mu’tazila, and so forth, although the efforts to unify them have never ceased.
The writer, author of Bridging Islam and the West: An Indonesian View (2009),
is an assistant professor in religious studies, University of California, Riverside
http://www.thejakartapost.com/news/2010/12/20/global-islam-between-images-and-reality.html
Globalization has made the world of Islam more heterogeneous than homogeneous. It continues to shape Islam identities and moralities, imagined or real, at both global and local levels. What is conceptually homogenous is Islam itself, but what it means differs.
Globalization in its broadest sense is not new, and early Islam normatively preached trans-racial, trans-ethnic solidarity of the community of the believers, although information technology today has made them even more aware of the world.
Islam emerged as a local path of Prophet Muhammad and his followers, but with the power of the Koran and Arabic, Islam has ever since become increasingly global, crossing non-Arabic Europe, Africa, Asia, Australia and the Americas. From early times, Muslims have been politically divided into the Shiite and the Sunni, the Khawarij, the Murji’a, the Mu’tazila, and so forth, although the efforts to unify them have never ceased.
Saturday, January 1, 2011
Peran Kaum Muda Indonesia dalam Membangun Kerukunan Umat Beragama: Tantangan, Peluang, dan Hambatan
Author: Ioanes Rakhmat
Pemerhati perkembangan sains
1. Kaum muda Indonesia adalah kalangan dalam masyarakat yang diharapkan akan berperan positif dalam banyak bidang kehidupan bangsa dan negara di masa depan, antara lain:
2. Untuk dapat menjalankan fungsi mereka dalam minimal keenam bidang tersebut di atas, kaum muda Indonesia memerlukan suatu bangsa dan negara yang bersatu, yakni NKRI yang berpijak pada UUD 45 dan ideologi filosofis Pancasila. Tanpa kesatuan dan persatuan sebagai bangsa dan negara, yang diikat oleh UUD 45 dan ideologi Pancasila, kaum muda Indonesia akan mengalami bukan saja banyak hambatan berat tetapi juga ancaman kegagalan total dalam menjalankan semua fungsi tersebut. Kesatuan dan persatuan bangsa dan negara adalah suatu syarat mutlak yang harus dipenuhi jika kaum muda Indonesia ingin dapat dengan efektif menjalankan keenam fungsi mereka tersebut dalam negara Indonesia di masa depan. Keenam bidang tersebut di atas merupakan tantangan-tantangan luas dan berat yang harus dihadapi kaum muda Indonesia dewasa ini dengan berani, cerdas, ulet, tekun, penuh komitmen dan bermoral.
Pemerhati perkembangan sains
1. Kaum muda Indonesia adalah kalangan dalam masyarakat yang diharapkan akan berperan positif dalam banyak bidang kehidupan bangsa dan negara di masa depan, antara lain:
- dalam bidang politik dan ideologi kebangsaan, sebagai para pemimpin bangsa dan negara yang piawai dan cerdas menjalankan roda pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan UUD 45 dan falsafah Pancasila;
- dalam bidang ekonomi, sebagai para pelaku bisnis dan kewirausahaan yang dapat meningkatkan taraf kehidupan ekonomi masyarakat, bangsa dan negara secara keseluruhan;
- dalam bidang ketahanan bangsa, sebagai patriot bangsa dan negara yang mampu mempertahankan kedaulatan teritorial NKR Indonesia dan mampu mengadaptasikan bangsa dan negara dengan berbagai arus perubahan besar yang sedang melanda dunia dalam banyak bidang tanpa kehilangan ciri-ciri keindonesiaan yang konsisten dan dinamis;
- dalam bidang hubungan internasional, untuk menjadikan Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara yang memainkan suatu peran signifikan dalam percaturan politik dan militer global;
- dalam bidang pendidikan dan penelitian serta pengembangan keilmuan, untuk menjadikan Indonesia suatu negara modern yang memainkan suatu peran global yang signifikan dalam penguasaan serta pengembangan sains dan teknologi modern;
- dalam bidang kebudayaan, sebagai para pelaku pelestarian dan perubahan kebudayaan yang akan memperkokoh identitas kebangsaan Indonesia dalam lingkup internal domestik dan dalam lingkup masyarakat global.
2. Untuk dapat menjalankan fungsi mereka dalam minimal keenam bidang tersebut di atas, kaum muda Indonesia memerlukan suatu bangsa dan negara yang bersatu, yakni NKRI yang berpijak pada UUD 45 dan ideologi filosofis Pancasila. Tanpa kesatuan dan persatuan sebagai bangsa dan negara, yang diikat oleh UUD 45 dan ideologi Pancasila, kaum muda Indonesia akan mengalami bukan saja banyak hambatan berat tetapi juga ancaman kegagalan total dalam menjalankan semua fungsi tersebut. Kesatuan dan persatuan bangsa dan negara adalah suatu syarat mutlak yang harus dipenuhi jika kaum muda Indonesia ingin dapat dengan efektif menjalankan keenam fungsi mereka tersebut dalam negara Indonesia di masa depan. Keenam bidang tersebut di atas merupakan tantangan-tantangan luas dan berat yang harus dihadapi kaum muda Indonesia dewasa ini dengan berani, cerdas, ulet, tekun, penuh komitmen dan bermoral.
Subscribe to:
Posts (Atom)