Wednesday, May 12, 2010

Catatan Kritis atas Keputusan
Mahkamah Konstitusi

Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal

*Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo hari ini, 12 Mei 2010 (klik di sini)

Sudah kita ketahui, pada Senin, 19 April 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB). Berikut ini beberapa catatan ringkas atas beberapa pokok pertimbangan keputusan MK ini.

Dalam ringkasan pertimbangan hukum yang diajukan MK, dinyatakan bahwa UU tersebut di atas tetap dipertahankan berdasarkan suatu pertimbangan filosofis bahwa “praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia.” Tentu MK benar sebab setiap negara di dunia ini memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dari negara-negara lain di dunia ini. Kita harus setuju penuh bahwa praktik keberagamaan di Indonesia harus berbeda bukan saja dari praktik keberagamaan di negara-negara Barat modern seperti Amerika Serikat, tetapi juga dari praktik keberagamaan di negara-negara Arab. Keindonesiaan dalam beragama masih sedang dicari. Tetapi, pada sisi lain, kita juga harus mau belajar dari negara-negara maju yang senantiasa menindak tegas tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang beragama terhadap seorang atau sekelompok orang lain yang berbeda agama atau keyakinan.

Kekhasan negara Indonesia juga dipertahankan MK dalam format relasi agama dan negara. MK memandang dalam relasi ini negara RI memiliki tugas untuk melakukan prevensi atau pencegahan atas potensi penyalahgunaan atau penodaan agama. Jadi dalam pandangan MK, Indonesia sama sekali bukan negara sekular, yaitu negara yang sama sekali tidak ikut campur tangan dalam urusan keagamaan apapun.

Dewasa ini, kita tahu, tidak ada satu negara sekular pun di dunia ini yang di dalamnya agama sama sekali dijauhkan dari negara. Ketimbang terjadi sekularisasi menyeluruh atas tatanan kehidupan masyarakat modern, yang sekarang tampak sedang melanda dunia adalah justru arus desekularisasi, arus mengembalikan peran agama di kawasan publik/politis. Dalam kondisi masa kini semacam ini, fungsi prevensi yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia dalam urusan keagamaan tentu harus diterima. Masalahnya, kapan fungsi prevensi ini harus dijalankan. Kita tentu menginginkan pemerintah mau dan mampu mencegah setiap usaha apapun dari umat beragama apapun yang mau mengganti Pancasila sebagai dasar negara dan filosofi bangsa, dan setiap tindak kekerasan yang dilakukan atas nama agama.

Tetapi apakah dalam soal penafsiran atau penguraian suatu ajaran agama, pemerintah juga boleh ikut campir? Dalam pertimbangannya, MK mengakui bahwa “kebebasan beragama merupakan salah satu HAM yang sangat fundamental.” Bahwa “penafsiran terhadap suatu ajaran atau aturan tertentu merupakan kebebasan berpikir setiap orang.” Bahwa “penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum.” Jadi, MK mengakui setiap orang bebas beragama dan bebas berpikir dalam memberi penafsiran atas agamanya.

Tetapi, pada pihak lain, MK memandang kebebasan beragama tidak dapat dilepaskan dari tanggungjawab sosial dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang, sebab hanya dengan cara inilah “kebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang lain.” Kita tentu setuju pada pandangan MK ini, sebab sesungguhnya hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggungjawab, adalah hal-hal yang tidak dapat dipisahkan. Setiap umat beragama di Indonesia bebas dan berhak untuk beribadah dan membangun rumah ibadah mereka. Tetapi mereka tidak bebas untuk membangun sebuah rumah ibadah di mana saja semau mereka, misalnya di suatu tempat yang 98 persen penduduknya beragama lain, dan mereka juga berkewajiban memperhitungkan perasaan hati warga umat beragama lain yang mayoritas ini, yang menginginkan ketenangan di kawasan tempat tinggal mereka.

Tetapi, pada pihak lainnya lagi, MK menegaskan bahwa penafsiran yang bebas dilakukan itu tetap “harus berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan, yaitu kitab suci masing-masing, sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut.” Di sinilah terletak sejumlah soal mendasar dari pertimbangan MK ini, seperti beberapa di antaranya telah juga disoroti oleh TAKB selama proses judicial review dijalankan.

Pertama, dalam setiap agama ada banyak aliran, dan setiap aliran memegang pokok-pokok ajaran yang bisa berbeda-beda bahkan bisa bertentangan. Memaksakan pokok-pokok ajaran suatu aliran mayoritas kepada aliran-aliran lain yang lebih kecil hanya akan menimbulkan tirani kelompok mayoritas atas kelompok minoritas. Akibatnya HAM pun dilanggar.

Kedua, metodologi penafsiran kitab suci tidak pernah berhenti dikembangkan, tetapi terus diujicoba, disusun dan dikembangkan dengan bervariasi, sejalan dengan perkembangan cabang ilmu-ilmu lain yang dapat dipakai sebagai ilmu-ilmu bantu bagi ilmu tafsir. Ujicoba dan pengembangan metodologi ilmu tafsir kitab suci tidak berlangsung dalam kehidupan komunitas umat beragama, tetapi di perguruan-perguruan tinggi yang umumnya tidak diikuti kebanyakan warga komunitas beragama. Selain itu, kitab suci manapun tidak menawarkan suatu metode tafsir yang memenuhi persyaratan keilmuwan. Kebanyakan metode tafsir kitab suci disusun dengan memakai pandangan-pandangan ilmu-ilmu lain yang sekular. Jadi tidak ada suatu metode tafsir yang skriptural sifatnya.

Ketiga, untuk mengenal suatu agama yang memiliki sejarah panjang dan rumit, atau untuk memahami apa maksud teks-teks kuno kitab suci, orang tidak bisa memakai hanya kitab suci sebagai satu-satunya sumber, melainkan harus juga memakai bahan-bahan lain di luar kitab suci dan sumbangan-sumbangan yang diberikan ilmu-ilmu lain, seperti ilmu sejarah, ilmu sastra, linguistik, arkeologi, antropologi, paleografi, dlsb.

Dengan adanya tiga soal ini, maka harus dinyatakan bahwa tidak ada satu pun tafsiran atas suatu ajaran agama dapat dinilai mutlak dan sudah final. Setiap agama selalu berada dalam suatu perjalanan yang belum usai, dan penafsiran atasnya tidak pernah selesai, selama dunia ini belum berakhir.