by Betwa Sharma* (25 Maret 2010)
(*Artikel Betwa Sharma ini telah terpasang di Internet sejak 25 Maret 2010, dalam situs http://www.thedailybeast.com/blogs-and-stories/2010-03-25/the-rise-of-islamo-erotica/full/. Diterjemahkan seluruhnya untuk dapat dibaca oleh teman-teman Indonesia sehingga kita semua mendapatkan sebuah gambaran tentang apa yang tengah berlangsung dalam dunia kesenian Muslim belakangan ini di Barat khususnya, dan tentu saja mampu melakukan penilaian dari berbagai sudut pandang. Dalam post ini hanya 1 lukisan yang ditampilkan. Bagi mereka yang ingin melihat banyak lukisan dan potret karya para seniman Muslim kontemporer, dipersilakan melihat langsung ke situs Betwa Sharma di atas.)
Salah satu gambar yang paling provokatif yang dilukis Hanan Tabbara adalah sebuah lukisan dari pastel dan arang yang menggambarkan darah berceceran, yang mengalir keluar dari vagina seorang perempuan. Tabbara melukis gambar ini setelah seorang sahabat dekatnya diperkosa, kemudian dia memasang lukisan ini pada gambar profil di Facebook-nya. Kini sudah dua tahun mahasiswi ilmu politik yang berusia 20 tahun dari Brooklyn ini melukis gambar-gambar telanjang. “Aku sadari bahwa hal ini dilarang, tetapi aku tidak mau pusing,” kata Tabbara.
A collective blog founded on Oct 2, 2009, to spread progressive ideas concerning religion, democracy and the future of Indonesia
Tuesday, December 7, 2010
Monday, October 4, 2010
Ekofeminisme Versus Logika Dominasi
Author: Nency Heydemans
Mahasiswi pasca-sarjana jurusan sosiologi agama
UKSW, Salatiga, Indonesia
Istilah “ekofeminisme” pertama kali diperkenalkan oleh Francoise D'Eaubonne pada tahun 1974 di kota Paris, Perancis, dengan cara menggabungkan ide feminisme dan ekologi kearifan budaya lokal (India khususnya dan budaya Dunia Ketiga secara umum) gerakan hijau (green movement). Hasilnya adalah sebuah wacana alternatif bagi mainstream pemikiran feminis dan sekaligus ekologi./1/ Kajian ekofeminisme ingin memperlihatkan persamaan antara penindasan gender dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh dominasi laki-laki. Pembangunan yang bias gender tidak hanya memarginalkan perempuan tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Ekofeminisme lahir dari sebuah kondisi di mana bumi yang digambarkan sebagai sang ibu telah dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem ekonomi kapitalisme yang berkuasa, dengan melanggengkan budaya patriarki dan feodalisme, yang juga didukung dan dipertahankan oleh agama-agama yang dipertahankan kaum laki-laki dan berbagai kelompok penguasa. Pada pihak lain, bagi kaum perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan oleh berbagai korporasi yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional dan pengurus negara.
UKSW, Salatiga, Indonesia
Istilah “ekofeminisme” pertama kali diperkenalkan oleh Francoise D'Eaubonne pada tahun 1974 di kota Paris, Perancis, dengan cara menggabungkan ide feminisme dan ekologi kearifan budaya lokal (India khususnya dan budaya Dunia Ketiga secara umum) gerakan hijau (green movement). Hasilnya adalah sebuah wacana alternatif bagi mainstream pemikiran feminis dan sekaligus ekologi./1/ Kajian ekofeminisme ingin memperlihatkan persamaan antara penindasan gender dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh dominasi laki-laki. Pembangunan yang bias gender tidak hanya memarginalkan perempuan tetapi juga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.
Ekofeminisme lahir dari sebuah kondisi di mana bumi yang digambarkan sebagai sang ibu telah dieksploitasi, dijarah dan dirusak oleh sistem ekonomi kapitalisme yang berkuasa, dengan melanggengkan budaya patriarki dan feodalisme, yang juga didukung dan dipertahankan oleh agama-agama yang dipertahankan kaum laki-laki dan berbagai kelompok penguasa. Pada pihak lain, bagi kaum perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan oleh berbagai korporasi yang didukung penuh oleh lembaga keuangan internasional dan pengurus negara.
Saturday, September 4, 2010
Mengapa Jadi Anti-rasionalis dalam Beragama?
Author: Ioanes Rakhmat
Pemerhati perkembangan sains
Dalam otak manusia, terdapat banyak struktur dan sirkuit neurologis rumit yang menjadi suatu objek kajian dari ilmu yang dinamakan neurosains. Ketika fokus neurosains ditujukan pada relasi antara aktivitas sirkuit-sirkuit neurologis dalam otak dan perilaku beragama, muncullah sebuah disiplin ilmu yang dinamakan neuroteologi.
dua ekor binatang bertarung dalam otak manusia:
siapa kuat, dia menang!
Amygdala dan sistim limbik secara keseluruhan adalah suatu bagian otak paling tua dalam sejarah evolusi biologis otak manusia, terbentuk sekitar 450 juta tahun lalu, dan sudah menguasai kehidupan manusia sejak 150 juta tahun yang lalu. Jika aktivitas amygdala meningkat, maka gelombang ketakutan dan kecemasan menyerbu anda, karena zat-zat neuro-kimiawi yang destruktif mengalir deras masuk ke dalam otak. Jika orang berpikir negatif tentang dirinya sendiri, atau memandang kehidupan ini dengan negatif, aktivitas di dalam amygdala makin meningkat. Ketika dirangsang secara berlebihan, amygdala dalam sistim limbik otak menciptakan suatu impresi emosional tentang suatu Allah yang menakutkan, otoritatif, egoistik, agresif, pemaksa, pendendam, pemarah dan penghukum, dan menekan serta mematikan kemampuan frontal lobes untuk berpikir logis mengenai Allah.
Pemerhati perkembangan sains
Dalam otak manusia, terdapat banyak struktur dan sirkuit neurologis rumit yang menjadi suatu objek kajian dari ilmu yang dinamakan neurosains. Ketika fokus neurosains ditujukan pada relasi antara aktivitas sirkuit-sirkuit neurologis dalam otak dan perilaku beragama, muncullah sebuah disiplin ilmu yang dinamakan neuroteologi.
dua ekor binatang bertarung dalam otak manusia:
siapa kuat, dia menang!
Menurut neuroteologi, perilaku beragama anti-rasionalis fundamentalis ditimbulkan oleh aktivitas neurologis sangat kuat pada sirkuit amygdala yang menjadi suatu bagian neurologis dari sistim limbik otak manusia. Sebaliknya, perilaku beragama rasionalis ditimbulkan oleh aktivitas yang kuat pada sirkuit frontal lobes dalam organ otak manusia. Jika sirkuit frontal lobes diaktifkan bersamaan dengan sirkuit anterior cingulate, maka orang akan dapat beragama rasionalis sekaligus memiliki cinta, bela rasa dan empati yang tinggi terhadap kehidupan sesama.
Agresif mematikan
Amygdala dan sistim limbik secara keseluruhan adalah suatu bagian otak paling tua dalam sejarah evolusi biologis otak manusia, terbentuk sekitar 450 juta tahun lalu, dan sudah menguasai kehidupan manusia sejak 150 juta tahun yang lalu. Jika aktivitas amygdala meningkat, maka gelombang ketakutan dan kecemasan menyerbu anda, karena zat-zat neuro-kimiawi yang destruktif mengalir deras masuk ke dalam otak. Jika orang berpikir negatif tentang dirinya sendiri, atau memandang kehidupan ini dengan negatif, aktivitas di dalam amygdala makin meningkat. Ketika dirangsang secara berlebihan, amygdala dalam sistim limbik otak menciptakan suatu impresi emosional tentang suatu Allah yang menakutkan, otoritatif, egoistik, agresif, pemaksa, pendendam, pemarah dan penghukum, dan menekan serta mematikan kemampuan frontal lobes untuk berpikir logis mengenai Allah.
Labels:
Fundamentalisme,
Ioanes Rakhmat,
Neurosains,
Neuroteologi
Thursday, September 2, 2010
Filosofi Sipakatau dan Budaya Siri’ na Pesse’ dalam Masyarakat Bugis-Makassar
Author: Jenifer Astin S. Ladja
Sarjana teologi, bekerja di Yayasan Oase Intim, Makassar
Bagaimana gambaran yang tepat mengenai wajah Indonesia jika harus dilukis? Dalam imajinasi saya, saya membayangkan sang pelukis akan melukisnya dengan sangat hati-hati, dan dengan menggunakan banyak kombinasi warna serta objek yang kompleks dan hasilnya akan sangat indah bernama “bhineka tunggal ika”. Dengan kata lain bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang majemuk (plural) dalam berbagai hal. Bahkan sering kali hal ini menjadi “nilai jual” untuk mempromosikan Indonesia. Walaupun merupakan sebuah lukisan yang indah dengan ideologi yang tampak sempurna, namun realitasnya tidak seindah yang dibayangkan, apalagi jika berkaitan dengan urusan agama.
Terpisah oleh pagar kawat
Hubungan penganut agama yang satu dengan agama yang lain, jika dianalogikan, adalah seperti hubungan sekelompok orang yang hidup dalam satu lokasi (atau satu lapangan) namun terpisah oleh pagar kawat berduri tajam. Pagar kawat berduri tersebut adalah dogma atau doktrin atau akidah masing-masing agama. Doktrin menjadi pemisah antara yang satu dengan yang lainnya dan sekaligus membagi wilayah berpijak. “Hanya orang yang berpijak pada tanah ini yang akan selamat, karena pada tanah inilah keselamatan akan datang. Tuhan hanya ada di lokasi kami, orang yang ada di balik pagar tidak memperoleh keselamatan.” Ya, kira-kira seperti itulah gambaran keberagamaan di Indonesia secara umum. Dari balik pagar kawat berduri, masing-masing komunitas dapat saling memandang tapi tidak dapat saling “menjangkau.”/1/ Siapa yang mencoba untuk melampaui pagar akan terluka dan terasing dari komunitasnya sendiri. Inilah yang disebut oleh Ishak Ngeljeratan hidup bersama tapi tidak bersesama./2/ Semua orang dapat hidup bersama, tapi tidak semua orang dapat hidup “bersesama”. Bersesama berarti memperlakukan orang lain sebagai sesama manusia yang perlu dihargai dan dilayani.
Perdebatan paling pelik di antara para penganut agama adalah persoalan keselamatan di surga. Semua penganut agama mengklaim bahwa merekalah yang memiliki keselamatan dan itu berarti tidak ada tempat bagi orang lain di surga. Extra ecclesiam nulla sallus (“Di luar gereja tidak ada keselamatan”), atau “Yesus satu-satunya jalan keselamatan”, merupakan doktrin-doktrin kristen yang selama ini menjadi suatu “pagar kawat” yang memisahkan umat Kristen dari umat-umat yang lain. Demikian pun sebaliknya dalam agama-agama lain.
Friday, August 20, 2010
Agama Pasca-teistik
Author: Tedi Kholiludin
Mahasiswa Pascasarjana kajian sosiologi agama UKSW Salatiga
Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)
Tahun 2005, Michael Mertes, Kepala divisi perencanaan dan budaya di Helmut School Office German, menulis sebuah artikel di IP-Translantic Edition yang berjudul “Religion, Secularism and Sovereignty”. Dalam tulisan pendeknya itu Mertes mengutip beberapa hasil riset yang dilakukan oleh The Pew Research Center for The People and The Press pada 2003.
Salah satu yang menjadi bahasan dalam survei tersebut adalah kaitan antara kepercayaan kepada Tuhan dengan pemenuhan aspek moral. Mayoritas responden di Eropa Tengah dan Eropa Barat tidak setuju dengan pernyataan bahwa “untuk menjadi moralis, seseorang harus percaya Tuhan”. Sementara mayoritas responden di Turki dan Amerika masih membutuhkan Tuhan untuk menjadi moralis.
Prosentase sengkapnya mereka yang masih butuh Tuhan adalah: Turki (85%), Amerika Serikat (58%), Polandia (38%), Jerman (33%), Italia (27%), Inggris (25%), Republik Ceko (13%) dan Perancis (13%). Di Polandia, responden yang membutuhkan Tuhan masih relatif cukup besar dibanding dengan negara Eropa lainnya, karena, kata Mertes, peran Gereja Katolik di sana masih signifikan dalam mengonstruksi identitas bangsa tersebut.
Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA)
Tahun 2005, Michael Mertes, Kepala divisi perencanaan dan budaya di Helmut School Office German, menulis sebuah artikel di IP-Translantic Edition yang berjudul “Religion, Secularism and Sovereignty”. Dalam tulisan pendeknya itu Mertes mengutip beberapa hasil riset yang dilakukan oleh The Pew Research Center for The People and The Press pada 2003.
Salah satu yang menjadi bahasan dalam survei tersebut adalah kaitan antara kepercayaan kepada Tuhan dengan pemenuhan aspek moral. Mayoritas responden di Eropa Tengah dan Eropa Barat tidak setuju dengan pernyataan bahwa “untuk menjadi moralis, seseorang harus percaya Tuhan”. Sementara mayoritas responden di Turki dan Amerika masih membutuhkan Tuhan untuk menjadi moralis.
Prosentase sengkapnya mereka yang masih butuh Tuhan adalah: Turki (85%), Amerika Serikat (58%), Polandia (38%), Jerman (33%), Italia (27%), Inggris (25%), Republik Ceko (13%) dan Perancis (13%). Di Polandia, responden yang membutuhkan Tuhan masih relatif cukup besar dibanding dengan negara Eropa lainnya, karena, kata Mertes, peran Gereja Katolik di sana masih signifikan dalam mengonstruksi identitas bangsa tersebut.
Labels:
John Hick,
John Shelby Spong,
Pasca-teisme,
Tedi Kholiludin
Wednesday, August 18, 2010
Media, Negara dan Seks
“Seks
tampaknya telah menjadi sebuah momok karena ulah agama dan negara.
Sebab mereka menghadapi seks dengan kedunguan dan bukan dengan
kecerdasan. Dalam mengatur seksualitas perempuan, sejarah Indonesia
membuktikan kedunguan tersebut, mulai dari zaman Orde Lama, zaman Orde
Baru hingga zaman Reformasi. Padahal seksualitas perempuan tidak
dilahirkan oleh agama atau negara. Oleh sebab itu, seksualitas
perempuan tak patut diatur oleh mereka yang bukan perempuan.
Seksualitas perempuan lahir dari alam, dari rahim perempuan itu
sendiri.”
Author: Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan
dan Pengajar tetap di Departemen Filsafat, FIB,
Universitas Indonesia
MEDIA
Limabelas tahun yang lalu ketika Yayasan Jurnal Perempuan menggagas Jurnal Perempuan sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia, banyak kalangan umum bingung menyikapi apa sebenarnya “binatang” ini? Seingat saya ada dua respons yang cukup dominan; yang pertama, mereka menganggap Jurnal Perempuan pasti majalah tentang masak-memasak sehingga penawaran toko buku adalah menempatkan jurnal ini di tempat rak-rak topik memasak. Respons kedua, terutama datang dari lapak majalah di kawasan Senin, adalah anggapan bahwa majalah ini pasti memuat pose-pose perempuan yang “syur”, si penjaja majalah menebak sambil nyengir. Cukup melelahkan memang menjelaskan kepada mereka apa itu Jurnal Perempuan, apalagi belum ada bentuk jurnalnya karena hanya baru sebatas ide. Ide ini hendak diuji coba di lapangan penjualan majalah-majalah. Tapi gagal total. Karena, sulit untuk menjelaskan majalah feminisme kalau spektrum yang ditawarkan adalah antara masak-memasak hingga hal yang “syur”. Begitulah cara berpikir dikotomik yang ada di masyarakat. Perempuan didefinisikan masuk dalam dua spektrum tersebut. Tidak ada ruang lain bagi perempuan.
“Menkominfo tampaknya perlu mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai batasan-batasan negara untuk tidak mencampuri ranah pribadi individu. Dia tidak dapat membedakan mana urusan publik dan mana urusan privat. Soal pribadi seperti kasus Ariel-Luna Maya-Cut Tari dieksploitasi oleh negara menjadi soal publik, menunggangi fundamentalisme untuk kepentingan politik. Sementara soal negara seperti penggelapan pajak dan kartel direduksi menjadi soal personal elit politik.”
Author: Gadis Arivia
Pendiri Yayasan Jurnal Perempuan
dan Pengajar tetap di Departemen Filsafat, FIB,
Universitas Indonesia
MEDIA
Limabelas tahun yang lalu ketika Yayasan Jurnal Perempuan menggagas Jurnal Perempuan sebagai jurnal feminis pertama di Indonesia, banyak kalangan umum bingung menyikapi apa sebenarnya “binatang” ini? Seingat saya ada dua respons yang cukup dominan; yang pertama, mereka menganggap Jurnal Perempuan pasti majalah tentang masak-memasak sehingga penawaran toko buku adalah menempatkan jurnal ini di tempat rak-rak topik memasak. Respons kedua, terutama datang dari lapak majalah di kawasan Senin, adalah anggapan bahwa majalah ini pasti memuat pose-pose perempuan yang “syur”, si penjaja majalah menebak sambil nyengir. Cukup melelahkan memang menjelaskan kepada mereka apa itu Jurnal Perempuan, apalagi belum ada bentuk jurnalnya karena hanya baru sebatas ide. Ide ini hendak diuji coba di lapangan penjualan majalah-majalah. Tapi gagal total. Karena, sulit untuk menjelaskan majalah feminisme kalau spektrum yang ditawarkan adalah antara masak-memasak hingga hal yang “syur”. Begitulah cara berpikir dikotomik yang ada di masyarakat. Perempuan didefinisikan masuk dalam dua spektrum tersebut. Tidak ada ruang lain bagi perempuan.
Friday, May 28, 2010
Through Someone Else's Shoes
Author: Lucia Priandarini
Penulis Muslim sektor kewirausahaan
dan komunikasi
“Our God is Nammyohorengekyo, the law of cause and effect itself.” That’s an answer given when I asked a good friend of mine a simple question: “Who is (your) God?” He’s a Buddhist, specifically an adherent of Niciren Syosyu, a branch of Mahayana denomination (so not all Buddhist would come up with the same answer when we ask them the question above). It’s a bit ashamed for me since we’ve been friends for more than five years, but I know almost nothing about his belief.
Penulis Muslim sektor kewirausahaan
dan komunikasi
“Our God is Nammyohorengekyo, the law of cause and effect itself.” That’s an answer given when I asked a good friend of mine a simple question: “Who is (your) God?” He’s a Buddhist, specifically an adherent of Niciren Syosyu, a branch of Mahayana denomination (so not all Buddhist would come up with the same answer when we ask them the question above). It’s a bit ashamed for me since we’ve been friends for more than five years, but I know almost nothing about his belief.
Tuesday, May 25, 2010
State, Islamic Law and Minorities in Indonesia
The State, the Islamic Law,
and Religious Minorities in Indonesia
Author: Muhamad Ali, Ph.D
An assistant professor, Religious Studies Department,
University of California, Riverside
How did the State and civil society negotiate the Shari’a and the civil law in a modern pluralistic Indonesia? Why is it difficult for a compromise that pleases everyone? The State continues to function as the legitimate power to produce laws in which the Shari’a has to contribute and to adjust itself in a Muslim majority yet, pluralistic nation. The tensions and negotiations between various elements– the government and civil society, result from a long duree of encounters of the Middle East (including the Mediterranean), Europe, and Asia in the Indonesian archipelago. A history of a legal culture and interfaith interaction in a local context reveals the various and changing impact of global forces. Indonesia, being referred to as “the Umma below the winds”, or Jawi by people in Mecca, being part of Southeast Asia after World War II, is today described as the largest Muslim country in the world, although geographically and viewed religiously “peripheral” in relation to the Islamic center, the Middle East.
and Religious Minorities in Indonesia
Author: Muhamad Ali, Ph.D
An assistant professor, Religious Studies Department,
University of California, Riverside
How did the State and civil society negotiate the Shari’a and the civil law in a modern pluralistic Indonesia? Why is it difficult for a compromise that pleases everyone? The State continues to function as the legitimate power to produce laws in which the Shari’a has to contribute and to adjust itself in a Muslim majority yet, pluralistic nation. The tensions and negotiations between various elements– the government and civil society, result from a long duree of encounters of the Middle East (including the Mediterranean), Europe, and Asia in the Indonesian archipelago. A history of a legal culture and interfaith interaction in a local context reveals the various and changing impact of global forces. Indonesia, being referred to as “the Umma below the winds”, or Jawi by people in Mecca, being part of Southeast Asia after World War II, is today described as the largest Muslim country in the world, although geographically and viewed religiously “peripheral” in relation to the Islamic center, the Middle East.
Wednesday, May 12, 2010
Catatan Kritis atas Keputusan
Mahkamah Konstitusi
Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal
*Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo hari ini, 12 Mei 2010 (klik di sini)
Sudah kita ketahui, pada Senin, 19 April 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB). Berikut ini beberapa catatan ringkas atas beberapa pokok pertimbangan keputusan MK ini.
Dalam ringkasan pertimbangan hukum yang diajukan MK, dinyatakan bahwa UU tersebut di atas tetap dipertahankan berdasarkan suatu pertimbangan filosofis bahwa “praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia.” Tentu MK benar sebab setiap negara di dunia ini memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dari negara-negara lain di dunia ini. Kita harus setuju penuh bahwa praktik keberagamaan di Indonesia harus berbeda bukan saja dari praktik keberagamaan di negara-negara Barat modern seperti Amerika Serikat, tetapi juga dari praktik keberagamaan di negara-negara Arab. Keindonesiaan dalam beragama masih sedang dicari. Tetapi, pada sisi lain, kita juga harus mau belajar dari negara-negara maju yang senantiasa menindak tegas tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang beragama terhadap seorang atau sekelompok orang lain yang berbeda agama atau keyakinan.
Kekhasan negara Indonesia juga dipertahankan MK dalam format relasi agama dan negara. MK memandang dalam relasi ini negara RI memiliki tugas untuk melakukan prevensi atau pencegahan atas potensi penyalahgunaan atau penodaan agama. Jadi dalam pandangan MK, Indonesia sama sekali bukan negara sekular, yaitu negara yang sama sekali tidak ikut campur tangan dalam urusan keagamaan apapun.
Pemikir Kristen liberal
*Tulisan ini telah terbit di Koran Tempo hari ini, 12 Mei 2010 (klik di sini)
Sudah kita ketahui, pada Senin, 19 April 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB). Berikut ini beberapa catatan ringkas atas beberapa pokok pertimbangan keputusan MK ini.
Dalam ringkasan pertimbangan hukum yang diajukan MK, dinyatakan bahwa UU tersebut di atas tetap dipertahankan berdasarkan suatu pertimbangan filosofis bahwa “praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia.” Tentu MK benar sebab setiap negara di dunia ini memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dari negara-negara lain di dunia ini. Kita harus setuju penuh bahwa praktik keberagamaan di Indonesia harus berbeda bukan saja dari praktik keberagamaan di negara-negara Barat modern seperti Amerika Serikat, tetapi juga dari praktik keberagamaan di negara-negara Arab. Keindonesiaan dalam beragama masih sedang dicari. Tetapi, pada sisi lain, kita juga harus mau belajar dari negara-negara maju yang senantiasa menindak tegas tindak kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang beragama terhadap seorang atau sekelompok orang lain yang berbeda agama atau keyakinan.
Kekhasan negara Indonesia juga dipertahankan MK dalam format relasi agama dan negara. MK memandang dalam relasi ini negara RI memiliki tugas untuk melakukan prevensi atau pencegahan atas potensi penyalahgunaan atau penodaan agama. Jadi dalam pandangan MK, Indonesia sama sekali bukan negara sekular, yaitu negara yang sama sekali tidak ikut campur tangan dalam urusan keagamaan apapun.
Friday, April 30, 2010
Ramifikasi Keputusan Mahkamah Konstitusi: Meneruskan Diskriminasi dan Ketidakadilan Negosiasi Wacana
Author: Peter Suwarno
Pengajar pada Arizona State University, USA
Pada hari Senin, 19 April, 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB). Keputusan tersebut (klik di sini) tidak menimbulkan huru-hara, yel-yel, atau protes yang merusak, karena yang dikalahkan adalah mereka yang biasa berargumentasi dengan memakai pikiran jernih nan damai dengan tujuan luhur pemberdayaan untuk perdamaian, kerukunan, dan persatuan bagi bangsa Indonesia yang majemuk dalam jangka panjang.
Banyak dampak dari keputusan tersebut untuk masa depan bangsa Indonesia dan saya hanya akan menyebut tiga ramifikasi yang bisa ditarik dari keputusan tersebut.
Yang pertama, keputusan MK tersebut menunjukkan kemenangan status quo berbagai kelompok yang sering mendiskriminasikan, mengafirkan, mengkriminalkan, me-neraka-kan, dan bahkan yang melakukan tindak kekerasan terhadap umat beragama minoritas, penganut sekte agama pinggiran, serta pemeluk keyakinan dan aliran yang dianggap tidak lazim. Ini terjadi di tengah-tengah semakin disebarluaskannya konotasi negatif dari makna kata “kebebasan” yang sering diasosiasikan dengan “kebebasan beragama.” Tentu MK tidak akan mengakui bahwa keputusannya telah membenarkan diskriminasi apalagi tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Tetapi kalau kita berbicara mengenai ramifikasi sebuah keputusan, pesan yang diterima oleh mereka yang tidak senang dengan keberadaan kelompok agama dan aliran minoritas (dan mereka inilah yang sudah menunggu-nunggu keputusan MK yang memihak mereka) adalah bahwa mereka telah dilegitimasi sebagai kalangan yang paling tahu dan punya kebenaran mutlak atas pokok-pokok firman Allah mereka yang harus diikuti aliran minoritas. Peristiwa judicial review UU No 1/PNPS/1965 bisa menimbulkan kesadaran bagi mereka yang belum pernah mendengar keberadaan undang-undang tersebut dan menjadi mengerti akan makna keputusan MK tersebut. Ini sangat berbahaya, karena keputusan MK ini sangat mungkin akan diikuti peningkatan marginalisasi, diskriminasi, pemaksaan, atau bahkan tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas yang memang sudah sering terjadi.
Kedua, keputusan MK ini menggarisbawahi bahwa ada pokok-pokok ajaran agama yang mutlak benar dan tidak bisa diganggu gugat. Yang belum dijawab secara jelas oleh MK adalah pertanyaan TAKB mengenai ajaran yang mana yang dianggap pokok-pokok ajaran agama dan menurut interpretasi siapa; interpretasi siapa pula yang dianggap melenceng menurut ukuran siapa. Pesan yang dimunculkan oleh keputusan ini adalah adanya satu interpretasi yang paling benar mengenai pokok-pokok ajaran agama yang sudah baku dan yang tidak boleh direinterpretasikan, tanpa menyadari bahwa tafsiran yang dianggap benar dan baku itu pun hasil interpretasi manusia. Kalau interpretasi yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman dianggap menodai agama karena bisa menyimpang dari pokok-pokok yang dianggap baku, maka yang paling mungkin adalah bahwa yang disebut sebagai ajaran pokok dan baku adalah ajaran yang paling dekat dengan bunyi literal/harfiah firman Allah. Kalau mengikuti istilah pembeda yang sering dipakai pada umat Islam Indonesia, yakni kelompok literalis versus substansialis, maka pandangan kelompok literalis-lah yang dianggap baku dan benar dan yang akan dipakai sebagai ukuran untuk menentukan siapa yang mempunyai interpretasi kurang tepat dan dianggap menodai agama. Apakah keputusan MK sejelas itu, tentu tidak; tetapi ramifikasinya mengarah ke marginalisasi kelompok substansialis dan pembenaran kelompok literalis.
Ini menyedihkan, bukan hanya karena kebebasan menginterpretasikan ajaran agama sesuai dengan tuntutan zaman bakal dipasung, tetapi juga karena agama dengan dalil-dalil dan hukum-hukumnya yang dipahami harfiah akan semakin banyak menentukan arti dan makna kebebasan beragama di Indonesia. Undang-undang semakin tidak bergigi lagi dalam memaknai kebebasan beragama. Hal ini jelas terlihat ketika MK ditanya oleh TAKB mengenai mana yang akan menjadi acuan nilai kebebasan beragama atau penodaan agama: negara berdasarkan hukum negara atau negara berdasar hukum agama. Jawaban MK adalah bahwa Indonesia berdasar pada hukum negara yang menekankan pentingnya prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan nilai-nilai agama.
Ramifikasinya adalah hukum agama akan lebih penting dalam menentukan hukum negara, dan ini tentu sangat menyenangkan kaum literalis yang memang sudah yakin bahwa hukum dan kebenaran yang diinovasi manusia bersifat relatif dan gampang salah, sedangkan kebenaran dan hukum dari Tuhan bersifat langgeng dan mutlak benar. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila keputusan MK ini ditangkap oleh sebagian besar rakyat Indonesia sebagai anjuran agar bangsa kita semakin mengacu pada hukum Tuhan sebagaimana diinterpretasikan kaum literalis dan semakin tidak menghiraukan hukum buatan manusia yang selalu berubah karena harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan tidak mutlak benar sepanjang masa.
Kalau ini benar diadopsi dan dijalankan, interpretasi kreatif untuk menerjemahkan ayat-ayat suci dan ajaran sebuah agama akan berhenti, sedangkan interpretasi yang lebih literal bakal berjaya. Konsekwensinya adalah bahwa norma, aturan, dan undang-undang yang sudah diyakini sangat sesuai dengan kebutuhan negara demokratispun bisa sewaktu-waktu diubah karena tidak sesuai dengan interpretasi baku sekelompok orang beragama yang dominan. Bukan hanya gagasan-gagasan seperti kesetaraan gender dan HAM yang akan dihapuskan, tetapi juga, misalnya, undang-undang anti KDRT, larangan menikah dibawah umur, bahkan prinsip demokrasi itu sendiri.
Keputusan MK ini juga menegaskan bahwa hukum Tuhan yang lebih banyak menyangkut iman pribadi (yang seharusnya dikumandangkan di tempat ibadah) dijadikan sebagai hukum publik yang tentu sangat berbahaya, karena bisa menuju ke totalitarianisme, yakni: negara mengatur semua aspek kehidupan, tidak hanya kehidupan publik, tetapi juga kehidupan pribadi termasuk ihwal bagaimana seseorang harus beriman. Orang tidak lagi bisa beriman sesuai dengan keyakinan pribadinya sendiri, melainkan harus beriman sesuai dengan dalil dan hukum Tuhan yang dianggap baku, yang diakui dan diterapkan oleh negara. Negara bisa saja akan lebih disibukkan untuk mengurusi iman seseorang sesuai dengan dalil agama tertentu, daripada mengurusi masalah negara dan bangsa yang lebih penting yaitu kesejahteraan dan perdamaian dalam masyarakat yang tidak bisa dipungkiri memang majemuk. Dengan keputusan MK ini, orang Indonesia yang baik dan cinta damai tapi punya iman dan keyakinan teguh yang tidak lazim/melenceng akan menderita diskriminasi atau bahkan dihukum, sedangkan orang yang tidak cinta damai atau bahkan suka berbuat onar, tapi mengikuti dalil agama yang baku, akan merasa lebih memiliki kekuasaan dan tidak akan dihukum.
Yang ketiga, keputusan MK menegaskan kembali berlakunya ketidakadilan negosiasi dan perang wacana yang penting bagi pembentukan norma, peraturan, dan undang-undang yang seharusnya partisipatif, konvensional, dan adil, serta kematian “civil discourse” yang mengampanyekan pemberdayaan kebebasan berbeda keyakinan dan pendapat. Kenapa perlu ada negosiasi dan perang wacana? Setiap kelompok manusia atau bangsa merdeka dan demokratis punya norma kehidupan dan aturan yang merupakan hasil negosiasi dan perdebatan (langsung maupun tidak langsung) dari pihak-pihak yang merepresentasikan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. UU No 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama juga adalah hasil negosiasi pada zaman Soekarno, dan negosiasi serta perdebatan dalam setiap masyarakat selalu diperlukan karena hidup manusia berubah dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan baru untuk bisa mencapai hidup yang lebih nyaman, damai, dan sejahtera.
Dalam setiap negosiasi atau perang wacana, seharusnya semua pihak mempunyai hak yang setara, di mana masing-masing pihak bisa mengajukan pendapat dan argumentasi, rasionalisasi, dan justifikasi tanpa rasa takut atau tekanan dari pihak manapun. Tetapi kenyataannya, banyak kecenderungan negosiasi dan perang wacana ini menjadi tidak setara, terutama kalau yang terlibat dalam proses negosiasi memakai dalil agama tanpa rasionalisasi dan tanpa penggunaan “common sense”, di mana argumentasi rasional sering dikalahkan.
Argumentasi rasional adalah argumentasi berdasarkan penelitian, diskusi demokratis, pengamatan di lapangan, yang sama sekali memikirkan kepentingan manusia dan lingkungannya di masa kini dan di masa yang akan datang. Sedangkan argumentasi agamawi adalah argumentasi berdasarkan keyakinan yang didukung oleh ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam ayat-ayat kitab suci yang dianggap suci dan baku. Walaupun kedua argumentasi bisa bernegosiasi bahkan digabungkan, dalam kenyataan argumentasi agamawi tidak harus merasa perlu menjustifikasi argumennya secara rasional apalagi dengan bukti atau data lapangan, tetapi cukup dengan dalil agama. Sehingga selama ini argumentasi agamawi bisa dengan mudah mendominasi dalam setiap jalur komunikasi, karena mempunyai kekuasaan khusus, yaitu kekuasaan untuk mengatasnamakan Tuhan yang tidak mungkin disalahkan. Selama ini orang sudah takut mengkritik pendapat yang katanya dibangun berdasarkan dalil atau ayat suci agama, dan orang sudah dengan gampang memaki gagasan (sedamai dan semulia apapun) yang tidak berdasarkan dalil agama.
Keputusan MK atas “judicial review” ini secara tidak langsung memberikan “approval” bahwa pembahasan wacana dan dalil agama tidak harus berhenti di tempat ibadah, melainkan didorong untuk semakin merambah ke ranah publik berhadapan dengan argumentasi publik. Keputusan MK menambah ketidakadilan perang wacana, karena orang yang beargumen dengan membawa akal sehat , “common sense”, dan memikirkan nilai-nilai luhur di luar agama, serta memperjuangkan semua kelompok, sudah dikalahkan; sedangkan kalangan yang berargumen dengan mendasarkan diri pada dalil-dalil agama sudah dimenangkan. Keputusan MK yang menegaskan pentingnya hukum agama dan pokok-pokok ajaran agama yang baku jelas menambah kekuatan dan dominasi argumentasi agamawi atas argumentasi rasional, serta mengenyampingkan “civil discourse”, yakni wacana yang menekankan argumentasi yang damai, rasional berbasis data, analisa, dan justifikasi demi kepentingan umum.
Ringkas kata, keputusan MK yang menolak judicial review atas UU No 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama mendorong orang yang sudah takut mengkritik dalil-dalil agama untuk semakin lebih takut dan lebuh tunduk lagi. Matinya “civil discourse” yang diganti dengan dominasi “religious discourse”, ditambah ketakutan akan wacana dan hukum agamawi, jelas akan membawa Indonesia bukan hanya menjadi suatu negara agama, tetapi juga akan menyebabkan matinya demokrasi. Demokrasi akan mati karena norma dan aturan yang dimunculkan tidak partisipatif dan konvensional, melainkan koersif dan intimidatif. Semoga “civil discourse” dan umat beragama dan para pemimpin Indonesia yang masih bisa sadar bahwa sistem demokrasi adalah yang terbaik, masih boleh hidup di Indonesia di masa-masa yang akan datang.
Pengajar pada Arizona State University, USA
Pada hari Senin, 19 April, 2010, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan judicial review UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB). Keputusan tersebut (klik di sini) tidak menimbulkan huru-hara, yel-yel, atau protes yang merusak, karena yang dikalahkan adalah mereka yang biasa berargumentasi dengan memakai pikiran jernih nan damai dengan tujuan luhur pemberdayaan untuk perdamaian, kerukunan, dan persatuan bagi bangsa Indonesia yang majemuk dalam jangka panjang.
Banyak dampak dari keputusan tersebut untuk masa depan bangsa Indonesia dan saya hanya akan menyebut tiga ramifikasi yang bisa ditarik dari keputusan tersebut.
Yang pertama, keputusan MK tersebut menunjukkan kemenangan status quo berbagai kelompok yang sering mendiskriminasikan, mengafirkan, mengkriminalkan, me-neraka-kan, dan bahkan yang melakukan tindak kekerasan terhadap umat beragama minoritas, penganut sekte agama pinggiran, serta pemeluk keyakinan dan aliran yang dianggap tidak lazim. Ini terjadi di tengah-tengah semakin disebarluaskannya konotasi negatif dari makna kata “kebebasan” yang sering diasosiasikan dengan “kebebasan beragama.” Tentu MK tidak akan mengakui bahwa keputusannya telah membenarkan diskriminasi apalagi tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Tetapi kalau kita berbicara mengenai ramifikasi sebuah keputusan, pesan yang diterima oleh mereka yang tidak senang dengan keberadaan kelompok agama dan aliran minoritas (dan mereka inilah yang sudah menunggu-nunggu keputusan MK yang memihak mereka) adalah bahwa mereka telah dilegitimasi sebagai kalangan yang paling tahu dan punya kebenaran mutlak atas pokok-pokok firman Allah mereka yang harus diikuti aliran minoritas. Peristiwa judicial review UU No 1/PNPS/1965 bisa menimbulkan kesadaran bagi mereka yang belum pernah mendengar keberadaan undang-undang tersebut dan menjadi mengerti akan makna keputusan MK tersebut. Ini sangat berbahaya, karena keputusan MK ini sangat mungkin akan diikuti peningkatan marginalisasi, diskriminasi, pemaksaan, atau bahkan tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas yang memang sudah sering terjadi.
Kedua, keputusan MK ini menggarisbawahi bahwa ada pokok-pokok ajaran agama yang mutlak benar dan tidak bisa diganggu gugat. Yang belum dijawab secara jelas oleh MK adalah pertanyaan TAKB mengenai ajaran yang mana yang dianggap pokok-pokok ajaran agama dan menurut interpretasi siapa; interpretasi siapa pula yang dianggap melenceng menurut ukuran siapa. Pesan yang dimunculkan oleh keputusan ini adalah adanya satu interpretasi yang paling benar mengenai pokok-pokok ajaran agama yang sudah baku dan yang tidak boleh direinterpretasikan, tanpa menyadari bahwa tafsiran yang dianggap benar dan baku itu pun hasil interpretasi manusia. Kalau interpretasi yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman dianggap menodai agama karena bisa menyimpang dari pokok-pokok yang dianggap baku, maka yang paling mungkin adalah bahwa yang disebut sebagai ajaran pokok dan baku adalah ajaran yang paling dekat dengan bunyi literal/harfiah firman Allah. Kalau mengikuti istilah pembeda yang sering dipakai pada umat Islam Indonesia, yakni kelompok literalis versus substansialis, maka pandangan kelompok literalis-lah yang dianggap baku dan benar dan yang akan dipakai sebagai ukuran untuk menentukan siapa yang mempunyai interpretasi kurang tepat dan dianggap menodai agama. Apakah keputusan MK sejelas itu, tentu tidak; tetapi ramifikasinya mengarah ke marginalisasi kelompok substansialis dan pembenaran kelompok literalis.
Ini menyedihkan, bukan hanya karena kebebasan menginterpretasikan ajaran agama sesuai dengan tuntutan zaman bakal dipasung, tetapi juga karena agama dengan dalil-dalil dan hukum-hukumnya yang dipahami harfiah akan semakin banyak menentukan arti dan makna kebebasan beragama di Indonesia. Undang-undang semakin tidak bergigi lagi dalam memaknai kebebasan beragama. Hal ini jelas terlihat ketika MK ditanya oleh TAKB mengenai mana yang akan menjadi acuan nilai kebebasan beragama atau penodaan agama: negara berdasarkan hukum negara atau negara berdasar hukum agama. Jawaban MK adalah bahwa Indonesia berdasar pada hukum negara yang menekankan pentingnya prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan nilai-nilai agama.
Ramifikasinya adalah hukum agama akan lebih penting dalam menentukan hukum negara, dan ini tentu sangat menyenangkan kaum literalis yang memang sudah yakin bahwa hukum dan kebenaran yang diinovasi manusia bersifat relatif dan gampang salah, sedangkan kebenaran dan hukum dari Tuhan bersifat langgeng dan mutlak benar. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila keputusan MK ini ditangkap oleh sebagian besar rakyat Indonesia sebagai anjuran agar bangsa kita semakin mengacu pada hukum Tuhan sebagaimana diinterpretasikan kaum literalis dan semakin tidak menghiraukan hukum buatan manusia yang selalu berubah karena harus menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan tidak mutlak benar sepanjang masa.
Kalau ini benar diadopsi dan dijalankan, interpretasi kreatif untuk menerjemahkan ayat-ayat suci dan ajaran sebuah agama akan berhenti, sedangkan interpretasi yang lebih literal bakal berjaya. Konsekwensinya adalah bahwa norma, aturan, dan undang-undang yang sudah diyakini sangat sesuai dengan kebutuhan negara demokratispun bisa sewaktu-waktu diubah karena tidak sesuai dengan interpretasi baku sekelompok orang beragama yang dominan. Bukan hanya gagasan-gagasan seperti kesetaraan gender dan HAM yang akan dihapuskan, tetapi juga, misalnya, undang-undang anti KDRT, larangan menikah dibawah umur, bahkan prinsip demokrasi itu sendiri.
Keputusan MK ini juga menegaskan bahwa hukum Tuhan yang lebih banyak menyangkut iman pribadi (yang seharusnya dikumandangkan di tempat ibadah) dijadikan sebagai hukum publik yang tentu sangat berbahaya, karena bisa menuju ke totalitarianisme, yakni: negara mengatur semua aspek kehidupan, tidak hanya kehidupan publik, tetapi juga kehidupan pribadi termasuk ihwal bagaimana seseorang harus beriman. Orang tidak lagi bisa beriman sesuai dengan keyakinan pribadinya sendiri, melainkan harus beriman sesuai dengan dalil dan hukum Tuhan yang dianggap baku, yang diakui dan diterapkan oleh negara. Negara bisa saja akan lebih disibukkan untuk mengurusi iman seseorang sesuai dengan dalil agama tertentu, daripada mengurusi masalah negara dan bangsa yang lebih penting yaitu kesejahteraan dan perdamaian dalam masyarakat yang tidak bisa dipungkiri memang majemuk. Dengan keputusan MK ini, orang Indonesia yang baik dan cinta damai tapi punya iman dan keyakinan teguh yang tidak lazim/melenceng akan menderita diskriminasi atau bahkan dihukum, sedangkan orang yang tidak cinta damai atau bahkan suka berbuat onar, tapi mengikuti dalil agama yang baku, akan merasa lebih memiliki kekuasaan dan tidak akan dihukum.
Yang ketiga, keputusan MK menegaskan kembali berlakunya ketidakadilan negosiasi dan perang wacana yang penting bagi pembentukan norma, peraturan, dan undang-undang yang seharusnya partisipatif, konvensional, dan adil, serta kematian “civil discourse” yang mengampanyekan pemberdayaan kebebasan berbeda keyakinan dan pendapat. Kenapa perlu ada negosiasi dan perang wacana? Setiap kelompok manusia atau bangsa merdeka dan demokratis punya norma kehidupan dan aturan yang merupakan hasil negosiasi dan perdebatan (langsung maupun tidak langsung) dari pihak-pihak yang merepresentasikan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. UU No 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama juga adalah hasil negosiasi pada zaman Soekarno, dan negosiasi serta perdebatan dalam setiap masyarakat selalu diperlukan karena hidup manusia berubah dan berkembang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan baru untuk bisa mencapai hidup yang lebih nyaman, damai, dan sejahtera.
Dalam setiap negosiasi atau perang wacana, seharusnya semua pihak mempunyai hak yang setara, di mana masing-masing pihak bisa mengajukan pendapat dan argumentasi, rasionalisasi, dan justifikasi tanpa rasa takut atau tekanan dari pihak manapun. Tetapi kenyataannya, banyak kecenderungan negosiasi dan perang wacana ini menjadi tidak setara, terutama kalau yang terlibat dalam proses negosiasi memakai dalil agama tanpa rasionalisasi dan tanpa penggunaan “common sense”, di mana argumentasi rasional sering dikalahkan.
Argumentasi rasional adalah argumentasi berdasarkan penelitian, diskusi demokratis, pengamatan di lapangan, yang sama sekali memikirkan kepentingan manusia dan lingkungannya di masa kini dan di masa yang akan datang. Sedangkan argumentasi agamawi adalah argumentasi berdasarkan keyakinan yang didukung oleh ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam ayat-ayat kitab suci yang dianggap suci dan baku. Walaupun kedua argumentasi bisa bernegosiasi bahkan digabungkan, dalam kenyataan argumentasi agamawi tidak harus merasa perlu menjustifikasi argumennya secara rasional apalagi dengan bukti atau data lapangan, tetapi cukup dengan dalil agama. Sehingga selama ini argumentasi agamawi bisa dengan mudah mendominasi dalam setiap jalur komunikasi, karena mempunyai kekuasaan khusus, yaitu kekuasaan untuk mengatasnamakan Tuhan yang tidak mungkin disalahkan. Selama ini orang sudah takut mengkritik pendapat yang katanya dibangun berdasarkan dalil atau ayat suci agama, dan orang sudah dengan gampang memaki gagasan (sedamai dan semulia apapun) yang tidak berdasarkan dalil agama.
Keputusan MK atas “judicial review” ini secara tidak langsung memberikan “approval” bahwa pembahasan wacana dan dalil agama tidak harus berhenti di tempat ibadah, melainkan didorong untuk semakin merambah ke ranah publik berhadapan dengan argumentasi publik. Keputusan MK menambah ketidakadilan perang wacana, karena orang yang beargumen dengan membawa akal sehat , “common sense”, dan memikirkan nilai-nilai luhur di luar agama, serta memperjuangkan semua kelompok, sudah dikalahkan; sedangkan kalangan yang berargumen dengan mendasarkan diri pada dalil-dalil agama sudah dimenangkan. Keputusan MK yang menegaskan pentingnya hukum agama dan pokok-pokok ajaran agama yang baku jelas menambah kekuatan dan dominasi argumentasi agamawi atas argumentasi rasional, serta mengenyampingkan “civil discourse”, yakni wacana yang menekankan argumentasi yang damai, rasional berbasis data, analisa, dan justifikasi demi kepentingan umum.
Ringkas kata, keputusan MK yang menolak judicial review atas UU No 1/PNPS/1965 tentang Larangan Penodaan Agama mendorong orang yang sudah takut mengkritik dalil-dalil agama untuk semakin lebih takut dan lebuh tunduk lagi. Matinya “civil discourse” yang diganti dengan dominasi “religious discourse”, ditambah ketakutan akan wacana dan hukum agamawi, jelas akan membawa Indonesia bukan hanya menjadi suatu negara agama, tetapi juga akan menyebabkan matinya demokrasi. Demokrasi akan mati karena norma dan aturan yang dimunculkan tidak partisipatif dan konvensional, melainkan koersif dan intimidatif. Semoga “civil discourse” dan umat beragama dan para pemimpin Indonesia yang masih bisa sadar bahwa sistem demokrasi adalah yang terbaik, masih boleh hidup di Indonesia di masa-masa yang akan datang.
Thursday, April 29, 2010
Lagi-lagi Api Membakar, Gedung Gereja Disegel:
Supremasi Hukum Diinjak-injak!
Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal
Selasa, 27 April 2010, Kompas.com (klik di sini) memberitakan bahwa pada Selasa siang, 27/4/2010, sekitar 1000 orang mendatangi dan merusak serta membakar tiga bedeng pekerja, satu kantor kontraktor, dua mobil, dan tangki bahan bakar solar di areal pembanguan Wisma Badan Pendidikan Kristen (BPK) Penabur di Jalan Taman Safari, Desa Cibereum, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. Penyebabnya, massa menduga BPK Penabur akan membangun sebuah rumah peribadatan (gereja) di areal tersebut.
Kepala Kepolisian Resor Bogor Ajun Komisaris Besar Tomex Korniawan mengatakan, benih akan terjadi konflik atas rencana pembangunan wisma tersebut sudah muncul sejak 27 Juli 2009, ketika Bupati Rachmat Yasin memberi izin pembangunan wisma tersebut. “Areal tersebut luasnya 2,7 hektar. Jadi, ada semacam kesalahpahaman. Banyak warga menduga yang (sedang) dibangun adalah rumah peribadatan atau gereja,” kata Tomex. Menurutnya lebih lanjut, Pemkab Bogor memberi izin pembangunan wisma tersebut, karena pihak pemohon telah mengajukan permohonan sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang diatur dalam undang-undang dan peraturan daerah.
Lebih jauh menurut Tomex Korniawan, kasus Wisma BPK Penabur di Cisarua ini serupa dengan kasus pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kota Bogor. Ada tuntutan warga agar izin pembangunan gedung gereja yang telah diberikan pemerintah dicabut lagi. Namun dalam kasus Wisma BPK Penabur, izin yang dikeluarkan Pemkab adalah izin pembangunan wisma. Pihak Pemkab, dalam hal ini Wakil Bupati, sudah meminta agar pembangunan wisma BPK Penabur ini dihentikan. Perlu dicatat bahwa BPK Penabur adalah sebuah lembaga pendidikan Kristen yang kebetulan bernaung di bawah Gereja Kristen Indonesia.
Seperti telah diketahui masyarakat, Kompas.com pada Kamis, 11 Maret 2010 (klik di sini), memberitakan bahwa pemerintah kota Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 11 Maret 2010, telah menyegel pembangunan GKI Yasmin di Kecamatan Bogor Barat. Penyegelan dilakukan karena pihak GKI tidak menghiraukan teguran yang telah dilayangkan Pemkot Bogor untuk menghentikan pembangunan. Penyegelan ini dilakukan Satpol Pamong Praja Bogor didampingi unsur Polresta Bogor dan Koramil Bogor Barat dengan disaksikan puluhan warga Taman Yasmin yang tergabung dalam Forum Komunikasi Muslim Indonesia (Forkami) Bogor dan sejumlah wakil jemaat GKI Yasmin.
Dicatat bahwa penyegelan ini dilakukan atas desakan kuat warga Taman Yasmin, Forkami Bogor bersama Tim Pembela Muslim, yang bersama-sama beberapa kali telah berdemonstrasi di Pemkot Bogor. Desakan mereka dikabulkan Wali Kota Bogor Diani Budiarto. Kelompok umat Kristen yang membangun gereja tersebut kemudian mengajukan gugatan atas tindakan Pemkot ini, dan pengadilan memenangkan tuntutan tersebut. Namun hingga kini, gereja itu masih disegel pihak Pemkot Bogor.
Kejadian-kejadian pembakaran dan penyegelan semacam di atas terhadap bangunan-bangunan milik komunitas Kristen sama sekali bukan hal baru di Indonesia. Meskipun demikian, perlu juga dikemukakan kembali beberapa catatan pengingat berikut ini.
- Di Indonesia, pemberlakuan sebuah keputusan berkekuatan hukum yang mengikat masih rentan menghadapi kekuatan-kekuatan antihukum yang memaksa keputusan berkekuatan hukum itu dibatalkan. Keadaan ini menunjukkan bahwa supremasi hukum di Indonesia sungguh-sungguh masih belum ada meskipun Indonesia sudah berdiri selama 65 tahun sebagai sebuah negara hukum (rechtsstaat);
- Meskipun Indonesia bukan sebuah negara agama (theocratie), namun dalam praktek nyata kehidupan dalam masyarakat kekuatan besar dari umat beragama mayoritas (Islam) sanggup memaksa pemerintah tunduk pada kemauan umat ini sekalipun kemauan umat ini melawan dan melanggar hukum. Kenyataan ini membuat orang sangat meragukan kemampuan dan kemauan pemerintah RI untuk memperlakukan semua rakyat Indonesia sebagai orang-orang yang memiliki kedudukan yang sama dan sederajat di depan hukum;
- Umat Kristen di Indonesia perlu melakukan pemeriksaan diri dan pembelajaran ulang mengapa mereka kerap tipikal dicurigai dan ditakuti oleh umat Islam di Indonesia sebagai kelompok umat yang akan selalu melakukan usaha pengkristenan atas umat Islam di Indonesia dan akan selalu memperluas kawasan Kristen di bumi Indonesia;
- Umat Kristen di Indonesia perlu sekali menyadari bahwa memenuhi segala prosedur dan persyaratan hukum saja dalam setiap kiprah sosial mereka tidaklah cukup jika mereka mau diterima oleh lingkungan sekitar mereka yang mayoritas beragama Islam. Umat Kristen perlu melakukan pendekatan persaudaraan dengan lingkungan yang semacam ini jika memang umat Kristen di suatu kawasan mayoritas Muslim tidak bermaksud melakukan kegiatan pengkristenan;
- Umat Kristen di Indonesia yang memang memegang beranekaragam visi dan misi Kristen harus sudah meninggalkan tujuan tradisional utama misi mereka untuk mengkristenkan negeri Indonesia jika mereka ingin dapat hidup berdampingan dengan damai bersama umat Muslim Indonesia;
- Umat Kristen di Indonesia bersama-sama dengan umat-umat beragama lain, termasuk dengan kalangan Muslim Indonesia, harus dengan serius mengupayakan tegaknya HAM dan hukum di Indonesia demi mencapai cita-cita bersama untuk menjadikan negeri Indonesia adil, maju dan makmur untuk semua warganegara.
Meskipun keadaanmya sangat suram, penulis percaya bahwa bangsa dan negara Indonesia masih tetap memiliki kesanggupan dan kemauan untuk menjadikan bumi Indonesia sebagai suatu tempat kediaman bersama bagi semua penduduknya, suatu tempat kediaman yang dicari dan diidam-idamkan semua orang di dunia ini karena di dalamnya semua orang menemukan persaudaraan yang sejati. Semoga.
Labels:
Api Membakar,
BPK Penabur,
Gereja Disegel,
Gereja Kristen Indonesia,
GKI Yasmin,
Ioanes Rakhmat
Wednesday, March 31, 2010
Lesbian, Gay dll ... Adalah Saudara Kita Juga!
Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal
Karena tak mendapatkan izin dan jaminan keamanan dari pihak Polda Jatim dan Polwiltabes Surabaya, dan juga karena ditolak sejumlah kalangan seperti Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, Pengurus Wilayah Muhamadiyah Jawa Timur, Front Pembela Islam Surabaya, Pemkot Surabaya, akhirnya kegiatan Konferensi Regional International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA) yang sedianya digelar di Surabaya, 26-28 Maret 2010, dan dihadiri 100 peserta dari 20 negara Asia, dibatalkan. ILGA adalah bagian dari banyak ragam gerakan yang memperjuangkan dan membela hak-hak sipil, hukum, sosial, kebudayaan, pekerjaan dan politik kalangan LGBTIQ dan para pendukung mereka.
LGBTIQ adalah sebuah deretan huruf besar yang sudah mulai dikenal banyak orang dewasa ini di Indonesia, singkatan dari Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender-Intersexed-Questioning. Gerakan mereka dan para pendukung mereka sebenarnya sudah lama berdiri di luar Indonesia mula-mula sebagai “gerakan homofili” (=gerakan mencintai pasangan yang ber-sex sama) yang diadakan oleh dan bagi kalangan lesbian dan gay pada tahun 1952 dengan didirikannya Mattachine Society di Amerika Serikat. Karena terjadi konflik antara kalangan lesbian dan kalangan gay atas isu-isu politis strategis dan prioritas, sekelompok lesbian membentuk Daughters of Bilitis di San Francisco, Amerika Serikat, 1955.
Di Indonesia, seperti telah dicontohkan oleh kasus di atas, kalangan LGBTIQ hingga sekarang ini masih rentan terhadap perlakuan keras dan tidak adil dari sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat keagamaan yang masih berpikiran tradisional skriptural. Menurut pemikiran ini, kalangan LGBTIQ adalah kalangan yang dimurkai dan dikutuk Tuhan karena dosa-dosa nenek moyang atau dosa orangtua mereka atau karena moralitas seksual mereka yang bobrok, yang melawan nilai-nilai moral seksual yang sehat dan benar yang sudah ditetapkan Tuhan untuk masyarakat. Dosa nenek moyang atau dosa orangtua menyebabkan mereka, menurut pandangan ini, lahir dengan bentuk anatomis alat kelamin yang tidak normal, atau memiliki orientasi seksual yang menyimpang dari kewajaran. Benarkah penilaian ini?
Hemat saya sama sekali tidak benar! Memang perilaku seksual yang menyimpang bisa terbentuk karena lingkungan kehidupan dan pergaulan yang bermoral bobrok. Tetapi ada sangat banyak insan LGBTIQ di dunia ini yang tidak hidup di lingkungan kehidupan dan pergaulan yang bobrok; tetapi karena faktor genetik, mereka memiliki kromosom seksual yang berbeda dari orang lain yang memiliki orientasi seksual tunggal, sebagai laki-laki biasa atau sebagai perempuan biasa. Orientasi seksual yang biasa, wajar dan umum ini, sebagai laki-laki atau sebagai perempuan, tidak boleh dipakai untuk menilai kalangan LGBTIQ sebagai kalangan yang tidak normal, tidak sehat, atau sebagai kalangan yang dimurkai Tuhan. Posisi mereka yang umumnya sudah tersudut dalam masyarakat, akan dibuat makin tersudut jika masyarakat memakai pandangan keagamaan tradisional untuk menilai moral dan keadaan jasmaniah dan psikis mereka. Ilmu genetika, kedokteran modern dan psikologi belum ada ketika Kitab Suci manapun ditulis pada zaman pramodern. Karena itu sangatlah anakronistik dan tidak adil jika pandangan-pandangan Kitab Suci apapun dipakai untuk menilai kalangan LGBTIQ sebagai kalangan yang memiliki orientasi dan perilaku seksual tidak normal bahkan bejat.
Dalam negara Indonesia yang bukan negara agama, seharusnya pemerintah, aparat keamanan, politikus, praktisi hukum dan masyarakat sipil bisa berempati dengan keadaan kehidupan kalangan LGBTIQ. Kalangan ini adalah juga saudara-saudara kita yang perlu kita terima dan cintai, dan perlu kita dorong terus untuk mereka bersemangat membangun kehidupan mereka sendiri dalam masyarakat bersama. Lain kali, kalau kalangan ini mau berkonferensi di Indonesia ya janganlah dihambat lagi. Kalau pemerintah belum bisa memberi dukungan keuangan, ya dukunglah mereka secara moril. Kalau umat beragama belum bisa memberi suatu pembenaran teologis kepada kalangan LGBTIQ, ya janganlah memakai teologi atau keyakinan keagamaan untuk memasung hak-hak berkumpul dan berserikat mereka.
Pemikir Kristen liberal
Karena tak mendapatkan izin dan jaminan keamanan dari pihak Polda Jatim dan Polwiltabes Surabaya, dan juga karena ditolak sejumlah kalangan seperti Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur, Pengurus Wilayah Muhamadiyah Jawa Timur, Front Pembela Islam Surabaya, Pemkot Surabaya, akhirnya kegiatan Konferensi Regional International Lesbian, Gay, Bisexual, Trans and Intersex Association (ILGA) yang sedianya digelar di Surabaya, 26-28 Maret 2010, dan dihadiri 100 peserta dari 20 negara Asia, dibatalkan. ILGA adalah bagian dari banyak ragam gerakan yang memperjuangkan dan membela hak-hak sipil, hukum, sosial, kebudayaan, pekerjaan dan politik kalangan LGBTIQ dan para pendukung mereka.
LGBTIQ adalah sebuah deretan huruf besar yang sudah mulai dikenal banyak orang dewasa ini di Indonesia, singkatan dari Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender-Intersexed-Questioning. Gerakan mereka dan para pendukung mereka sebenarnya sudah lama berdiri di luar Indonesia mula-mula sebagai “gerakan homofili” (=gerakan mencintai pasangan yang ber-sex sama) yang diadakan oleh dan bagi kalangan lesbian dan gay pada tahun 1952 dengan didirikannya Mattachine Society di Amerika Serikat. Karena terjadi konflik antara kalangan lesbian dan kalangan gay atas isu-isu politis strategis dan prioritas, sekelompok lesbian membentuk Daughters of Bilitis di San Francisco, Amerika Serikat, 1955.
Di Indonesia, seperti telah dicontohkan oleh kasus di atas, kalangan LGBTIQ hingga sekarang ini masih rentan terhadap perlakuan keras dan tidak adil dari sebagian besar masyarakat, khususnya masyarakat keagamaan yang masih berpikiran tradisional skriptural. Menurut pemikiran ini, kalangan LGBTIQ adalah kalangan yang dimurkai dan dikutuk Tuhan karena dosa-dosa nenek moyang atau dosa orangtua mereka atau karena moralitas seksual mereka yang bobrok, yang melawan nilai-nilai moral seksual yang sehat dan benar yang sudah ditetapkan Tuhan untuk masyarakat. Dosa nenek moyang atau dosa orangtua menyebabkan mereka, menurut pandangan ini, lahir dengan bentuk anatomis alat kelamin yang tidak normal, atau memiliki orientasi seksual yang menyimpang dari kewajaran. Benarkah penilaian ini?
Hemat saya sama sekali tidak benar! Memang perilaku seksual yang menyimpang bisa terbentuk karena lingkungan kehidupan dan pergaulan yang bermoral bobrok. Tetapi ada sangat banyak insan LGBTIQ di dunia ini yang tidak hidup di lingkungan kehidupan dan pergaulan yang bobrok; tetapi karena faktor genetik, mereka memiliki kromosom seksual yang berbeda dari orang lain yang memiliki orientasi seksual tunggal, sebagai laki-laki biasa atau sebagai perempuan biasa. Orientasi seksual yang biasa, wajar dan umum ini, sebagai laki-laki atau sebagai perempuan, tidak boleh dipakai untuk menilai kalangan LGBTIQ sebagai kalangan yang tidak normal, tidak sehat, atau sebagai kalangan yang dimurkai Tuhan. Posisi mereka yang umumnya sudah tersudut dalam masyarakat, akan dibuat makin tersudut jika masyarakat memakai pandangan keagamaan tradisional untuk menilai moral dan keadaan jasmaniah dan psikis mereka. Ilmu genetika, kedokteran modern dan psikologi belum ada ketika Kitab Suci manapun ditulis pada zaman pramodern. Karena itu sangatlah anakronistik dan tidak adil jika pandangan-pandangan Kitab Suci apapun dipakai untuk menilai kalangan LGBTIQ sebagai kalangan yang memiliki orientasi dan perilaku seksual tidak normal bahkan bejat.
Dalam negara Indonesia yang bukan negara agama, seharusnya pemerintah, aparat keamanan, politikus, praktisi hukum dan masyarakat sipil bisa berempati dengan keadaan kehidupan kalangan LGBTIQ. Kalangan ini adalah juga saudara-saudara kita yang perlu kita terima dan cintai, dan perlu kita dorong terus untuk mereka bersemangat membangun kehidupan mereka sendiri dalam masyarakat bersama. Lain kali, kalau kalangan ini mau berkonferensi di Indonesia ya janganlah dihambat lagi. Kalau pemerintah belum bisa memberi dukungan keuangan, ya dukunglah mereka secara moril. Kalau umat beragama belum bisa memberi suatu pembenaran teologis kepada kalangan LGBTIQ, ya janganlah memakai teologi atau keyakinan keagamaan untuk memasung hak-hak berkumpul dan berserikat mereka.
Tubuh Perempuan
Author: Nong Darol Mahmada
Aktivis Jaringan Islam Liberal di Indonesia
Film Pertaruhan adalah sebuah film antologi berisi empat cerita tentang perempuan. Film ini sebuah dokumenter karya bersama hasil workshop “Project Change! 2008” yang merupakan suatu program kerjasama Kalyana Shira Foundation, Dewan Kesenian Jakarta, dan The Body Shop. Sutradara terpilih dari program ini difasilitasi untuk merealisasikan film mereka lewat bendera Kalyana Shira Films di bawah pimpinan Nia Dinata.
Para sutradara dalam film ini adalah Ucu Agustin yang menggarap film Ragate Anak, Lucky Kuswandi dalam film Nona Nyonya?, Iwan Setyawan dan M Ichsan menggarap film Untuk Apa?, dan Ami Ema Susanti yang menggarap film Mengusahakan Cinta.
Menonton film ini kita bisa melihat bagaimana realitas perempuan di Indonesia dalam pelbagai aspek kehidupan. Dari mulai kalangan bawah seperti dalam film Ragate Anak, kalangan agamawan dan budaya dalam film Untuk Apa?, kalangan buruh migran dan homoseksual dalam film Mengusahakan Cinta, sampai kalangan perempuan kelas menengah yang mandiri dalam film Nona Nyonya?. Film ini sebenarnya bukanlah film yang baru dalam mengangkat persoalan perempuan. Dalam film sebelumnya kita tahu, Nia Dinata yang menjadi produser dalam film ini, juga telah mendedahkan secara apik persoalan perempuan seperti dalam film Berbagi Suami dan Arisan.
Namun hal yang menarik dan kelebihan dari film Pertaruhan ini adalah kejadiannya berdasar pada fakta yang betul-betul riil. Karena saya terlibat dalam salah satu film di atas, saya dapat menyatakan bahwa sutradara tidak menyetir maupun mendramatisir sebuah fakta. Sutradara sekadar merekam kenyataan itu apa adanya. Film ini betul-betul menjadi dokumen dari persoalan-persoalan yang memang terjadi di sekitar kita. Dari film ini, kita bisa melihat dengan jelas bahwa persoalan perempuan selalu dikaitkan dengan persoalan tubuhnya. Tubuh seakan-akan menjadi titik sentral dari segala kewajiban dan aturan yang dikenakan pada perempuan.
Semestinya tubuh merupakan ranah hakiki setiap manusia sebagai ajang ekspresi diri atas kreativitasnya. Namun, halnya tidak demikian dengan tubuh perempuan. Tubuh perempuan tidak pernah dipunyai dirinya sendiri. Perempuan kehilangan raganya. Tubuh perempuan selalu menjadi area publik untuk dikontrol, dilabel, dinilai, diobjektivikasi, termasuk dikriminalisasi melalui pelbagai aturan, baik yang berdasarkan agama maupun peraturan yang dikontrol negara seperti UU Pornografi dan perda-perda syariah yang marak sekarang ini. Otonomi perempuan atas tubuhnya dirampas oleh nilai yang tidak pernah mengindahkannya sebagai makhluk setara. Oleh karenanya, dengan rasa terancam dan terkungkung, perempuan bersikap pasif saja dalam mengalami kekerasan sebab dia tidak memiliki kemerdekaan atas tubuh, pikiran dan geraknya. Karena itu, perempuan tidak mampu menciptakan sejarah sebagai manusia sempurna karena nilai dirinya selalu dilekatkan pada tubuhnya.
Sejak lahir, perempuan dibebankan peran lebih sebagai penjaga moral, namun di lain sisi, publik tidak pernah mempercayai moralitas perempuan. Akibatnya, tubuh perempuan kerap dipantau oleh siapapun sepanjang hidupnya dan tubuh perempuan dijadikan indikator moralitas di masyarakat. Seperti kalau kita melihat film Pertaruhan, misalnya dalam bagian film Untuk Apa? tentang kasus khitan perempuan. Sejak awal diyakini dan dipercayai kalau perempuan tidak dikhitan maka perempuan itu akan liar dan nakal (Apa hubungannya coba??). Supaya perempuan tidak liar dan nakal, dia harus dikhitan. Karena itu salah satu bagian tubuh perempuan yang paling sentral, yaitu kelentit pada vagina, harus dipotong meski hanya secara simbolis maupun secara “betulan.” Bahkan di beberapa negara Islam, kelentit pada vagina perempuan dihilangkan. Padahal, dilihat dari sudut teologi, khitan pada perempuan hanyalah dianjurkan (sunnah), tapi dilihat dari sudut tradisi dan budaya yang sangat patriarkal khitan menjadi kewajiban. Sebetulnya, kalau dilihat secara medis khitan untuk perempuan tidak ada gunanya sama sekali, malah sangat berbahaya karena bisa menimbulkan infeksi dan mengakibatkan perempuan kehilangan, dan tidak akan pernah merasakan, kenikmatan berhubungan seks. Berbeda dengan khitan untuk laki-laki, secara medis pun itu disarankan dan secara teologis diwajibkan.
Begitu juga dalam bagian film Mengusahakan Cinta, diceritakan bagaimana seorang laki-laki yang sudah pernah beristri dan punya anak, masih mempersoalkan keperawanan calon istrinya. Padahal kalau pun calon istri ini kehilangan keperawanannya, kehilangan ini bukan karena dia telah melakukan sexual intercourse dengan laki-laki lain tapi karena kesehatannya. Kejadian seperti ini banyak terjadi. Karena soal keperawanan penting, tak heran bila kita melihat operasi “keperawanan” menjadi suatu bisnis yang marak. Di sini kita melihat bagaimana sebagian laki-laki masih menganggap keperawanan identik dengan moralitas perempuan meski perempuan itu secara moral dan tindakan sangat baik.
Masalah keperawanan sebagai sebuah indikator perempuan yang baik juga bisa kita lihat dalam film Nona Nyonya?. Pihak rumah sakit dan sebagian besar dokter kandungan yang semestinya netral, di film ini diperlihatkan, masih menganggap “aneh” bila seorang perempuan single mau di-papsmear (pemeriksaan dalam rahim). Papsmear gunanya untuk mengetahui kondisi kesehatan rahim. Anggapan aneh ini muncul karena publik umumnya menganggap bahwa pemeriksaan papsmear hanya diperuntukkan buat perempuan yang sudah bersuami. Sementara perempuan yang single, meski dia sudah melakukan hubungan seks atau karena penyakit keputihan atau alasan lainnya, akan dianggap aib, berdosa dan aneh jika meminta pelayanan papsmear, seakan-akan dia tidak punya hak untuk memeriksakan rahimnya. Akhirnya perempuan enggan memeriksakan alat reproduksinya padahal pemeriksaan tersebut sangat vital untuk kesehatan reproduksinya. Makanya tidak heran bila kita lihat dalam film ini, rumah sakit akan menanggapi secara negatif, minimal dengan menanyakan hal-hal macam-macam dan bahkan yang lebih ekstrim lagi “didakwahi” oleh dokternya, jika seorang perempuan single meminta di-papsmear.
Kondisi perempuan dalam film Ragate Anak paling tragis dan ironis. Dalam film ini kita melihat bagaimana seorang perempuan hanya dihargai sepuluh ribu rupiah untuk tubuhnya. Padahal seorang perempuan melakukan pekerjaan menjual tubuh tersebut hanya untuk menghidupi keluarga dan bertahan hidup ketika pekerjaan lain sangat sulit didapat. Kita melihat di lapangan, perempuan tidak hanya tubuhnya tidak dihargai, bahkan mereka dieksploitisir dan “dikerjain”oleh para lelaki yang menjadi kiwir dan calo yang “mengompas” dan memanfaatkan mereka, baik raga mereka maupun materi yang mereka miliki. Para lelaki itu pun berkomplot dengan aparat untuk kelancaran usaha mereka. Semestinya aparat melindungi warganya, tapi malah kita melihat hal sebaliknya, yakni mereka mengkriminalisasi perempuan dan tidak memfasilitasi serta melindungi warga perempuan dalam menyediakan lapangan kerja kalau memang pekerjaan PSK dianggap tidak diperbolehkan dan memalukan. Setelah adanya film ini lokasi Bolo ditutup dan “isinya” dibiarkan terlunta-lunta. Alasannya prostitusi di daerah ini tidak sesuai dengan syariat dan membuat aib warga Temanggung.
Menonton film Pertaruhan, kita seperti melihat “taman mini” persoalan perempuan di Indonesia. Harus diakui bahwa perempuan masih sangat jauh dari kondisi baik dalam mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan oleh negara lewat hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Perundang-undangan di Indonesia buat saya masih sangat bias atau pro laki-laki. Lihat saja perundang-undangan yang ada seperti UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Politik, UU Kesehatan, UU Pornografi dan lainnya. Saya kira, teman-teman PSHK lebih ahli dalam mengeksplorasi persoalan ini. Bahkan ada informasi terbaru bahwa akan ada RUU Perkawinan yang isinya melegalkan suami beristri empat (poligami). Belum lagi maraknya perda-perda syariat yang isinya mendomestikasi perempuan dan menutup peran mereka lewat kriminalisasi tubuh dengan cara “menutup” tubuh perempuan seluruhnya.
Fakta yang luput dan semestinya disadari oleh pembuat kebijakan adalah semestinya hukum secara substansial mempertimbangkan prinsip kesetaraan dan keadilan bagi semua warga masyarakat. Hal ini merupakan suatu kewajiban dan bukannya berlindung di balik objektivitas dan netralitas. Alih-alih untuk melindungi perempuan, aturan-aturan yang ada seperti UU Pornografi, perda-perda syariah bahkan fatwa ulama yang keluar akhir-akhir ini tentang perempuan malah, sebaliknya, mengkriminalisasi perempuan.
Kenyataan ini menjadi tantangan buat kita semua untuk bekerja lebih baik dan lebih keras lagi untuk kesetaraan dan keadilan buat perempuan. Kalangan civil society harus berusaha keras dengan melakukan konsolidasi dan kerja sama untuk terus menerus memberi masukan dan pressure kepada pembuat kebijakan seperti DPR dan pemerintah agar bisa merumuskan UU dan kebijakan yang pro perempuan. Hal ini harus bisa terjadi, sebab Indonesia bukanlah negara agama (Islam), tidak seperti negara-negara Islam di Saudi Arabia yang karena alasan-alasan agama dan kebudayaan memang memperlakukan kaum perempuan sebagai warganegara rendahan.
Saturday, February 27, 2010
Ketakutan akan Tuhan adalah Permulaan Teokrasi
Author: Peter Suwarno
Pengajar di Universitas Negara Arizona,
Amerika Serikat
Kalau anda mampir ke kampus almamater saya, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Indonesia, di salah satu dinding gedung (Gedung G) tempat program pasca sarjana, terpampang tulisan: “Takut akan Tuhan adalah permulaan segala pengetahuan.” Sebuah motto yang diambil dari kitab suci, yang interpretasinya tentu bisa berbeda-beda. Bisa dimaksudkan supaya dalam menimba ilmu kita tetap ingat pada Tuhan dengan segala kuasa dan ajaran-Nya dan ilmu apapun yang kita dapat kita tetap dapat beriman hanya pada-Nya; bisa juga diinterpretasikan bahwa ilmu apapun yang kita dapat harus sesuai dengan hukum dan ajaran Tuhan; yang tidak sesuai harus kita buang jauh-jauh.
Walaupun masih banyak kemungkinan interpretasi lain, dalam banyak teori modern apalagi pasca-modern, yang ditekankan justru bukan “takut akan Tuhan” sebagai awal ilmu pengetahuan, melainkan “keragu-raguan,” karena keragu-raguan dan skeptisismelah yang mendorong manusia untuk bertanya, mencari jawab, memperdebatkan, mengetes, mencari bukti, meneliti dan menganalisa sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Jadi kalau mau betul-betul mencari, menambah, dan mendalami ilmu pengetahuan, mottonya seharusnya berbunyi: “Keragu-raguan adalah awal dari segala ilmu pengetahuan.”
Bukankah keragu-raguan ini biang kelunturan iman umat beragama, sehingga merupakan awal hilangnya agama? Menurut Peter Berger dan Anton Zijderveld dalam buku In Praise of Doubt: How to Have Convictions without Becoming a Fanatic, justru agama yang hidup dan berkembang, penuh toleransi, dan menarik simpati banyak orang, bersumber dari adanya sebercik keragu-raguan. Ini bukan berarti meragukan segala yang ada dalam ajaran agama, tetapi mempertanyakan kemungkinan penerapan dan interpretasi ajaran yang bisa kurang luhur. Menurut para penulis ini, iman seharusnya bukan percaya dan yakin saja atas semua ajaran agama yang dianggap mutlak benar dan sempurna, tetapi iman yang hidup akan terus mencari dan menggali apa yang mulia dan berguna bagi kedamaian dan kesejahteraan seluruh umat manusia. Dan untuk itu diperlukan sebercik keragu-raguan.
Memang, berdasarkan pengalaman saya belajar, dibesarkan, dan hidup di Indonesia, “takut” atau “ketakutan” kelihatannya lebih penting daripada “keragu-raguan” atau “mempertanyakan.” Saya ingat bahwa sejak kecil rasa takut itu ditanamkan oleh pihak-pihak yang berkuasa, mulai dari polisi dan kepala desa sampai pada orangtua, guru, dan pemimpin agama. Sebagai anak, saya merasa takut dan harus tunduk pada orangtua dan guru, karena mereka yang sering memarahi dan menghukum baik dengan tindakan maupun dengan kata-kata dan sindiran. Kalau toh mereka sebenarnya salah, anak-anak zaman saya tidak berani mempertanyakan, apalagi mengkritik mereka. Pemimpin dan guru agama menakutkan juga, karena mereka diposisikan sebagai wakil Tuhan, dan kalau mereka sudah berbicara tentang neraka, siapa tidak takut. Kepala desa dan polisi apalagi. Bapak saya sendiri dulu selalu kelihatan takut waktu didatangi kepala desa dan polisi, apalagi kakek saya pernah dituduh tersangkut PKI.
Tidak kurang kreatif para penguasa level bawah sampai level atas. Dalam menciptakan ketakutan, yang menurut mereka penting adalah membuat anak-anak dan pengikut mereka punya rasa takut terhadap mereka sehingga mereka dapat menampakkan kepatuhan dan loyalitas yang tinggi. Seringkali sumber ketakutan yang dieksploitasi adalah hantu serta apa yang dianggap dosa atau tabu. Misalnya: “Jangan bermain di luar malam-malam, nanti digondol wewe,” atau “Kalau dikasih tahu orangtua tidak boleh menjawab, itu dosa.” Barangkali memang beralasan kalau bangsa kita dipenuhi orang-orang yang takut, bukan hanya karena banyaknya cerita menakutkan sejak kecil, sinetron-sinetron hantu dan kuburan, dan gambaran kehidupan sesudah kematian, namun juga semua yang menakutkan itu sering dibenarkan atau disinspirasi oleh banyaknya khotbah dan ayat suci mengenai hukuman di neraka yang wacananya memenuhi banyak saluran komunikasi di Indonesia.
Exploitasi para penguasa atas rasa takut rakyat di Indonesia sudah lama efektif dilakukan dalam pengalaman sejarah bangsa yang memang menakutkan. Pada zaman raja-raja, rakyat harus patuh dan takut sehingga kekuasaan kerajaan bisa berlangsung; pada zaman penjajahan kita dituntut takut akan penjajah, sehingga kita tunduk dan ikut perintah penjajah walaupun kita sadar itu salah; pada zaman PKI kita juga dipenuhi ketakutan luar biasa dan berserah pada apapun maunya penguasa asal aman, walaupun jelas banyak kemauan mereka yang tidak manusiawi; dan pada zaman Soeharto, kita juga dibuat takut sehingga menerima saja kehendak pemerintah dan tak berani mengkritik sedikitpun (kalau kita tidak mau “dihilangkan”), walaupun kita tahu banyak hal yang tidak beradab.
Nah pada zaman reformasi ini tentunya seharusnya tidak ada alasan untuk takut lagi. Benarkah kita tidak punya rasa takut lagi? Bukankah rakyat bisa protes pemimpin kita kapan saja? Bukankah setiap hari ada demonstrasi? Bukankah masyarakat dan media massa bisa mengkritik penguasa termasuk SBY? Tentu kita punya rasa takut, seperti takut akan bencana alam, takut tidak berhasil, takut terkena penyakit, dan takut terkena PHK. Dalam kehidupan politik dan sosial kemasyarakatan, kita tidak terlalu takut pada penguasa, anak-anak juga tidak terlalu takut pada orangtua dan guru. Satu-satunya ketakutan yang secara pelan-pelan tapi pasti merambah semakin dalam adalah ketakutan akan agama dan ajaran kitab suci yang dieksploitasi manusia beragama untuk mengembangkan pengaruh dan kuasa serta mempertahankan status quo. Kita telah ditekan bertubi-tubi dengan berbagai wacana untuk takut pada prinsip-prinsip dari kitab suci yang dianggap mutlak sempurna, luar biasa suci, dan begitu maha mulia, sampai pengikut agamapun rela mengorbankan apapun untuk mempertahankannya.
Ketakutan akan Tuhan itu sudah dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga ketakutan pada ajaran agama, yang wacananya semakin dominan dalam masarakat, sudah berkembang menjadi takut pada suatu kelompok agama tertentu. Bukan hanya rakyat biasa yang takut pada kelompok agama tertentu, sampai aparat keamanan pun takut. Contohnya, pada waktu terjadi tindak kekerasan dan pengrusakan, seharusnya kelompok yang merusak dan melukai tersebut bisa ditangkap langsung; tetapi yang terjadi adalah aparat keamanan takut dan diam saja. Bukan hanya itu, kelompok masyarakat dan pemimpin agamapun harus hati-hati mengkritik apalagi mengecam kelompok lain yang membawa bendera agama dalam melakukan kekerasan. Sungguh mencengangkan bahwa pelanggar aturan negara dan aturan publik tidak bisa ditindak hanya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada interpretasi mereka mengenai ajaran agama.
Ketakutan pada agama juga merambah ke politisi dan pejabat. Mereka sering ditakut-takuti bahwa konstituen yang agamawi tidak akan mendukung mereka, dan mereka memang takut sehingga mereka pura-pura menjadi sangat beragama dan tidak berani membuat kebijakan tegas atau bertindak tegas menghukum siapa saja, termasuk kelompok beragama yang melanggar hukum. Jangankan politisi, calon pemimpin agama yang kritis dan liberalpun perlu menunjukkan kekonservatifannya yang lebih kuat dan harus mau menanggalkan pikiran kritis dan keliberalannya kalau mau menjadi pemimpin kelompok keagamaan tertentu; kalau tidak, jangan harap dirinya bisa terpilih menjadi pemimpin. Tidak berhenti di situ, media massa dan wartawan pun harus takut, atau minimal hati-hati, kalau memberitakan masalah agama; masih ingat protes dan ancaman KISDI terhadap KOMPAS, atau pembredelan majalah Monitor, atau ancaman terhadap Indopos? Lebih jauh lagi, ilmuwan modernpun harus dibuat takut oleh agama. Bisa dilihat sikap mereka yang sangat hati-hati dalam menelaah dan memublikasikan hasil riset mereka mengenai agama. Kalau tidak takut dan terlalu berani dalam mengkritik agama, mereka takut akan di-SalmanRushdi-kan.
Ketakutan pada ajaran agama dan pada pengikut garis-kerasnya ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan di Amerika Serikat, di negara yang sudah ratusan tahun meyakini kebebasan berpendapat pun, orang harus hati-hati kalau mau kritis terhadap agama. Contoh yang gamblang, Random House, calon penerbit buku The Jewel of Medina, karangan Sherry Jones, terpaksa membatalkan penerbitannya karena mendapat peringatan dari pemimpin suatu agama tertentu. Padahal setelah diterbitkan penerbit lain, isi bukunya tidak ada yang menodai agama. Asisten saya yang gemar mengikuti konferensi agama, mencatat contoh-contoh sikap sangat hati-hati para presenter kalau mau mengkritik ajaran agama. Semester lalu, beberapa mahasiswa Arizona State melaporkan saya karena saya terlalu kritis pada ajaran agama waktu mengajar, sehingga direkturnya menegur saya; padahal di kelas saya, mahasiswa merasa bebas membuat argumentasi apa saja asal ada justifikasinya.
Kekuasaan berdasarkan agama memang bisa dilanggengkan, hanya kalau banyak orang takut akan Tuhan dan ajarannya (tidak peduli ajarannya mulia atau tidak, relevan dengan kehidupan sekarang atau tidak). Dan kalau orang masih tidak takut, harus dipaksa takut dengan undang-undang seperti Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1965. Umat beragama (garis keras, terutama) harus mati-matian mempertahankan undang-undang tersebut, karena undang-undang ini membantu menyebarkan rasa takut pada orang yang berniat mengkritik ajaran agama. Selain rasa takut yang kita tanamkan, undang-undang inilah yang melindungi ajaran agama (meskipun ajarannya ada yang bisa saja kurang mulia) dan mengatur penerapan ajaran tersebut dalam kehidupan bermasyarakat umum.
Prinsip, dogma, atau ajaran keagamaan apapun tidak akan menjadi benar dan sempurna, apabila penerapan dan penyebarannya didasarkan pada eksploitasi rasa takut. Ajaran apapun yang diterapkan dalam kehidupan manusia akan menjadi benar, sahih, dihormati, dan dipatuhi dengan sukarela apabila ajaran tersebut dapat dikritisi dan diperdebatkan dan selalu terbuka pada kemungkinan dimodifikasi, paling tidak dari sisi interpretasi dan penerapannya. Namun, para agamawan dan umat beragama, terutama yang garis keras, sudah terlanjur bergantung pada rasa takut untuk melanggengkan penerapan ajaran agama.
Hal ini juga tampak pada usaha penguasa di negara-negara beragama yang sudah lama memanfaatkan eksploitasi atas ketakutan akan Tuhan ini. Akhir-akhir ini mereka gerah dengan banyaknya kritik pada ajaran agama. Kekuatiran mereka mendorong mereka untuk melindungi dan melestarikan rasa takut pada dogma dan Tuhan dengan mengusulkan sebuah resolusi PBB yang berlabel “anti-blasphemy” (anti-penodaan agama). Yang disebut dengan “blasphemy” ini juga bisa diartikan bermacam-macam dan bisa dengan mudah diterapkan pada orang yang mengkritik ajaran agama, mirip dengan UU anti-penodaan agama di Indonesia. Yang jelas tidak adil dari UU anti-penodaan agama ini bukan hanya larangan untuk mengkritik ajaran agama secara umum oleh siapa saja. Yang dapat terjadi adalah agama-agama utama (mainstream) bisa saja menodai, menghina, serta mengutuk keyakinan atau aliran lain yang dianggap sesat atau bahkan merusak dengan kekerasan aliran yang dianggap sesat dan kafir ini; tetapi aliran lain yang bukan mainstream, termasuk orang yang dianggap kafir, tidak boleh mengkritik apalagi menodai agama yang dominan. Jadi ada standard ganda yang sangat menakutkan.
UU anti-penodaan agama ini penting sekali bagi masyarakat beragama, terutama yang sangat konservatif, karena sadar bahwa dogma agama di masa depan banyak yang semakin sulit dipertahankan penerapannya apalagi secara literal. Kita yang beragama memang semakin risih dan gampang tersinggung kalau iman kita yang dalam dan kuat atas ajaran agama yang kita anggap paling suci dan mutlak benar selalu diperdebatkan dan dipertarungkan dengan prinsip-prinsip modern. Apalagi kalau prinsip modern tersebut terus berusaha mencari nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luhur, seperti anti-perbudakan, anti-KDRT, kesetaraan gender, demokrasi, HAM, dll, yang sering berbenturan dengan ayat-ayat kitab suci.
Jadi tidak terlalu meleset untuk berpendapat bahwa exploitasi ide “takut akan Tuhan” bisa menjadi permulaan teokrasi. Teokrasi adalah sistem pemerintahan yang sepenuhnya bergantung pada ketakutan pada pemerintah yang dianggap sebagai wakil Tuhan dan pada aturan yang didasarkan pada ajaran satu agama yang tidak boleh dikritik apalagi disalahkan. Walaupun kemungkinan teokrasi di Indonesia dianggap suatu ilusi, kita sudah dibawa sedikit demi sedikit untuk tidak berani dan untuk takut mengkritik, apalagi menyangkal, aturan, norma, nilai, dan kebudayaan bahkan hukum yang didasarkan hanya pada satu agama tertentu yang menguntungkan suatu kelompok atau suatu aliran tertentu dan yang belum tentu membawa kedamaian, kesejahteraan, dan kemanusiaan yang adil bagi seluruh warga negara Indonesia.
Penerapan peraturan keagamaan semakin kita anggap normal; politisi dan pemerintahpun tidak berbuat apa-apa atas penerapan peraturan-peraturan daerah yang bersifat keagamaan tapi bertentangan dengan UUD 45. Semakin kita tidak kritis pada penerapan ajaran agama tertentu sebagai hukum publik dan aturan umum, semakin kita secara tidak sadar dibawa untuk menerima teokrasi. Tambahan lagi UU penodaan agama bisa menjadi pelindung agama dari segala kritik, sekaligus pelindung penerapan ajaran suatu agama pada masyarakat umum. Tidak ada salahnya takut pada Tuhan, tapi sebaiknya kita sama sekali tidak perlu takut pada ancaman dan kekuasaan pembawa bendara agama tertentu. Kita juga tidak perlu takut untuk melancarkan kritik kita pada hukum, undang-undang, aturan, dan norma yang hanya dilandaskan pada ajaran suatu aliran keagamaan yang belum tentu luhur, adil, manusiawi, memberdayakan, menyejahterakan, dan mendamaikan.
Yang sering ditanyakan adalah: Apa yang lebih luhur dan mulia, hukum Tuhan atau hukum manusia? Jawabnya jelas bukan hukum Tuhan yang diambil langsung secara literal dari kitab suci yang cenderung sektarian; melainkan segala hukum (termasuk yang dianggap dari Tuhan tentunya) yang diinterpretasikan, diperdebatkan, diuji dengan segala kritik berdasarkan pada nurani kemanusiaan dan rasio manusia yang bermotif luhur, yakni untuk menyejahterakan dan mendamaikan seluruh umat manusia tanpa pandang bulu. Untuk itu, kita tidak boleh takut mengkritik ajaran agama, dan untuk itu pula undang-undang penodaan agama harus dihapuskan.
Pengajar di Universitas Negara Arizona,
Amerika Serikat
Kalau anda mampir ke kampus almamater saya, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Indonesia, di salah satu dinding gedung (Gedung G) tempat program pasca sarjana, terpampang tulisan: “Takut akan Tuhan adalah permulaan segala pengetahuan.” Sebuah motto yang diambil dari kitab suci, yang interpretasinya tentu bisa berbeda-beda. Bisa dimaksudkan supaya dalam menimba ilmu kita tetap ingat pada Tuhan dengan segala kuasa dan ajaran-Nya dan ilmu apapun yang kita dapat kita tetap dapat beriman hanya pada-Nya; bisa juga diinterpretasikan bahwa ilmu apapun yang kita dapat harus sesuai dengan hukum dan ajaran Tuhan; yang tidak sesuai harus kita buang jauh-jauh.
Walaupun masih banyak kemungkinan interpretasi lain, dalam banyak teori modern apalagi pasca-modern, yang ditekankan justru bukan “takut akan Tuhan” sebagai awal ilmu pengetahuan, melainkan “keragu-raguan,” karena keragu-raguan dan skeptisismelah yang mendorong manusia untuk bertanya, mencari jawab, memperdebatkan, mengetes, mencari bukti, meneliti dan menganalisa sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan. Jadi kalau mau betul-betul mencari, menambah, dan mendalami ilmu pengetahuan, mottonya seharusnya berbunyi: “Keragu-raguan adalah awal dari segala ilmu pengetahuan.”
Bukankah keragu-raguan ini biang kelunturan iman umat beragama, sehingga merupakan awal hilangnya agama? Menurut Peter Berger dan Anton Zijderveld dalam buku In Praise of Doubt: How to Have Convictions without Becoming a Fanatic, justru agama yang hidup dan berkembang, penuh toleransi, dan menarik simpati banyak orang, bersumber dari adanya sebercik keragu-raguan. Ini bukan berarti meragukan segala yang ada dalam ajaran agama, tetapi mempertanyakan kemungkinan penerapan dan interpretasi ajaran yang bisa kurang luhur. Menurut para penulis ini, iman seharusnya bukan percaya dan yakin saja atas semua ajaran agama yang dianggap mutlak benar dan sempurna, tetapi iman yang hidup akan terus mencari dan menggali apa yang mulia dan berguna bagi kedamaian dan kesejahteraan seluruh umat manusia. Dan untuk itu diperlukan sebercik keragu-raguan.
Memang, berdasarkan pengalaman saya belajar, dibesarkan, dan hidup di Indonesia, “takut” atau “ketakutan” kelihatannya lebih penting daripada “keragu-raguan” atau “mempertanyakan.” Saya ingat bahwa sejak kecil rasa takut itu ditanamkan oleh pihak-pihak yang berkuasa, mulai dari polisi dan kepala desa sampai pada orangtua, guru, dan pemimpin agama. Sebagai anak, saya merasa takut dan harus tunduk pada orangtua dan guru, karena mereka yang sering memarahi dan menghukum baik dengan tindakan maupun dengan kata-kata dan sindiran. Kalau toh mereka sebenarnya salah, anak-anak zaman saya tidak berani mempertanyakan, apalagi mengkritik mereka. Pemimpin dan guru agama menakutkan juga, karena mereka diposisikan sebagai wakil Tuhan, dan kalau mereka sudah berbicara tentang neraka, siapa tidak takut. Kepala desa dan polisi apalagi. Bapak saya sendiri dulu selalu kelihatan takut waktu didatangi kepala desa dan polisi, apalagi kakek saya pernah dituduh tersangkut PKI.
Tidak kurang kreatif para penguasa level bawah sampai level atas. Dalam menciptakan ketakutan, yang menurut mereka penting adalah membuat anak-anak dan pengikut mereka punya rasa takut terhadap mereka sehingga mereka dapat menampakkan kepatuhan dan loyalitas yang tinggi. Seringkali sumber ketakutan yang dieksploitasi adalah hantu serta apa yang dianggap dosa atau tabu. Misalnya: “Jangan bermain di luar malam-malam, nanti digondol wewe,” atau “Kalau dikasih tahu orangtua tidak boleh menjawab, itu dosa.” Barangkali memang beralasan kalau bangsa kita dipenuhi orang-orang yang takut, bukan hanya karena banyaknya cerita menakutkan sejak kecil, sinetron-sinetron hantu dan kuburan, dan gambaran kehidupan sesudah kematian, namun juga semua yang menakutkan itu sering dibenarkan atau disinspirasi oleh banyaknya khotbah dan ayat suci mengenai hukuman di neraka yang wacananya memenuhi banyak saluran komunikasi di Indonesia.
Exploitasi para penguasa atas rasa takut rakyat di Indonesia sudah lama efektif dilakukan dalam pengalaman sejarah bangsa yang memang menakutkan. Pada zaman raja-raja, rakyat harus patuh dan takut sehingga kekuasaan kerajaan bisa berlangsung; pada zaman penjajahan kita dituntut takut akan penjajah, sehingga kita tunduk dan ikut perintah penjajah walaupun kita sadar itu salah; pada zaman PKI kita juga dipenuhi ketakutan luar biasa dan berserah pada apapun maunya penguasa asal aman, walaupun jelas banyak kemauan mereka yang tidak manusiawi; dan pada zaman Soeharto, kita juga dibuat takut sehingga menerima saja kehendak pemerintah dan tak berani mengkritik sedikitpun (kalau kita tidak mau “dihilangkan”), walaupun kita tahu banyak hal yang tidak beradab.
Nah pada zaman reformasi ini tentunya seharusnya tidak ada alasan untuk takut lagi. Benarkah kita tidak punya rasa takut lagi? Bukankah rakyat bisa protes pemimpin kita kapan saja? Bukankah setiap hari ada demonstrasi? Bukankah masyarakat dan media massa bisa mengkritik penguasa termasuk SBY? Tentu kita punya rasa takut, seperti takut akan bencana alam, takut tidak berhasil, takut terkena penyakit, dan takut terkena PHK. Dalam kehidupan politik dan sosial kemasyarakatan, kita tidak terlalu takut pada penguasa, anak-anak juga tidak terlalu takut pada orangtua dan guru. Satu-satunya ketakutan yang secara pelan-pelan tapi pasti merambah semakin dalam adalah ketakutan akan agama dan ajaran kitab suci yang dieksploitasi manusia beragama untuk mengembangkan pengaruh dan kuasa serta mempertahankan status quo. Kita telah ditekan bertubi-tubi dengan berbagai wacana untuk takut pada prinsip-prinsip dari kitab suci yang dianggap mutlak sempurna, luar biasa suci, dan begitu maha mulia, sampai pengikut agamapun rela mengorbankan apapun untuk mempertahankannya.
Ketakutan akan Tuhan itu sudah dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga ketakutan pada ajaran agama, yang wacananya semakin dominan dalam masarakat, sudah berkembang menjadi takut pada suatu kelompok agama tertentu. Bukan hanya rakyat biasa yang takut pada kelompok agama tertentu, sampai aparat keamanan pun takut. Contohnya, pada waktu terjadi tindak kekerasan dan pengrusakan, seharusnya kelompok yang merusak dan melukai tersebut bisa ditangkap langsung; tetapi yang terjadi adalah aparat keamanan takut dan diam saja. Bukan hanya itu, kelompok masyarakat dan pemimpin agamapun harus hati-hati mengkritik apalagi mengecam kelompok lain yang membawa bendera agama dalam melakukan kekerasan. Sungguh mencengangkan bahwa pelanggar aturan negara dan aturan publik tidak bisa ditindak hanya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada interpretasi mereka mengenai ajaran agama.
Ketakutan pada agama juga merambah ke politisi dan pejabat. Mereka sering ditakut-takuti bahwa konstituen yang agamawi tidak akan mendukung mereka, dan mereka memang takut sehingga mereka pura-pura menjadi sangat beragama dan tidak berani membuat kebijakan tegas atau bertindak tegas menghukum siapa saja, termasuk kelompok beragama yang melanggar hukum. Jangankan politisi, calon pemimpin agama yang kritis dan liberalpun perlu menunjukkan kekonservatifannya yang lebih kuat dan harus mau menanggalkan pikiran kritis dan keliberalannya kalau mau menjadi pemimpin kelompok keagamaan tertentu; kalau tidak, jangan harap dirinya bisa terpilih menjadi pemimpin. Tidak berhenti di situ, media massa dan wartawan pun harus takut, atau minimal hati-hati, kalau memberitakan masalah agama; masih ingat protes dan ancaman KISDI terhadap KOMPAS, atau pembredelan majalah Monitor, atau ancaman terhadap Indopos? Lebih jauh lagi, ilmuwan modernpun harus dibuat takut oleh agama. Bisa dilihat sikap mereka yang sangat hati-hati dalam menelaah dan memublikasikan hasil riset mereka mengenai agama. Kalau tidak takut dan terlalu berani dalam mengkritik agama, mereka takut akan di-SalmanRushdi-kan.
Ketakutan pada ajaran agama dan pada pengikut garis-kerasnya ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan di Amerika Serikat, di negara yang sudah ratusan tahun meyakini kebebasan berpendapat pun, orang harus hati-hati kalau mau kritis terhadap agama. Contoh yang gamblang, Random House, calon penerbit buku The Jewel of Medina, karangan Sherry Jones, terpaksa membatalkan penerbitannya karena mendapat peringatan dari pemimpin suatu agama tertentu. Padahal setelah diterbitkan penerbit lain, isi bukunya tidak ada yang menodai agama. Asisten saya yang gemar mengikuti konferensi agama, mencatat contoh-contoh sikap sangat hati-hati para presenter kalau mau mengkritik ajaran agama. Semester lalu, beberapa mahasiswa Arizona State melaporkan saya karena saya terlalu kritis pada ajaran agama waktu mengajar, sehingga direkturnya menegur saya; padahal di kelas saya, mahasiswa merasa bebas membuat argumentasi apa saja asal ada justifikasinya.
Kekuasaan berdasarkan agama memang bisa dilanggengkan, hanya kalau banyak orang takut akan Tuhan dan ajarannya (tidak peduli ajarannya mulia atau tidak, relevan dengan kehidupan sekarang atau tidak). Dan kalau orang masih tidak takut, harus dipaksa takut dengan undang-undang seperti Penetapan Presiden No.1/PNPS/1965 yang sudah diundangkan melalui UU No 5/1965. Umat beragama (garis keras, terutama) harus mati-matian mempertahankan undang-undang tersebut, karena undang-undang ini membantu menyebarkan rasa takut pada orang yang berniat mengkritik ajaran agama. Selain rasa takut yang kita tanamkan, undang-undang inilah yang melindungi ajaran agama (meskipun ajarannya ada yang bisa saja kurang mulia) dan mengatur penerapan ajaran tersebut dalam kehidupan bermasyarakat umum.
Prinsip, dogma, atau ajaran keagamaan apapun tidak akan menjadi benar dan sempurna, apabila penerapan dan penyebarannya didasarkan pada eksploitasi rasa takut. Ajaran apapun yang diterapkan dalam kehidupan manusia akan menjadi benar, sahih, dihormati, dan dipatuhi dengan sukarela apabila ajaran tersebut dapat dikritisi dan diperdebatkan dan selalu terbuka pada kemungkinan dimodifikasi, paling tidak dari sisi interpretasi dan penerapannya. Namun, para agamawan dan umat beragama, terutama yang garis keras, sudah terlanjur bergantung pada rasa takut untuk melanggengkan penerapan ajaran agama.
Hal ini juga tampak pada usaha penguasa di negara-negara beragama yang sudah lama memanfaatkan eksploitasi atas ketakutan akan Tuhan ini. Akhir-akhir ini mereka gerah dengan banyaknya kritik pada ajaran agama. Kekuatiran mereka mendorong mereka untuk melindungi dan melestarikan rasa takut pada dogma dan Tuhan dengan mengusulkan sebuah resolusi PBB yang berlabel “anti-blasphemy” (anti-penodaan agama). Yang disebut dengan “blasphemy” ini juga bisa diartikan bermacam-macam dan bisa dengan mudah diterapkan pada orang yang mengkritik ajaran agama, mirip dengan UU anti-penodaan agama di Indonesia. Yang jelas tidak adil dari UU anti-penodaan agama ini bukan hanya larangan untuk mengkritik ajaran agama secara umum oleh siapa saja. Yang dapat terjadi adalah agama-agama utama (mainstream) bisa saja menodai, menghina, serta mengutuk keyakinan atau aliran lain yang dianggap sesat atau bahkan merusak dengan kekerasan aliran yang dianggap sesat dan kafir ini; tetapi aliran lain yang bukan mainstream, termasuk orang yang dianggap kafir, tidak boleh mengkritik apalagi menodai agama yang dominan. Jadi ada standard ganda yang sangat menakutkan.
UU anti-penodaan agama ini penting sekali bagi masyarakat beragama, terutama yang sangat konservatif, karena sadar bahwa dogma agama di masa depan banyak yang semakin sulit dipertahankan penerapannya apalagi secara literal. Kita yang beragama memang semakin risih dan gampang tersinggung kalau iman kita yang dalam dan kuat atas ajaran agama yang kita anggap paling suci dan mutlak benar selalu diperdebatkan dan dipertarungkan dengan prinsip-prinsip modern. Apalagi kalau prinsip modern tersebut terus berusaha mencari nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luhur, seperti anti-perbudakan, anti-KDRT, kesetaraan gender, demokrasi, HAM, dll, yang sering berbenturan dengan ayat-ayat kitab suci.
Jadi tidak terlalu meleset untuk berpendapat bahwa exploitasi ide “takut akan Tuhan” bisa menjadi permulaan teokrasi. Teokrasi adalah sistem pemerintahan yang sepenuhnya bergantung pada ketakutan pada pemerintah yang dianggap sebagai wakil Tuhan dan pada aturan yang didasarkan pada ajaran satu agama yang tidak boleh dikritik apalagi disalahkan. Walaupun kemungkinan teokrasi di Indonesia dianggap suatu ilusi, kita sudah dibawa sedikit demi sedikit untuk tidak berani dan untuk takut mengkritik, apalagi menyangkal, aturan, norma, nilai, dan kebudayaan bahkan hukum yang didasarkan hanya pada satu agama tertentu yang menguntungkan suatu kelompok atau suatu aliran tertentu dan yang belum tentu membawa kedamaian, kesejahteraan, dan kemanusiaan yang adil bagi seluruh warga negara Indonesia.
Penerapan peraturan keagamaan semakin kita anggap normal; politisi dan pemerintahpun tidak berbuat apa-apa atas penerapan peraturan-peraturan daerah yang bersifat keagamaan tapi bertentangan dengan UUD 45. Semakin kita tidak kritis pada penerapan ajaran agama tertentu sebagai hukum publik dan aturan umum, semakin kita secara tidak sadar dibawa untuk menerima teokrasi. Tambahan lagi UU penodaan agama bisa menjadi pelindung agama dari segala kritik, sekaligus pelindung penerapan ajaran suatu agama pada masyarakat umum. Tidak ada salahnya takut pada Tuhan, tapi sebaiknya kita sama sekali tidak perlu takut pada ancaman dan kekuasaan pembawa bendara agama tertentu. Kita juga tidak perlu takut untuk melancarkan kritik kita pada hukum, undang-undang, aturan, dan norma yang hanya dilandaskan pada ajaran suatu aliran keagamaan yang belum tentu luhur, adil, manusiawi, memberdayakan, menyejahterakan, dan mendamaikan.
Yang sering ditanyakan adalah: Apa yang lebih luhur dan mulia, hukum Tuhan atau hukum manusia? Jawabnya jelas bukan hukum Tuhan yang diambil langsung secara literal dari kitab suci yang cenderung sektarian; melainkan segala hukum (termasuk yang dianggap dari Tuhan tentunya) yang diinterpretasikan, diperdebatkan, diuji dengan segala kritik berdasarkan pada nurani kemanusiaan dan rasio manusia yang bermotif luhur, yakni untuk menyejahterakan dan mendamaikan seluruh umat manusia tanpa pandang bulu. Untuk itu, kita tidak boleh takut mengkritik ajaran agama, dan untuk itu pula undang-undang penodaan agama harus dihapuskan.
Monday, February 8, 2010
KUA Versus KCS
Jurnalis dan kritikus agama dan kebudayaan
Dalam banyak perbincangan dan gurauan bersama teman-teman, seringkali saya menyebut KUA, Kantor Urusan Agama. Biasanya untuk meledek teman-teman yang tidak segera menikah. “Tuh KUA deket, tinggal nikah aja apa susahnya,” begitu biasanya.
Belakangan, saya paling sering mendapat ledekan semacam itu. Saya dituduh tidak peduli dengan pernikahan, padahal urusan nikah begitu sederhana. Tinggal datang ke KUA, akad nikah, sah sudah. Urusan pesta, itu belakangan.
Apa benar semudah itu? Atas rekomendasi seorang teman, saya membaca sebuah buku. Judulnya inspiratif. Kado Cinta untuk Pasangan Nikah Beda Agama. Ya, sesuai dengan keadaan saya. Buku itu memberi sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya selama ini. Betulkah menikah itu sesulit yang saya bayangkan, atau malah semudah yang banyak orang bilang?
Kali ini, saya tak ingin membahas dalil agama soal menikah beda agama. Saya hanya ingin berbicara soal pencatatan nikah oleh negara kita tercinta, Indonesia. Dari buku itu, saya baru tahu kalau Kantor Urusan Agama (KUA) hanya untuk mencatat pernikahan Islam. Sementara pernikahan para pemeluk agama lain dicatat di Kantor Catatan Sipil, sekarang namanya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS).
Ini yang kemudian menjadi kendala setiap pasangan nikah beda agama tidak bisa mencatatkan pernikahannya. Di KUA mereka ditolak, karena salah satunya tidak beragama Islam. Sementara di DKCS mereka juga ditolak, karena salah satunya beragama Islam. Saya ingat bagaimana seorang teman saya yang beragama Katolik menikahi seorang perempuan muslim: dia harus bersusah payah membuat KTP baru yang bertuliskan Islam dalam kolom agama sebagai agamanya. Salah? Ya salah. Tapi dia hanya mencari suatu cara sederhana supaya negara mengakui pernikahan ini. Apalagi tidak ada masalah dari keluarga, dan mereka hanya tinggal menjalani prosesi pernikahan sesuai persyaratan agama masing-masing.
Terlepas dari itu semua, saya tergelitik untuk mempersoalkan nama dua lembaga itu. Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. Dua lembaga yang sebetulnya mempunyai tugas yang sama, yaitu mencatat pernikahan warga negara Indonesia, tetapi diberi label berbeda. Dasar pendirian kedua lembaga ini adalah agama yang dianut pasangan yang akan menikah, Islam atau non-Islam.
Saya bertanya: Mengapa negara harus repot-repot membentuk dua lembaga yang tugasnya sama? Sederhananya, negara harus buang biaya untuk menggaji orang lebih banyak dan untuk menyediakan perangkat yang lebih banyak. Padahal yang diurusi sama.
Kenapa dua lembaga itu tidak digabung jadi satu saja. Khawatir tidak kompeten? Ya cari saja para pegawai yang menguasai soal pernikahan ala Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME.
Selain itu, istilah dua lembaga tersebut saya nilai tidak tepat. Mengapa? Kenapa namanya Kantor Urusan Agama kalau pada kenyataannya hanya mengurusi pernikahan secara Islam. Apa urusan agama hanya mencatat pernikahan Islam? Apa selain Islam, agama lain tidak dianggap sebagai agama?
Lalu, mengapa mereka yang non-Islam pernikahannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil? Apa yang beragama Islam itu berarti bukan orang sipil?
Bagi saya itu suatu keanehan. Dan cenderung diskriminatif. Menurut saya, negara seharusnya hanya bertanggung jawab soal pencatatan nikahnya. Mau menikah dengan cara apa, itu terserah pada pasangan yang menikah. Negara hanya wajib mencatatnya. Dan hanya ada satu catatan. Ibaratnya, hanya ada satu folder yang berisi catatan pernikahan seluruh warga negara Indonesia.
Tidak heran kalau banyak pasangan terpaksa membuat KTP dadakan hanya untuk memudahkan pencatatan nikah. Seperti bermain kucing-kucingan. Bagi yang punya uang banyak, akhirnya memilih menikah di luar negeri. Seperti anak yang coba mempecundangi bapaknya yang sangat galak dan kolot. Bukankah seharusnya negara itu melayani warganya? Bukannya malah membuat suatu sistem yang merepotkan, yang akhirnya membuat warganya semakin tidak tertib dan menghindar dari aturan.
Sering saya berharap, seharusnya negara tak mencantumkan agama di KTP. Gara-gara pencantuman itu, semua urusan administratif jadi sulit. Anda boleh tak sependapat, tapi bagi saya menikah di negeri Indonesia betul-betul susah dan rumit! Ini gara-gara urusan yang sebenarnya sipil, dijadikan urusan agama, padahal negeri kita ini bukan negara agama apapun!
Dalam banyak perbincangan dan gurauan bersama teman-teman, seringkali saya menyebut KUA, Kantor Urusan Agama. Biasanya untuk meledek teman-teman yang tidak segera menikah. “Tuh KUA deket, tinggal nikah aja apa susahnya,” begitu biasanya.
Belakangan, saya paling sering mendapat ledekan semacam itu. Saya dituduh tidak peduli dengan pernikahan, padahal urusan nikah begitu sederhana. Tinggal datang ke KUA, akad nikah, sah sudah. Urusan pesta, itu belakangan.
Apa benar semudah itu? Atas rekomendasi seorang teman, saya membaca sebuah buku. Judulnya inspiratif. Kado Cinta untuk Pasangan Nikah Beda Agama. Ya, sesuai dengan keadaan saya. Buku itu memberi sebuah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saya selama ini. Betulkah menikah itu sesulit yang saya bayangkan, atau malah semudah yang banyak orang bilang?
Kali ini, saya tak ingin membahas dalil agama soal menikah beda agama. Saya hanya ingin berbicara soal pencatatan nikah oleh negara kita tercinta, Indonesia. Dari buku itu, saya baru tahu kalau Kantor Urusan Agama (KUA) hanya untuk mencatat pernikahan Islam. Sementara pernikahan para pemeluk agama lain dicatat di Kantor Catatan Sipil, sekarang namanya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (DKCS).
Ini yang kemudian menjadi kendala setiap pasangan nikah beda agama tidak bisa mencatatkan pernikahannya. Di KUA mereka ditolak, karena salah satunya tidak beragama Islam. Sementara di DKCS mereka juga ditolak, karena salah satunya beragama Islam. Saya ingat bagaimana seorang teman saya yang beragama Katolik menikahi seorang perempuan muslim: dia harus bersusah payah membuat KTP baru yang bertuliskan Islam dalam kolom agama sebagai agamanya. Salah? Ya salah. Tapi dia hanya mencari suatu cara sederhana supaya negara mengakui pernikahan ini. Apalagi tidak ada masalah dari keluarga, dan mereka hanya tinggal menjalani prosesi pernikahan sesuai persyaratan agama masing-masing.
Terlepas dari itu semua, saya tergelitik untuk mempersoalkan nama dua lembaga itu. Kantor Urusan Agama dan Kantor Catatan Sipil. Dua lembaga yang sebetulnya mempunyai tugas yang sama, yaitu mencatat pernikahan warga negara Indonesia, tetapi diberi label berbeda. Dasar pendirian kedua lembaga ini adalah agama yang dianut pasangan yang akan menikah, Islam atau non-Islam.
Saya bertanya: Mengapa negara harus repot-repot membentuk dua lembaga yang tugasnya sama? Sederhananya, negara harus buang biaya untuk menggaji orang lebih banyak dan untuk menyediakan perangkat yang lebih banyak. Padahal yang diurusi sama.
Kenapa dua lembaga itu tidak digabung jadi satu saja. Khawatir tidak kompeten? Ya cari saja para pegawai yang menguasai soal pernikahan ala Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, bahkan penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME.
Selain itu, istilah dua lembaga tersebut saya nilai tidak tepat. Mengapa? Kenapa namanya Kantor Urusan Agama kalau pada kenyataannya hanya mengurusi pernikahan secara Islam. Apa urusan agama hanya mencatat pernikahan Islam? Apa selain Islam, agama lain tidak dianggap sebagai agama?
Lalu, mengapa mereka yang non-Islam pernikahannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil? Apa yang beragama Islam itu berarti bukan orang sipil?
Bagi saya itu suatu keanehan. Dan cenderung diskriminatif. Menurut saya, negara seharusnya hanya bertanggung jawab soal pencatatan nikahnya. Mau menikah dengan cara apa, itu terserah pada pasangan yang menikah. Negara hanya wajib mencatatnya. Dan hanya ada satu catatan. Ibaratnya, hanya ada satu folder yang berisi catatan pernikahan seluruh warga negara Indonesia.
Tidak heran kalau banyak pasangan terpaksa membuat KTP dadakan hanya untuk memudahkan pencatatan nikah. Seperti bermain kucing-kucingan. Bagi yang punya uang banyak, akhirnya memilih menikah di luar negeri. Seperti anak yang coba mempecundangi bapaknya yang sangat galak dan kolot. Bukankah seharusnya negara itu melayani warganya? Bukannya malah membuat suatu sistem yang merepotkan, yang akhirnya membuat warganya semakin tidak tertib dan menghindar dari aturan.
Sering saya berharap, seharusnya negara tak mencantumkan agama di KTP. Gara-gara pencantuman itu, semua urusan administratif jadi sulit. Anda boleh tak sependapat, tapi bagi saya menikah di negeri Indonesia betul-betul susah dan rumit! Ini gara-gara urusan yang sebenarnya sipil, dijadikan urusan agama, padahal negeri kita ini bukan negara agama apapun!
Labels:
Catur Ratna Wulandari,
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil,
Kantor Urusan Agama,
Menikah di Indonesia Sulit
Friday, February 5, 2010
Negara Berlandaskan Agama, Tidak Punya Masa Depan!
Author: Ioanes Rakhmat
Pemikir Kristen liberal
Jika Anda diminta untuk menyatakan negara mana yang akan memiliki masa depan, negara yang berdasar pada sebuah agama dalam segala bidang kehidupan, suatu negara yang teokratis total, atau negara yang berdasar sains, apa jawab Anda. Kalau Anda menjawab bahwa negara yang memiliki masa depan adalah negara teokratis, maka jawaban Anda ini salah total. Sebaliknya, kalau Anda memandang bahwa negara yang mempunyai masa depan adalah negara yang berlandaskan sains, pandangan Anda ini benar, berdasarkan sejumlah alasan berikut.
Agama mengasalkan segala sesuatu di dalam alam ini pada satu (atau lebih) figur adikodrati yang oleh orang beragama di Indonesia dinamakan “tuhan” atau “allah” atau “dewa” yang tidak kelihatan. Figur ini dibayangkan berdiam di kawasan adikodrati yang dinamakan surga, langit atau kayangan, dan dipercaya kerap berintervensi ke dalam alam (nature) dengan melanggar hukum alam (the laws of nature, atau natural laws) dan menghasilkan apa yang dinamakan mukjizat.
Sains sebaliknya mengasalkan segala sesuatu dalam alam ini pada diri alam itu sendiri. Sains menolak keberadaan dunia adikodrati (supernatural world) dan hanya menerima keberadaan dunia kodrati (natural world). Sains menjelaskan segala sesuatu berdasarkan hukum sebab-akibat alamiah yang bisa diobservasi, diselidiki, dijelaskan dengan rasional dan sistematis dan diperlihatkan dengan empiris dan objektif. Sains memandang hukum alam sebagai hukum yang abadi dan kerja hukum alam ini dipandang tidak bisa diintervensi secara alamiah oleh makhluk apapun. Teknologi tidak bisa membatalkan hukum alam, sebab teknologi dibangun dengan mengikuti kerja hukum alam dan banyak di antaranya ditemukan karena manusia mau belajar dari alam dan hukum-hukumnya. Teknologi rekayasa genetik yang sekarang sudah dioperasionalisasikan juga tidak melanggar hukum alam.
Agama dibangun di atas sebuah (atau lebih) dogma keagamaan yang diformulasikan bukan dengan cara ilmiah melainkan berdasarkan kepercayaan atau iman saja. Isi iman keagamaan tidak bisa dibuktikan secara empiris objektif tetapi diterima begitu saja sebagai kebenaran. Jika seseorang mau diterima ke dalam suatu komunitas keagamaan, orang ini harus bersedia memutuskan dalam dirinya sendiri (keputusan subjektif) bahwa apa yang diajarkan dan dipegang komunitas ini sebagai dogma adalah suatu kebenaran, tanpa boleh mempertanyakannya.
Sains sebaliknya tidak bekerja berdasarkan suatu dogma keagamaan apa pun, melainkan berdasarkan postulat-postulat atau teori-teori yang dibangun secara rasional dan dilahirkan dari sekian upaya observasi, penelitian, sistematisasi, pembuktian dan ujicoba yang empiris. Observasi dan ujicoba ini terus-menerus berlangsung sehingga suatu teori atau suatu postulat bisa digugurkan, lalu akan disusun teori dan postulat baru, demikian seterusnya. Kebenaran sains harus objektif, tidak bisa subjektif menurut selera si ilmuwan, terlepas dari bukti empiris.
Agama tidak memerlukan laboratorium uji coba, observasi dan eksperimentasi, karena agama dibangun hanya berdasarkan kepercayaan pada wahyu ilahi yang dulu diterima dan disebarkan si pendiri agama. Wahyu ini hanya tinggal diterima oleh umat dengan kepercayaan penuh sebagai sesuatu yang autoritatif untuk seluruh bidang kehidupan. Dari wahyu primordial ini diturunkanlah berbagai akidah keagamaan yang harus dipercaya dan ritual religius yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari umat.
Sains sebaliknya memerlukan laboratorium untuk observasi, penyelidikan, uji coba dan eksperimentasi. Kepercayaan membuta tidak mendapat tempat dalam pengembangan sains. Sains modern sudah sangat terspesifikasi sehingga tidak ada satu cabang ilmu modern pun yang dapat mengklaim bisa menjelaskan atau berkuasa atas seluruh bidang kehidupan. Para ilmuwan moden sekarang harus bisa bekerja secara interdisipliner dalam mendapatkan ilmu pengetahuan dan membangun peradaban.
Agama tidak memberi tempat pada keraguan terhadap dogma-dogma yang dibangun dalam sejarah umat dan khususnya terhadap wahyu ilahi yang diterima sang pendiri agama dulu, yang dipercaya terekam dalam Kitab Suci. Jika seorang anggota suatu komunitas keagamaan meragukan otoritas wahyu ilahi atau suatu dogma keagamaan, orang ini akhirnya akan dinyatakan sebagai bidah lalu diekskomunikasi. Dialog dengan para bidah sama sekali tidak dimungkinkan.
Sains sebaliknya justru bisa dikembangkan dari waktu ke waktu karena sains menerima dan mendialogkan dengan serius keraguan terhadap teori-teori atau postulat-postulat yang sudah diterima secara luas sebelumnya (received theories). Keraguan ini tentu saja harus dibeberkan secara ilmiah sebelum dibahas. Dalam sains, keraguan adalah ibu kandung temuan-temuan keilmuwan baru.
Agama kuat berorientasi ke masa lalu karena umat beragama percaya bahwa ketika agama mereka dibangun dan disebarkan oleh sang pendiri beserta para murid perdananya dulu segala sesuatu yang diperlukan untuk membimbing kehidupan sudah diwahyukan atau digariskan. Keraguan terhadap zaman keemasan agama di masa lalu dan terhadap pandangan-pandangan yang dilahirkan di dalamnya dipandang sebagai bahaya dan karena itu harus diberantas.
Sains sebaliknya berorientasi ke masa depan, dengan terus-menerus mengkaji teori-teori dan postulat-postulat lama untuk digantikan dengan teori-teori dan postulat-postulat baru yang dilihat akan lebih dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai segala sesuatu yang ada dalam alam semesta ini. Ketidaktepatan suatu teori atau postulat sains adalah sesuatu yang diterima dengan wajar dan malah mendorong upaya ilmiah untuk menemukan teori dan postulat baru.
Agama memerlukan suatu figur tunggal karismatis yang tidak boleh digugat dan yang dipercaya memiliki akses langsung ke rahasia-rahasia ilahi yang diungkapkan oleh suatu allah hanya kepadanya. Melawan sang tokoh karismatis ini sama dengan melawan allah dan akibatnya si pelawan akan terkena kutuk dan penghukuman ilahi.
Sains sebaliknya menolak satu figur tunggal karismatis yang tidak bisa digugat. Sains malah mengundang semua orang tanpa pilih bulu untuk menyumbangkan pandangan-pandangan ilmiah mereka, jika mereka mampu dan qualified, demi pengembangan sains dan kebaikan umat manusia. Sains tidak boleh merahasiakan sesuatu, melainkan justru harus menyibak semua rahasia alam dan membuka rahasia-rahasia ini kepada publik untuk diketahui dan dijadikan pengetahuan bersama. Inilah public ethics dan public responsibility dari setiap ilmuwan.
Ketika para agamawan menemukan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh sains modern dan tertinggal sebagai “gaps” dalam dunia sains, mereka akan langsung mengisi “gaps” ini dengan suatu figur adikodrati yang dinamakan allah (god). God para agamawan ini dikenal sebagai “god of the gaps” yang tidak disukai para saintis.
Sebaliknya, jika para ilmuwan menemukan sesuatu yang tidak dapat mereka jelaskan menurut perspektif sains sekarang, sehingga ada “missing links” atau “gaps” dalam rantai atau bingkai ilmu pengetahuan mereka, mereka tidak akan pernah menunjuk suatu oknum adikodrati yang dinamakan allah sebagai pengisi links atau gaps ini. Mereka hanya akan menyatakan bahwa mereka belum bisa mengisi missing links atau gaps ini sekarang, dan membiarkannya untuk suatu saat dapat dijelaskan oleh sains. Inilah posisi para ilmuwan ketika berhadapan dengan fenomena alam yang disebut para agamawan sebagai mukjizat.
Nah, tujuh wilayah pertentangan tajam antara sains dan agama yang telah disebut di atas mengharuskan setiap orang yang menginginkan negaranya memiliki masa depan yang cerah memilih untuk sekuat mungkin mengupayakan negaranya dibangun berlandaskan sains, dan bukan berlandaskan agama apapun. Seandainya agama masih ingin dilibatkan dalam pengaturan suatu negara, agama harus bisa menyesuaikan dirinya dengan semua sifat sains yang telah dikemukakan di atas, menjadi agama yang rasional. Untuk bisa menjadikan agama sebagai suatu pranata kultural yang rasional, setiap insan beragama harus menjadi makhluk yang rasional terlebih dulu. Untuk bisa sampai ke tujuan ini, kegiatan pendidikan di segala jenjang usia dan ragam profesi perlu dijalankan untuk menghasilkan kaum terpelajar yang mampu berpikir rasional dan konsisten berpikir rasional.
Subscribe to:
Posts (Atom)